Senin, 18 Januari 2021

Manusia, Semesta, dan Bencana

Belakangan ini kita dikejutkan oleh banyak kejadian yang tidak mengenakkan. Kesabaran, keikhlasan, dan kekuatan terus-menerus digenjot habis-habisan. Kita dipaksa untuk tetap menyemai asa di tengah ketidakpastian kenyataan yang melulu datang menyapa.

Saya teringat beberapa bulan silam ada penuturan apik dari Pak Faiz, pengampu Ngaji Filsafat di Yogyakarta tentang ‘Membaca Bencana’ (10/06/2020). Pada sesi ini kita bisa memahami bahwa bencana bukan semata-mata dimaknai sebagai peristiwa derita, tapi ada hal lebih yang dapat dipetik, yang saya rasa bisa memupuk sikap positif.

Pertama-tama kita harus menyadari bahwa mode hidup manusia itu living with the enemy, hidup bersama dengan sesuatu yang tidak disenangi dan tidak dikehendaki. Virus, bakteri, bencana alam, hawa nafsu yang eksploitatif dan sebarek hal-hal yang sebenarnya diemohi oleh manusia, ternyata ada di sekitar kita. Fakta seperti ini tidak bisa kita negasikan begitu saja.

Maka, cara menghadapinya bukan dengan membasmi habis kemudian mengganti mode hidup yang serba wah, mewah, megah, baik, dan sempurna. Bukan, bukan begitu. Tapi poinnya ada pada, bagaimana ikhtiar kita menyikapi segala sesuatu yang tidak disenangi dan tidak dikehendaki tadi.

Bisa jadi ikhtiar yang kita lakukan selama ini salah atau kurang tepat. Alih-alih meminimalisir datangnya bencana, justru kita malah mengundangnya. Atau bisa juga kita malah lalai dan lalim, sehingga semesta memberi tanda bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja dengan cara mendatangkan bencana.

Tentunya kita sadar bahwa rumah kita di dekat sungai yang sewaktu-waktu bisa mendatangkan banjir, dekat dengan gunung yang kapan saja bisa meletus, atau dekat dengan laut yang setiap saat tanpa diduga bisa tsunami. Nah, sikap kitalah yang menentukan banjirnya sungai, letusan gunung, dan luapan tsunami menjadi lebih buruk atau tidak.

Semesta mungkin tidak akan marah jika kita tidak berbuat ulah. Semesta mungkin juga tidak akan menghakimi jika kita merasa sadar diri. Dan semesta mungkin tidak akan semena-mena jika kita tidak berbuat seenaknya.

Nah, maka untuk menginsyafi itu semua, menyadari fakta dan menentukan sikap sebelum bencana saja belum cukup, jika sekuntum doa belum diuraikan kepada Maha Pencipta. Paling tidak melalui doa itu, kita bisa mengerti bahwa manusia tanpa-Nya bukanlah apa-apa, apalagi segalanya.

Dulu nenek moyang kita menilai semesta sebagai makhluk yang hidup, bernyawa, dan bisa diajak berbicara. Lebih dari itu, semesta malah bisa diajak bekerjasama dalam rangka menjaga keseimbangan hajat hidup seluruhnya. Manusia mengambil manfaat dari semesta untuk makan, minum, tempat tinggal, dan berpakaian, sedangkan semesta berterima adanya manusia karena terus menjaganya dari kata rusak parah.

Hal semacam itu keburu dinilai oleh generasi sesudahnya sebagai perbuatan klenik dan menyimpang. Padahal bisa jadi, nenek moyang kita membaca kitab suci tidak hanya dengan suara semata, melainkan dengan ejawantah dalam hidup keseharian. Bukankah definisi baik itu tidak hanya diucapkan, tapi juga diwujudkan dalam perbuatan?

Maka yuk mari bergandengan tangan. Bencana sedang datang bertamu, bukan murka menggebu. Kita hanya perlu saling menguatkan, memberi rasa nyaman, dan pelan-pelan bisa melewati berbagai macam cobaan. Sebab masa depan masih panjang dan mungkin banyak misteri yang perlu untuk kita pecahkan. Berbicara tentang masa depan juga tidak cukup hanya dengan harapan. Kita juga harus bertindak agar lekas menjadi kenyataan.

Salam hangat dan menguatkan.

6 komentar:

KangNoerhadi mengatakan...

Gurih skali pak Geng tulisannya...sampai lupa bahwa bencana danusibah itu pahit. Smg kita sll bisa berpositip pikir dan tingkah, shngga tetap bisa bahagia d dlm perih. Dia SWT Sungguh Baik pada kita smua.

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Maturnuwun pak apresiasinya🙏. Amin-amin, semoga sehat dan tetap kuat.

Robi'ah Alma mengatakan...

Gurih sungguh sebagaimana dawuhe P. Kang Yai Noer he he, semoga manusia sadar diri akan kelalimannya, (ظهر الفساد فى البر وتلبحر بما كسبت ايدى الناس...) begitu nggih?

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

enjih bu🙏

Kang Ansorie mengatakan...

Untuk menghadapi bencana: Doa maksimal, usaha optimal, hasilnya tawakal, begitukah?

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Ngapunten pak tawakal sanes hasil. Tawakal=fase menunggu hasil. Sedangkan hasilnya tetap kembali ke Gusti Allah. Kinten-kinten ngoten