Manusia butuh ragam pengetahuan untuk survive. Kendati dalam konteks akademis manusia melulu dipaksa untuk bergulat dengan satu pengetahuan yang spesifik dan mendalam, tapi tidak menutup kemungkinan untuk menambah dan belajar pengetahuan baru. Toh, pada dasarnya setiap pengetahuan memiliki manfaat sesuai porsi dan proporsinya masing-masing.
Orang yang belajar filsafat, boleh ikut kursus memasak, menjahit, dan menambal ban bocor. Begitu pun orang yang kuliahnya di jurusan pertanian, tidak ada larangan untuk tahu soal politik, sejarah, dan pemikiran-pemikiran rumit yang dapat membuat kening berkerut lainnya.Seperti halnya ketika makan, manusia juga perlu diversifikasi pengetahuan. Pagi hari menunya nasi pecel, siang soto, malam penyetan. Besoknya ganti menu di rumah padang, begitupun seterusnya. Pengetahuan manusia juga sama. Perlu ada variasi supaya terus bisa survive dan tidak bertemu kata bosan.
Menilik orang-orang yang hidup di masa silam, pengetahuan yang dimiliki tidak hanya sebatas itu-itu saja. Al-Kindi misalnya, selain dikenal sebagai filsuf, ia juga pandai dalam bidang Geometri, Astronomi, Astrologi, Aritmatika, Musik, Fisika, Medis, Psikologi, Meteorologi, dan Politik.
Di Indonesia, riwayat dari nama-nama besar yang hari ini banyak dikaji oleh generasi yang datang belakangan juga sama, pengetahuan mereka tidak hanya tunggal. Sebut saja nama-nama Kh Hasyim Asy’ari dan Kh Ahmad Dahlan. Selain mereka yang namanya telah disebut, masih ada serentetan nama-nama keren lainnya yang menguasai pengetahuan dengan majemuk.
Lalu bagaimana agar seperti mereka? Jika kita jeli membaca sejumlah literatur yang menulis biografi mereka, setidaknya ada dua tahap yang mereka gunakan. Pertama, mereka selektif terhadap guru yang ingin dituju. Terkadang ada yang sampai menguji calon gurunya terlebih dahulu, sebelum menentukan belajar dengannya atau tidak.
Setelah cocok, cara kedua yakni belajar dari a sampai z pengetahuan tersebut. Mulai dari pengantar, proses, dinamika, sampai kritik-kritiknya. Jika sudah rampung, pindah ke guru selanjutnya. Begitu pun seterusnya.
Maka dari itu, tidak mengherankan jika karya-karyanya bisa bertahan sampai hari ini. Meskipun ada juga satu dua pengetahuan di karya tersebut yang tinggal perdebatan wacana semata, tapi ada juga yang relevan dengan kemajuan zaman.
Eits, kita mungkin akan beralasan bahwa problematika dan tantangan yang dihadapi oleh orang-orang di masa silam tidak sekompleks seperti sekarang. Mulai dari harga kebutuhan pokok yang cenderung naik, banyak hiburan yang bisa melenakan, seabrek promo dan diskon yang menggoda kantong untuk membeli, dan hal-hal yang sebenarnya remeh tapi tanpa disadari justru malah menjadi prioritas. Sehingga tidak mudah seperti zamannya mereka untuk belajar pengetahuan dari satu guru ke guru yang lain dalam tempo cukup lama.
Namun kita sendiri juga lupa, bahwa hari ini telah disediakan segala kemudahan yang dapat menunjang untuk mencari, menemukan, dan mengembangkan pengetahuan baru. Dengan transportasi kendaraan bermotor, pesawat terbang, dan gerbong-gerbong kereta memungkinkan kita untuk melakukan mobilisasi dari satu sumber pengetahuan ke sumber pengetahuan yang lain.
Dan dengan smartphone, kita bisa dengan mudah mencari pengetahuan baru hanya dengan sekali klik. Tinggal masukkan keyword, tidak sampai satu detik, apa yang kita maksud akan muncul, lengkap dengan gambar dan video. Bahkan sekelas menteri dengan segenap staffnya saya kira tidak akan mampu merespon maksud kita dengan cepat dan sebanyak itu.
Misalnya kita ingin mencari pengetahuan tentang cara bercocok tanam hidroponik. Hanya dalam tempo 0,42 detik, smartphone kita melalui google dapat menampilkan 161.000 hasil yang kita maksud. Kita bisa memilih mana yang ingin dibaca, ditonton, ditiru atau malah dilewati. Bebas, tidak ada paksaan.
Kata siapa pengetahuan di google melulu hoax dan menyesatkan? Ada banyak situs yang menyediakan ragam informasi-pengetahuan baru dengan mudah dan gratis. Kita tidak perlu menghabiskan satu semester duduk di ruang kelas hanya untuk mengerti tentang sejarah politik Indonesia di luar negeri, atau kita tidak perlu pusing ke laboratorium dan membuat laporan makalah untuk menjawab soal, apakah bawang putih memiliki khasiat untuk kesehatan tubuh?
Lantas, bukankah terlalu banyak mengkonsumsi informasi-pengetahuan di media sosial justru menyebabkan obesitas (sampah) bagi pikiran? Bisa jadi malah tidak. Kenapa? Pertama, kita bisa tahu satu persoalan kemudian didedah dari banyak sudut pandang. Soal membuat keripik tempe misalnya. Kita bisa tahu prosesnya, cara pemasaran, kondisi sosial penjual dan pembeli, relasi distribusi, harga produksi, dan legitimasi agama.
Selain itu, yang kedua kita juga bisa membandingkan satu informasi-pengetahuan di satu situs dengan situs yang lainnya. Situs ini misalnya berbicara jika menanam sayur di dataran rendah cenderung rugi, karena kualitasnya ketika dipanen tidak sebagus sayur yang ditanam di dataran tinggi. Tapi di situs lain kita bisa mendapati justru sayur yang ditanam di dataran rendah kualitasnya bisa lebih baik dengan catatan a,b,c dan seterusnya.
Terakhir, tanpa disadari, akumulasi banyak membaca dan membandingkan bacaan membuat kita menjadi pembaca yang selektif, pandai memilah informasi-pengetahuan apa saja yang layak untuk ditahan, dikembangkan, bahkan dijadikan sebagai prinsip. Dan mana saja yang harus dibuang.
Nah, transformasi manusia dalam hal
pergeseran pola pencarian pengetahuan seperti ini memang tidak membuat kita
bisa seperti orang-orang di masa silam. Kita cenderung sebagai pejalan, orang
yang mengetahui banyak hal, tapi hanya di permukaan dan tidak mendalam sama
sekali. Tapi itu tidak masalah, selama itu telah menjadi jalan ninjanmu seperti
Uzumaki Naruto, maka tunaikanlah. Begitu.
Dipublikasikan di ibtimes.id
pada 06 Juni 2020
1 komentar:
Pembakar semangat literasi.
Posting Komentar