Berawal dari pertemuan disebuah warung kopi, saya bertemu dengan
salah seorang teman. Dia bercerita tentang kegelisahan yang dihadapinya.
Dia berprofesi sebagai guru di pondok pesantren. Maklumlah, kehidupan
pondok pesantren ada aturan-aturan yang harus ditaati.
Aturan-aturan itu sebagai pedoman selama hidup dalam lingkungan
pondok pesantren. Jika berada di luar lingkungan pondok pesantren,
aturan-aturannya tidak berlaku lagi. Tapi bisa jadi aturan-aturan
tersebut menjadi kebiasaan para santri ketika berada di luar pondok
pesantren. Misalnya memilih menggunakan sarung dari pada celana jeans.
Salah satu aturan yang berada di dalam pondok pesantren tempat teman
saya mengajar yakni para santri tidak boleh membawa alat komunikasi
berupa handphone. Alasan menidakbolehkannya karena alat itu
akan merusak konsentrasi dan menyita waktu belajar santri. Misalnya saat
ngaji kitab tidak boleh sambil bermain handphone, karena ilmu
yang diberikan tidak akan bisa diterimanya dengan baik. Akan tetapi ada
sebagian santri yang keras kepala tetap membawa handphone di pondok pesantren.
Uniknya, sepandai-pandainya santri menyembunyikan handphonenya,
pasti akan ketahuan sama kyai atau pengurus pondok pesantren. Jika
sudah ketahuan maka akan dikenai hukuman. Hukumannya macam-macam, tapi
yang pasti handphonenya akan disita oleh pihak pondok pesantren.
Teman saya kebetulan menemukan sebuah handphone milik santri yang sedang diisi baterainya. Teman saya tau pemilik handphonenya. Dia menceritakan bahwa tidak mau memarahi santri yang ketahuan membawa handphone tersebut. Dia melimpahkan handphone dan hukuman kepada yang lainnya.
Saat saya menanyai alasannya, dia mengatakan justru kembali bertanya
kenapa di dunia ini harus ada menghukum dan dihukum? Dia melanjutkan
bahwa kita itu sama-sama manusia. Artinya antara aku, kamu, dia, dan
mereka mempunyai peluang untuk melakukan kesalahan. Tidak elok rasanya
ketika ada manusia yang salah dihukum oleh orang yang juga pernah
melakukan kesalahan. Toh, nanti kita semua dari yang Maha Kuasa.
Dari penjelasannya, saya kemudian mempertanyakan apakah hukum yang
dia anggap masih sebatas kontak fisik dan kekerasan verbal? Kontak fisik
maksudnya dengan menjewer telingan, mencubit lengan dan lain
sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan kekerasan verbal adalah
hukuman dengan ungkapan, biasanya dalam bentuk dimarahi. Dia hanya
manggut-manggut saja, dan saya anggap manggut-manggutnya dia pertanda
bahwa dia masih mengiyakan anggapan hukuman yang demikian.
Saya kemudian berkata bahwa hukuman tidak sebatas hanya kontak fisik
dan kekerasan verbal. Ada bentuk-bentuk hukuman lainnya. Misalnya ada
cerita bahwa saat Gus Dur menjadi keamanan pondok mendapati salah satu
santri laki-laki yang tidak bisa diatur. Tidak bisa diaturnya ini dalam
bentuk suka mengintip santri-santri perempuan.
Lantas Gus Dur menemukan pakaian dalam perempuan yang tersimpan di
lemari milik santri laki-laki tersebut. Gus Dur mengadukan kepada kiai
dan menghendaki untuk mengusir santri laki-laki ini dari pondok
pesantren, karena pelanggaran yang dilakukan telah melewati batas.
Kiai justru bertindak lain, kiai tersebut meng-iya-kan perminataan
Gus Dur dikeluarkan dari pondok pesantren namun santri laki-laki
tersebut dimasukkan ke rumahnya. Artinya santri laki-laki tersebut
menjadi abdi dalemnya kiai. Dan segala yang hendak dikerjakan oleh kiai
harus dipersiapkan oleh santri tersebut.
Seperti saat hendak mengaji kitab, maka santri tersebut yang
mempersiapkan kitabnya. Ketika hendak sholat sunnah maupun sholat
fardhu, santri tersebut yang mempersiapkannya. Akhirnya mau tidak mau,
santri tersebut mengikuti pola hidup dari kiai dan tidak ada kesempatan
untuk bermain-main apalagi mengintip ke asrama santri perempuan. Ini
juga merupakan salah satu bentuk hukuman.
Kemudian ada lagi bentuk hukuman selain itu, yakni ceritanya datang
dari salah satu kiai di Tulungagung. Beliau bernama Kiai Jalil, pengasuh
pondok pesantren PETA (Pesulukan Thoriqot Agung). Pernah suatu ketika
ada seorang yang hobinya sabung ayam. Ayamnya sering mengalami kekalahan
ketika bertarung dengan lawan-lawannya. Sehingga orang ini lebih banyak
ruginya daripada untungnya. Lantas orang ini mendapat kabar bahwa jika
ingin menang, maka ayamnya harus disowankan kepada Kiai Jalil.
Singkat cerita, orang ini memberanikan diri sowan kepada Kiai Jalil
dan mengutarakan keinginannya. Kiai Jalil mengamini keinginan dari orang
tersebut. Dan benar saja, ayamnya selalu menang dalam persabungan.
Hingga tidak ada orang yang berani menyabungkan ayamnya dengan ayam
milik orang tersebut. Karena peristiwa itu, orang ini kemudian sadar
dari dunia persabungan ayamnya. Lantas sowan kembali kepada Kiai Jalil
ingin berhenti dan bertobat. Kiai Jalil hanya tersenyum, dan menerima
orang tersebut sebagai salah satu santrinya. Model yang seperti ini juga
hukuman.
Bahkan diam pun juga bisa disebut hukuman. Misalnya istri yang sedang
marah pada suaminya. Salah satu perbuatan yang dilakukan yakni diam,
diajak bicara tidak mau. Ini juga bentuk hukuman. Jadi hukuman-hukuman
memiliki model yang beragam. Tinggal bagaimana pandai-pandainya kita
menerapkan hukuman yang sesuai dengan kesalahan dan lingkungan sekitar.
Kemudian saya melanjutkan pembicaraan bahwa hukuman itu penting untuk
dilaksanakan. Karena tujuannya adalah untuk membuat jera si pelakunya.
Selain itu, hukuman juga berguna untuk membuat ketertiban dalam
lingkungan disekitar kita. Hukuman juga berguna untuk menegakkan
keadilan.
Diakhir pembicaraan, saya mengatakan bahwa hukuman tidak digunakan
untuk menghukumi semau kita. Artinya mereka yang tidak sepaham, tidak
sejalan dengan apa yang kita hendaki lantas kita menghukum mereka. Jika
itu dilakukan, maka istilah salah dan benar, kafir dan tidak kafir, dan
istilah-istilah kasar lainnya akan mereduksi fungsi hukum itu sendiri.
Sampai disitu teman saya kelihatannya sepakat dengan yang saya katakan.
Sebab dia manggut-manggut.
Terakhir, perkembangan hukum berjalan linier dengan perkembangan
masyarakat. Artinya jika masyarakat berkembang baik kuantitas dan
kualitasnya, maka produk-produk hukum, model-model hukum juga turut
berkembang. Misalnya saja dahulu jika mencuri akan dipotong tangannya,
tapi apakah sekarang hukuman yang demikian juga harus diterapkan?
Kiranya topik tersebut dan topik-topik sejenis menjadi kajian bagi
mereka yang bergelut di bidang hukum. Sekian.
Dipublikasikan di geotimes.co.id
pada 15 Maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar