Menggandrungi buku jadi laku yang tidak begitu populer di
kalangan remaja. Hari ini, gawai yang disokong internet telah berhasil membuat tipuan
dengan dalih mengandung unsur modern dan canggih. Hanya sebagian kecil, melalui
ikhtiar tanpa jemu, memilih bercumbu dengan buku. Buku sudah jadi bagian hidup.
Rentang waktu, biaya, dan jarak tempuh yang jauh bukan persoalan untuk berhenti
gandrung pada buku.
Bandung Mawardi, pria yang menjadi kuncen di Bilik Literasi Solo
saya rasa jadi salah satu dari sekian manusia yang gandrung akut pada buku. Dalam karyanya, Berumah di Buku; Catatan
Kecil Buku Lawas, ia memberi pengantar yang sulit diejawantahkan oleh
remaja sekarang. “Aku biasa naik bus atau bersepeda membawa doa-doa ingin
bertemu buku-buku menakjubkan. Tahun-tahun sebagai murid di SMA menjadikanku penggandrung
buku, tak berpihak ke memuja perempuan” (hlm. 3). Saya merasa luput tak
menyapa buku di masa remaja saat membaca kalimat itu.
Pembaca disodori dua puluh lima ulasan di buku ini. Buku-buku dan
majalah terbitan abad kedua puluh,
yakni tahun-tahun sebelum dan sesudah kecamuk kolonialisme menjadi sumber
rujukan utama. Tokoh ternama seperti Bung Hatta, Tjipto Mangoenkoesoemo, Armijn
Pane, H.B. Jassin sampai RM Soerjo-Winarso, Yusuf Ismael, Agam Wispi, dan
lainnya yang namanya tidak akrab di telinga warga
Indonesia turut disebut di buku ini dengan karyanya di masa lalu. Sekian topik
diangkat, mulai politik, sejarah, pengetahuan, gender, serta bahasa dan sastra.
Buku ini dibuat tampaknya ingin mengabarkan bahwa masa lalu tidak
melulu cerita tentang keterbelakangan dan keterbatasan. Meski imajinasi saya
sulit untuk turut mengamini kehidupan manusia di masa lalu sebagai orang yang gemar
membaca dan menulis, namun ternyata gerak baca dan tulisnya juga tidak terlalu
redup jika ditilik dari tulisan yang diulas di buku ini. Malah bisa jadi manusia-manusia
masa lalu justru lebih kuat keinginannya untuk dekat dengan buku dibanding
manusia hari ini.
Dunia politik, misalnya. Bung
Hatta dengan status sosialnya yang mentereng, tidak melupakan buku. Ia menulis
dan membaca buku. “Aku rela di penjara, asalkan dengan buku. Karena dengan buku
aku bebas”, begitu kalimat yang sering dikutip di banyak tulisan. Mungkin
orientasi politik menurut Bung Hatta pada saat itu tidak melulu tentang
jabatan, tapi juga pengajaran kepada masyarakat awam (hlm. 10). Cerita bisa
ditemui di esai pembuka buku ini dengan tajuk “Keinsafan
Politik”.
Sedangkan tajuk “Buku
(Ber)sejarah”, “Melawat Berkalimat”, dan “Imajinasi
di Suriname” mewakili tema sejarah. Buku yang diulas di bagian ini sudah sulit ditemui
di pasaran. Mungkin karena bukan lagi tren dunia perbukuan atau
pertimbangan konten yang tidak begitu memikat, jadi tidak diterbitkan ulang
oleh penerbit yang datang belakangan. Saya rasa buku-buku ini minimal—harusnya—pernah
dijumpai oleh masyarakat Indonesia. Ya
orientasinya agar tahu bahwa generasi awal bangsa ini telaten mencatat setiap
peristiwa yang dilaluinya. Cerita di esai “Buku
(Ber)sejarah”, misalnya. Esai ini mengulas buku Margono
Djojohadikusumo yang kontennya meliput Douwes Dekker dengan segala kiprah
politik dan intelektualnya sebelum kemerdekaan (hlm. 13).
Buku-buku yang diterbitkan di masa lalu ternyata juga tidak sepi
peminat. Meski angka melek baca dan kesejahteraan ekonomi tidak sebaik hari
ini. Coba simak pernyataan ini, “Buku Serat
Sinaoe Meneng mengalami cetak ulang di abad 1935. Tak sekedar petunjuk
kelarisan. Publik tentu memiliki gairah tak biasa membaca dan mengamalkan
ajaran-ajaran tentang diam” (hlm. 19). Buku di masa lalu sudah diejawantahkan
ke dalam laku, bukan sekadar kalimat
berderet puitis. Buku tidak hanya menyasar ilmu, namun sekaligus amalnya.
Cerita itu bisa ditemui di tajuk “Diam
dan Zaman Ramai” yang jadi bagian dari topik pengetahuan. Topik yang sama juga bisa
disimak pada tulisan “Penerangan
dan Kegelapan”, “Buku Berlagu”, “Hidup
Berangka”, “Nostalgia Desa”, “Tjabul”, “Gamelan”,
dan “Terkabulkan!”. Cerita-cerita
ini mengabarkan tentang pengetahuan dari masa lalu yang tidak sederhana. Pengetahuan
yang jarang digasak oleh generasi belakangan dengan sudut pandang
terukur oleh panca indera. Saya rasa justru pengetahuan semacam ini harusnya
memperoleh porsi untuk dipelajari. Bukan hanya sebagai bentuk dokumentasi,
melainkan jadi identitas bangsa ini dari generasi ke generasi.
Selain itu, ada juga topik seputar gender yang bisa ditemui di
halaman akhir buku. “Kenangan di Pekarangan”, “Kitab
Kuno dan Lelaki”, “Sejarah Lelaki”, dan “Partainja
Kaum Ibu” jadi tajuk-tajuk yang bercerita tentang gender. Pembaca diajak
untuk insyaf saat membaca tulisan-tulisan itu. Perempuan di masa lalu ternyata
juga memiliki andil, power, dan
kontribusi untuk negeri ini, tidak hanya pria. Perempuan turut berkontestasi (hlm.
128). Cerita itu juga meruntuhkan persepsi bahwa perempuan hanya sebagai konco
wingkeng.
Mengenai topik bahasa dan sastra, Bandung Mawardi menaruh harap
pada generasi belakangan. Buku bahasa dan sastra lawas dianjurkan oleh Bandung untuk
dicari dan dibaca. Kampanye dengan tulisan—salah
satunya dengan buku ini—ditunaikan
untuk menarik manusia hari ini gandrung pada buku-buku bahasa dan sastra di
masa lalu. Tajuk “Berdoa di Depan Kampus”, “Bahasa
(Tak) Merangsang”, “Merindu Buku”, “Berumah
di Buku”, “Suratisme”, “Gandrung
Tak Terbendung”, “Penggembala Bahasa”, dan “Pujanga
Romantis” jadi tulisan yang wajib dibaca untuk mengerti bahasa dan sastra di
masa lalu.
Buku ini sekilas bisa disimpulkan hanya sebagai ulasan dari buku
yang pernah ada di masa lalu. Saya membayangkan buku-buku yang diulas sampulnya
sudah kusam, berdebu, dan beberapa lembar halaman hilang. Meski begitu, buku
ini patut diapresiasi. Karena bisa jadi, tanpa ada ikhtiar seperti ini, saya
(dan mungkin pembaca lainnya) tetap awam dengan buku-buku yang jadi bacaan
nenek moyang Indonesia di masa lalu.
Lebih dari itu, saya rasa kehadiran buku ini tidak sekadar
mengabarkan, namun sebagai sindiran perihal realitas baca dan tulis di negeri
ini. Tekanan dari kolonial, angka melek huruf rendah, pendidikan masih ala kadarnya,
dan seabrek problem di masa lalu tidak menyurutkan keinginan baca dan tulis
masyarakat di masa itu. Saya hanya berprasangka, jangan-jangan kedalaman
tulisan dan resapan makna dari setiap bacaan
justru diperoleh kala tekanan datang dari pelbagai
sisi.
Begitu. Buku ini tidak hanya mengulas buku-buku masa lalu, namun
juga punya tujuan sindiran. Hanya saja, saya menyayangkan buku-buku yang diulas
tidak ditulis rapi dalam daftar pustaka di halaman akhir buku. Ya, sekadar
memudahkan pembaca yang penasaran dan ingin meminangnya sebagai koleksi dan
kajian.
Kalau toh
baca dan tulis buku masih jadi pekerjaan berat dan menyita waktu, cukup
koleksi buku untuk investasi anak-cucu. Demikian.
Dipublikasikan di kurungbuka.com
pada 28 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar