Menjelang sore, di asrama kedatangan tamu. Ia ingin bersua dengan Mas Yaser. Seorang pegiat budaya dan pecinta kuburan yang tengah menyelesaikan bukunya tentang kuburan juga. Dan yang ingin bertemu adalah Mas Putra. Orang dari Ponorogo, namun jalan hidupnya telah melalangbuana dari daerah ke daerah.
Maksud kedatangannya adalah ingin mengundang Mas Yaser di Kelas Sejarah yang tengah ia garap. Kelas Sejarah itu muncul dari sikapnya yang ingin kembali ke asal dan membuat narasi tentang Pondok Pesantren Tegalsari.
Seperti lazimnya diketahui, Pondok Pesantren Tegalsari ini cukup mashur di kalangan pondok pesantren di negeri ini. Sekian ulama dan tokoh nasional pernah tercatat sebagai santrinya Kyai Ageng Hasan Besari. Hanya saja, Mas Putra menyayangkan bahwa setiap kali ada ziarah wali di Jawa, khususnya Jawa Timur, makam Kyai Ageng Hasan Besari jarang atau malah tidak terkunjungi oleh para peziarah.
“Padahal jika itu dibranding, bisa menjadi destinasi religius seperti makam-makam yang lain”, ucapnya. Destinasi itu sependek pengetahuan saya semacam upaya yang hendak menggeser hal-hal yang memiliki makna mendalam menjadi sekadar kecukupan kebutuhan ekonomis. Semoga saja bukan itu yang dimaksud Mas Putra.
Ia bercerita mulanya Pemerintah Kabupaten Ponorogo ingin membuat film tentang perjalanan Kyai Ageng Hasan Besari dan Pondok Pesantren Tegalsari. Sejumlah peneliti, akademisi, dan orang-orang dari ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) diundang. Mereka saling berdiskusi dan tidak menemui mufakat pada satu persoalan; Apakah Kyai Ageng Hasan Besari ini berpihak kepada kolonial atau Kyai Ageng Hasan Besari memiliki penglihatan jauh ke depan berkenaan dengan kondisi beberapa puluh tahun mendatang sehingga memilih berstrategi demikian?
“Tapi saya pikir ada yang lebih penting dari itu tapi jarang diulas mendalam mas. Ini terkait gurunya Kyai Ageng Hasan Besari itu. Orang-orang hanya tahu katanya dan katanya, tapi tidak pernah tergerak untuk memberi perhatian lebih jauh”, kata Mas Putra.
Saya rasa apa yang dikatakan Mas Putra itu juga penting. Sebab asumsi sederhananya, orang sehebat, searif, dan sebesar itu kontribusinya untuk negeri mesti memiliki guru yang berkapasitas mumpuni, di samping laku tirakat yang dilakukan setiap harinya.
Sama halnya di Kabupaten Tulungagung. Pekan lalu saya bareng Mas Agus berkunjung ke Desa Tawangsari. Dulu, desa tersebut merupakan desa perdikan yang diberikan kepada Mbah Abu Manshur dari Kerajaan Mataram karena jasanya yang membantu menumpas pemberontakan. Nah, Mbah Abu Mansur ini juga pernah menjadi santrinya Kyai Ageng Hasan Besari di Tegalsari, Ponorogo.
Bisa dikatakan juga bahwa cikal bakal kemunculan Kabupaten Tulungagung itu ada di Desa Tawangsari. Sebab dulunya ketika layang kekancing itu diberikan, daerah pusat pemerintahan Kabupaten Tulungagung hari ini hanya menjadi bagian dari Perdikan Tawangsari. Asumsi saya ini nanti mungkin akan diulas secara mendetail oleh Mas Agus sendiri yang tengah menyelesaikan penulisan buku mengenai Desa Tawangsari dalam lintasan ingatan manusia. Semoga cepat rampung.
Tapi begini, dari dua orang yang saya temui itu, menarasikan jejak suatu daerah di masa silam cukup sulit. Perlu riset bertahun-tahun. Data dicicil, ditulis, direvisi, dicicil, ditulis, begitu terus sampai dirasa benar-benar sesuai dan bisa dikonsumsi oleh publik. Selain jaraknya yang terlampau jauh, data yang diperoleh kebanyakan hanya berasal dari tutur lisan yang penuturnya sudah memasuki usia senja.
Di samping itu, polemik yang terjadi di lingkungan internal juga perlu diperhatikan. Karena bagaimana pun, keturunan orang-orang hebat di masa silam juga manusia yang mesti diliputi amarah, nafsu, keinginan berkuasa, ingin dianggap ada, dan seabrek sifat-sifat manusia pada umumnya. Maka bisa jadi, ketika wawancara berlangsung, ada narasi-narasi yang secara tidak sengaja dibelokkan. Bisa jadi juga malah jujur apa adanya.
Kesulitan itu bertambah jika dihadapkan dengan kondisi politik negeri ini dalam kurun waktu dua tahun mendatang. “Ada banyak orang mas yang ngaku-ngaku sebagai trahnya Kyai Ageng Hasan Besari. Jika tak telusuri, ternyata orang ini politisi yang punya kepentingan nanti di tahun 2024”, kata Mas Putra.
Problem serupa juga saya temui saat saya dan Mas Agus bersowan ke Desa Tawangsari di kediamannya Gus Abdillah, keturunan dari Mbah Abu Mansur. “Sekarang semua pada bikin urutan silsilah mas. Dan silsilah itu dikait-kaitkan dengan sini”, kata Gus Abdillah.
Tapi bagaimana pun, saya rasa mesti ada orang-orang seperti Mas Putra dan Mas Agus ini. Orang-orang yang ingin mendokumentasikan sejarah perjalanan panjang daerah asalnya. Karena bisa jadi generasi selanjutnya tidak sempat berbuat demikian. Mau ke sana-ke mari mencari data, menemui orang, berdiskusi panjang, menulis, direvisi, cari sumber, dan seabrek pekerjaan melelahkan yang tidak sebanding dengan proyek-proyek pemerintah di lini kebudayaan. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar