“Membangun itu mudah mas, tapi merawatnya agar terus berjalan lama itu yang susah”. Pernyataan itu saya dengar dari Mbak Be.
Ia merupakan kakak di atas saya baik ketika duduk di sekolah menengah atas maupun ketika merantau ke Yogyakarta. Saya baru sekadar kenal saat di Yogyakarta. Itu pun hanya lewat chat basa-basi. Kalau saya tidak salah ingat.
Baru pekan kemarin kami bersua karena hajat saya yang ingin mengail informasi kerja-kerja kreatifnya. Bermula dari gagasan iseng yang ingin membuat semacam desa wisata, saya lantas membuat janji dengannya.
Ia dulu pernah membuat warga desa sadar bahwa, apa yang tengah dilakukan itu sebenarnya berpotensi menghasilkan banyak rupiah. Saat menulis ini saya malah lupa apa nama desanya. Tapi yang pasti desa itu ada di Bantul. Pinggiran. Potensinya adalah gerabah.
Namun sejak ada pembangunan pabrik, banyak warga desa yang meninggalkan seni gerabah. Padahal dulu pernah ekspor keluar negeri dengan harga yang relatif mahal. Satu gerabah terjual bisa menutupi kebutuhan keluarga dalam tempo sepekan. Jika ekspornya mencapai 15 buah katakanlah, hasilnya mungkin lebih tinggi ketimbang kerja di pabrik.
Di sisi lain, gerabah yang diproduksi dari satu orang dengan orang lain berbeda. Kendati semua seragam membuat kendi. Menurut Mbah Be itu dimusababkan oleh tangan, kondisi emosional, corak berpikir, sampai pada latar keterampilan pelatihan yang dimiliki si pembuatnya.
Hanya saja Mbak Be yang menjadi founder dari desa wisata gerabah itu harus undur diri sebelum program-programnya rampung dijalankan. “Ada masalah internal”, katanya.
Lepas saya bersua dengan Mbak Be, saya mampir ke warung kopi. Sekadar melepas penat, meski sesaat. Di situ saya bersua teman yang tengah melakukan pencarian jati diri. Sebut saja Mas Is.
Ia melalangbuana ke berbagai macam dunia. Sebut saja organisasi, kelam, hitam pekat, sampai dunia putih yang setiap harinya menyenandungkan salawat. Hidupnya berwarna, tapi tidak dengan kerangka berpikirnya.
Kenapa? Karena setiap kali kami berdua bertukar suara, ia sependek penilaian saya, melulu memberi tafsir yang hanya terbatas pada permukaan. Apa mungkin saking banyaknya dunia yang ia masuki, ia menjadi manusia yang sulit menemukan kedalaman dari perjumpaan dengan seseorang? Kesulitan mengail hikmah dari setiap kejadian? Atau bagaimana?
Sekitar dua jam kami duduk dan ngobrol bersama. Di situ ada juga, sebut saja Mas Sah yang tengah berjuang merampungkan tugas akhirnya. Ia meminta pendapat saya dengan menyodorkan draft tugas akhirnya.
Mata saya berhenti pada rumusan masalah yang ia buat. Saya kaget. Terkejut. Sebab di tugas akhirnya itu ia hanya mencari makna dari tradisi jamasan. Tradisi yang secara turun-temurun masih diruwat oleh masyarakat Tulungagung.
Ketika saya bertanya teori apa yang akan ia gunakan untuk menganalisisnya, ia menjawab sekenanya, “Egak ngerti”. Tapi ia menuturkan sebentar lagi akan mendaftar sidang untuk peroleh gelar sarjana.
Saya kemudian melempar ingatan pada lirik lagu Sarjana Muda gubahan Iwan Fals. Lirik yang memuat sulitnya lulusan perguruan tinggi untuk mencari kerja yang layak dengan gelarnya.
Lirik tidak salah. Hanya saja jika berkaca pada Mas Sah itu tadi, menurut saya malah jadi penegasan. Bahwa kerja memang perlu kualifikasi. Dan kualifikasi itu diperoleh dari dua tempat: latihan otodidak atau dididik di bangku sekolah. Kualifikasi juga tidak hanya meliputi nilai tinggi. Sebab ada sekian juta mahasiswa memiliki nilai tinggi, tapi hanya sedikit yang peka, bisa, dan mau membaca buku, melatih skill, menjalin relasi yang baik dengan teman, berdoa, dan tentu saja menyemai restu orang tua.
Salam bersua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar