Namanya Kirana. Ia anak perempuan yang masih duduk di kelas 1 sekolah dasar. Ayahnya menyekolahkan Kirana ke Pondok Pesantren Wahid Hasyim, di daerah Nologaten, Yogyakarta. Pondok pesantren yang berafiliasi ke organisasi massa Nahdlatul ‘Ulama.
Kata ayahnya, Kirana sempat protes dan menolak di pondokkan, karena tiap waktu ia tidak bisa berkumpul bersama ayah, ibu dan adiknya. Tapi karena dirayu dan diiming-imingi akan dituruti keinginannya jika mau di pondokkan, akhirnya Kirana menurut.
Ayahnya mengatakan, “Kalau egak dipondokkan saya khawatir bisa masuk ke komunitas yang tidak jelas. Apalagi di Yogyakarta, berbagai macam aliran semua ada dan membuka pengikut-pengikut baru. Kalau sejak kecil pondasinya tidak kuat, nanti akan mudah kena pengaruh (yang negatif).”
Saya kira kekhawatiran ayah Kirana ini bisa dipahami dengan melihat realitas di Yogyakarta yang kerap muncul berbagai macam komunitas baru. Tidak hanya dalam konteks keagamaan, tapi juga komunitas sosial, anti-keagamaan (kita biasa menyebutnya ateis), dan seabrek komunitas yang dibuat dengan nama dan orientasi berbeda lainnya.
Memang komunitas-komunitas ini tidak bisa digebyah uyah sebagai komunitas yang buruk semua. Sebab definisi buruk itu relatif. Ini persoalan pertama. Selain itu, perjalanan komunitas dengan segala dinamika tarik ulur kepentingan sosial, ekonomi, dan politiknya, sedikit banyak membuat komunitas yang awalnya terlihat buruk menjadi baik. Begitu pun sebaliknya.
Sedikit melebar, kalau saya amati, kemunculan komunitas yang banyak dan beragam ini juga berjalan beriringan dengan banyaknya komunitas yang bubar. Setidaknya ada dua pemicunya; Pertama, komunitas yang didirikan hanya berdasarkan idealitas semata. Pembacaan terhadap perkembangan lingkungan sekitarnya dan strategi yang dikerjakan tidak direncanakan dengan matang. Kedua, proses regenerasi berjalan lambat dan tidak sesuai kebutuhan komunitas. Wajar saja, pendiri dan anggota komunitas adalah mahasiswa pendatang. Jadi jika studinya rampung, mau tidak mau harus kembali ke kampung halaman. Sedangkan penerus komunitasnya tidak segigih, sekreatif, dan sesempat generasi awal. Akhirnya komunitas bubar.
Kembali lagi ke Kirana. Setiap harinya ia bermain di pelataran masjid. Perawakannya gemuk. Wajahnya juga terpancar sumringah. Berbeda dengan adiknya, Meisya yang perawakannya lebih kurus dan pendiam.
Saya teringat kali pertama datang di Yogyakarta dan bertemu dengannya di masjid, waktu shalat magrib, ia terlihat ketakutan. Awalnya saya mengira wajah saya memang menyeramkan. Ternyata karakternya memang seperti itu. Tiap kali bertemu dengan orang baru, Kirana merasa takut. “Dulu saat pertama kali masuk TK, ia nangis sejadi-jadinya ketemu gurunya. Seminggu diajak sekolah tidak mau. Sudah diiming-imingi ini itu tidak mau juga. Akhirnya ia mau masuk sekolah jika ibunya juga duduk di dalam kelas. Dan itu berlangsung satu semester,” ujar ayahnya sambil geleng-geleng kepala.
Kini ia sudah tercatat sebagai santri di pondok pesantren. Sekarang ia masih belajar dari rumah. Sepekan hanya diwajibkan sekali untuk pergi ke pondok pesantren, itu pun hanya beberapa jam dan diperuntukkan untuk santri yang domisilinya di Yogyakarta. Tinggal menunggu waktu, Kirana harus berangkat, menginap, dan menjalani hari-harinya dengan orang baru. Meskipun jarak pondok pesantren dan tempat tinggalnya hanya dua kilometer.
Ayahnya juga menyadari, keputusan yang diambil untuk memondokkan Kirana juga agak berisiko. Memang secara kebutuhan agama dan adab sebagai pondasi dasar bisa terpenuhi di pondok pesantren. Namun secara kebutuhan kasih sayang orang tua, untuk anak seumuran Kirana tidak bisa ditemukan di pondok pesantren.
Ya memang apapun itu, tiap keputusan memang mengandung resiko. Tinggal kalkulasinya saja, mau diambil, ditunda, atau ditolak untuk sementara waktu. Begitu.
4 komentar:
Menyentuh
Terimakasih prof ....
Pernah di Nologaten , di masjid Baiturrahim, pean dimana kala itu?
Kulo di masjid jendral sudirman pak,
Posting Komentar