Jumat, 15 Januari 2021

Pedagang, Menyimpulkan, dan Kabar Media

Semoga kita selalu baik-baik saja, di tengah kondisi yang tidak biasa. Semoga kita selalu kuat, meski batin selalu tersayat. Semoga kita terus disempatkan senyum, saat jutaan harapan mulai menemui jalan suram untuk direalisasikan.

Hari-hari ini memasuki pekan pertama pembatasan diberlakukan. Sejumlah pedagang yang kedapatan buka melebihi batas waktu yang telah ditentukan, memperoleh sangsi teguran, peringatan, sampai denda. Di Yogyakarta, pedagang yang mangkal di sepanjang jalan protokol ditertibkan. Di kota-kota lain mungkin juga terjadi hal serupa.

Tapi kita tidak boleh keburu menyimpulkan pedagang itu bandel dan tidak taat aturan. Pedagang yang mulai buka sore hari, kemudian dipaksa untuk tutup jam tujuh malam, terus bagaimana dengan cicilan rumah, kredit motor, atau biaya pendidikan anak-anaknya? Sementara penghasilan utamanya hanya didapat dari itu.

Melalui negosiasi yang alot, pedagang akhirnya diizinkan buka sampai larut asalkan, untuk warung makan tidak boleh dimakan di tempat. Ya meski hasil negoisasi itu tidak menambah pundi-pundi rezeki para pedagang di masa pandemi seperti ini, tapi tetap patut untuk disyukuri.

Terkait keburu menyimpulkan, ada nasihat ciamik dari Tessa Sitorini. Ia menuliskan bahwa tiap-tiap kejadian bisa disimpulkan oleh manusia dengan baik atau sebaliknya.

Bisa jadi kejadian baik seperti pejabat yang memberi pesangon ke anak buahnya malah disimpulkan sebagai pencitraan. ‘Memberi pesangon’ kan baik, tapi kenapa kok kita menyimpulkannya sebagai pencitraan?

Atau ada teman saya yang jika diajak pergi sekadar ke tempat wisata atau wahana permainan selalu saja emoh. Ditawari berulang kali, berulang kali juga ia menolaknya. Lantas saya menyimpulkan bahwa ia adalah orang yang pelit.

Kejadian-kejadian serupa banyak ditemui di sekeliling kita. Sebenarnya tidak ada salahnya juga kita mau memilih yang mana. Hanya saja seringnya kita selalu terburu-buru menyimpulkan bahwa jika begini maka akan begitu. Tanpa kita sadari kesimpulan yang terburu itu terselip ego halus. Ego yang cenderung membuat kita menutup diri dari kemungkinan-kemungkinan lain, yang bisa saja kemungkinan itu lebih proporsional untuk menyikapi kejadian teman saya yang pelit tadi misalnya.

Coba kalau sedikit saja saya mau membuka diri, mungkin kesimpulannya teman saya tadi bukan orang yang pelit. Tapi karena kondisi keluarganya sedang payah, orang tuanya harus menghidupi ia dan lima adiknya, maka wajar jika sikap hura-hura ia tinggalkan.

Nah, keburu mengambil kesimpulan ini juga kerap kita lakukan tanpa sadar dalam bermedia sosial. Kabar yang entah apa ada benarnya, dengan mudah dikabarkan lagi ke teman-teman yang lain. Padahal kita sendiri belum menelaah dengan cukup serius, ditunjang refensi yang memadai, dan penghayatan yang mendalam. Alih-alih seperti itu, kadang hanya dengan membaca tajuknya saja sudah bisa memberi kesimpulan bahwa berita itu maksudnya begitu.

Memang beropini dan berbagi kabar itu hak setiap warga Negara Indonesia. Hanya saja yang perlu diingat, setiap kabar dari media melulu memuat kepentingan dari media itu sendiri. Kepentingan ini bisa saja ideologi, afiliasi politik, agama, ekonomi, atau sebagai tangga untuk merangkak naik ke terkenalan seseorang di mata publik.

Maka wajar jika tajuk atau isi kabar melulu memicu kontroversi. Kalau katanya Robert N. Entman, kabar itu mesti ada bagian-bagian tertentu yang ditonjolkan, yang kemudian (mudah) diingat oleh manusia setelah membacanya dengan beringas dan trengginas.

Semoga ini membantu kita untuk bersikap dan bermedia secara dewasa. Lebih-lebih soal menyimpulkan berbagai kejadian di sekeliling kita

Salam sehat.

Tidak ada komentar: