Rabu, 27 Oktober 2021

Tulungagung; dari Makam Srigading ke Es Rumput Laut

Sore ini saya bareng Mas Agus Ali Imron berencana untuk mengunjungi beberapa tempat. Acak memang. Namun tempat-tempat itu menjadi saksi sejarah dari kemunculan Kabupaten Tulungagung sejak masa silam sampai sekarang.

Hanya saja alam sedang ingin diperhatikan dengan ditandai mendung, lantas hujan. Akhirnya kami hanya sempat singgah, mendoakan, dan memberi ingat di kompleks Makam Srigading. "Nama itu diambil dari nama desanya", kata Mas Agus saat saya tanyai kenapa dinamai itu.

Makam itu menjadi tempat yang dipilih oleh Bupati Ngrowo I, II, III, serta Syekh Basyaruddin dan keluarganya untuk dikebumikan. Begitu pun para abdi dalem di masa silam. Terkait nama dan tahunnya, saya lupa. Tapi jangan khawatir, hal itu telah digurat oleh Mas Agus dalam bukunya bertajuk Muqoddimah Ngrowo.

Sekilas tentang buku itu, bisa disebut sebagai pengantar bagi siapa saja yang hendak memberi perhatian pada Kabupaten Tulungagung dari kacamata silam. Bukunya tebal, sesuai dengan data yang ada di dalamnya. Sekian tempat, candi, masjid, makam, dan tokoh diberi ulasan sederhana untuk memberi jawab siapa, kapan dibangun, dan apa yang ada di baliknya.

"Di sini ada makam tua, tapi aku lupa di mana letaknya", tutur Mas Agus sembari melongok ke kanan-kiri. 

Kami menuju ke makam yang letaknya di dataran tinggi Mbolo. Dari bawah telinga kami mendengar orang berwicara wirid. Ramai. Saya menduganya itu berasal dari makamnya Syekh Basyaruddin. Sebab ada banyak orang yang mengkhususkan dirinya bertirakat dengan bacaan yang diambil dari ayat-ayat di kitab suci.

Setelah sampai di atas, wicara wirid itu ternyata berasal dari mushola sebelah timur makam. Mereka anak muda semua. Mungkin santri, mungkin juga bukan. Kami hanya menyapa sekadarnya sebagai adab bersua dengan sesama manusia.

Menuju ke kompleks makam Syekh Basyaruddin, Mas Agus memberi perhatian terkejut. Sekian makam tua dengan nisannya kini, menyisakan pemandangan baru yang hanya berupa keramik dan lubang sebagai penanda di situ pernah ada makam. Saya menduganya mungkin untuk memperluas area bagi peziarah makam Syekh Basyaruddin. Tapi entah dengan dugaan Mas Agus yang diwakili oleh raut wajah agak kecewa, mungkin berbeda.

Makam masih sepi saat kami datang. Setelah beberapa saat kami mendoakan lantas bercuap, ada bapak dengan tasbih datang langsung mendekat ke makam Syekh Basyaruddin. Kami masih melanjutkan obrolan dengan sekian topik: situs sejarah, mendata dan menarasikan, serta angan langkah mendatang.

Setelah kami rasa cukup, kami pamit dan hendak menuju ke tempat selanjutnya, Desa Tawangsari. Desa ini adalah desa bersejarah dengan sekian cerita yang jarang diketahui banyak orang. Bahwa desa itu sekarang telah berubah wajah, bisa jadi iya. Namun kontribusinya terhadap pembentuk-kembangkan Kabupaten Tulungagung sampai seperti sekarang, saya rasa tidak bisa ditinggalkan. Ulasan ini nantinya semoga terbukukan, ditunggu saja.

Hanya saja seperti yang saya ceritakan di muka, hujan tiba-tiba turun tepat saat kami berada di area pabrik gula Mojopanggung. Salah satu pabrik gula yang masih beroperasi sampai hari ini. Tapi entah dengan tradisi buka gilingnya, masih lestari dan ori apa telah berubah disesuaikan sana-sini.

"Aku egak bawa mantel, neduh bentar aja di situ sambil minum es rumput laut", tawar Mas Agus yang saya iyakan.

Selesai minum, hujan tambah deras. Akhirnya si pedagang yang berasal dari Tasikmalaya mengajak bercuap sekenanya. Isinya persis kayak dialog dengan orang yang baru dijumpai. Dimana, siapa, apa, sejak kapan dan semacamnya yang menyasar pada jawaban permukaan.

Tapi saya tertegun ketika ia mengatakan, "Orang Tulungagung itu cueg, tapi ramah dan baik-baik". Saya seperti dibanting dari ketinggian 200 kilometer. Tapi saya juga tidak kuasa untuk membantahnya karena, saat saya melempar kembali ingatan saat di warung kopi, menonton dangdut, dan gelaran yang melibatkan banyak orang memang begitu, cueg. Cuman mereka akan saling mengangguk kepala jika tatapan saling bertemu, meskipun tidak saling kenal. Kadang disertai dengan ucapan, "monggo".

Persis seperti yang saya ucapkan kepada si penjual es rumput laut saat kami hendak melanjutkan perjalanan pulang, "monggo mas". Kali ini monggonya saya sertai anggukan dan senyuman nyengir.

Tidak ada komentar: