Kamis, 20 Agustus 2020

Orientasi Pertanian Jawa Dan Arab Di Masa Silam

Sampai hari ini, desa kerap diidentikkan dengan alam yang tumbuh ijo royo-royo. Dan mata pencaharian populer bagi masyarakat di pedesaan ialah petani. Pernyataan itu bisa dianggap wajar, sebab tanah di desa masih luas dan subur. Air sebagai sumber irigasi juga mudah sekali didapat. Selain itu juga bisa dipastikan, pencemaran di desa, baik air, tanah, maupun udara sebagai unsur utama penyokong kehidupan tumbuhan masih minim pencemarannya.

Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History Of Java mengafirmasi pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa Pulau Jawa -khususnya- bagus untuk wilayah pertanian. Lebih lanjut, “Para petani tidak hanya menanam sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti membeli barang-barang kebutuhan yang sedikit mewah. Bangsa Jawa adalah bangsa petani dan akhirnya membentuk struktur masyarakat yang khas”. Pernyataan ini bisa dimaknai bahwa masyarakat Jawa pada saat itu sudah bisa hidup dengan berprofesi sebagai petani. Segala kebutuhan hajat hidup, baik untuk makan keseharian sampai memberi barang mewah yang sifatnya tersier didapat melalui cara bertani.

Kendati demikian, Raffles di dalam bukunya itu juga menegaskan profesi petani dalam konteks status sosial. Katanya, “Petani mendapat uang tanamannya, prajurit dari upahnya, pegawai dari gajinya, para ulama dari sumbangan (zakat) dan pemerintah dari hasil pajak. Kekayaan suatu desa atau satu provinsi tergantung dari luas dan kesuburan tanahnya, sistem pengairannya, serta jumlah kerbau yang dimiliki.” Secara tersirat, kita boleh memaknai bahwa petani dulunya menjadi garda paling depan untuk menunjukkan kemakmuran suatu daerah. Ya kira-kira ketika daerah itu tanahnya subur untuk pertanian, bisa dipastikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya bisa tercukupi.

Memang di Indonesia, terutama di Pulau Jawa tanahnya terbilang subur. Karena banyak didapati gunung-gunung yang masih aktif. Tanah yang subur ini disebabkan oleh abu vulkanik (mengandung mineral) yang mengendap dari letusan gunung-gunung aktif tersebut. Sedangkan dari sisi irigasi, tanah di Jawa juga memiliki stok air yang melimpah. Selain banyak gunung yang bisa memunculkan sumber mata air, ada juga sungai dengan debit air yang cukup dan sangat mungkin untuk irigasi.

Namun perlu disadari juga, meskipun dalam konteks pertanian, beda wilayah ternyata juga berbeda cara dan bentuk pertaniannya. Misalnya Pulau Jawa dengan tanah subur dan kadar air yang cukup, seperti yang disampaikan oleh Raffles di bukunya berbeda dengan tanah Arab yang memiliki daratan berupa padang pasir dan kadar air yang terbatas.

Mohammad Pribadi di bukunya Pemikiran Sosiologi Islam Ibn Khaldun memberi terang soal ini. Katanya, “Dari segi cara hidup, bentuk rumah tinggal, dan profesi dapat dikatakan bahwa masyarakat Badui memang masih sangat sederhana. Tuntutannya sebatas dapat menopang kebutuhan dasar mereka. Cara hidupnya dengan survive, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Rumah tinggalnya masih sangat sederhana. Profesinya berupa bertani dan beternak.”

Bertani di tanah padang pasir tempo dulu hanya untuk mencukupi kebutuhan dasarnya saja. Alih-alih bisa panen dengan jumlah kolosal kemudian membeli kebutuhan tersier seperti para petani Jawa, mereka para petani di padang pasir tiap waktu malah dihantui oleh kondisi alam yang bisa menggagalkan panennya. Maka tidak mengherankan jika tiap kali alam tidak bersahabat, mereka memilih pergi dan mencari lagi tempat yang aman (nomaden).

Pertanian, baik di Jawa maupun di tanah padang pasir seperti di Arab bisa menjadi prototipe dari ragam pertanian yang ada di muka bumi ini. Bahwa pertanian ialah seni mengolah tanah dengan bercocok tanam, namun ejawantahnya dari tiap pulau, daerah, negara, bahkan benua bisa berbeda-beda. Begitu.

2 komentar:

Haryo Slamet mengatakan...

Dulu petani punya raja kaya....
Sekarang punya peralatan mesin...

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Enggeh pak, bisa jadi topik selanjutnya untuk ditulis. Maturnuwun.