Sekitar satu jam yang lalu, teman saya pamit usai menunaikan obrolan kesana-kemari tanpa topik yang ditentukan. Padahal di muka, melalui chat whatsapp ia sudah menentukan ingin memuaskan hasrat keingintahuannya perihal masyarakat desa dalam konteks relasi sosialnya. Ia menganggap saya sebagai salah satu orang yang bisa diajak diskusi.
Padahal sedari muka juga saya sudah menolaknya, sebab hanya satu buku yang berhasil saya khatamkan soal topik relasi masyarakat desa. Itu pun kalau tidak ada tugas makalah, saya mungkin tidak membacanya sama sekali. Karena tetap ngotot, akhirnya saya mengiyakan dengan konsekuensi tidak menjamin jawaban yang proporsional untuknya.
Ya ia memang ingin tanya soal di atas guna merampungkan studi sarjananya. Padahal data sudah didapat. Katanya malah lebih dari cukup. Tapi beberapa kali ia ajukan ke dosen pembimbing, beberapa kali juga mengalami revisi. Terutama soal teori. “Aku itu sudah gonta-ganti teori sampai empat kali. Coba bayangkan”, keluhnya dengan wajah sendu.
Dari obrolan itu, ia kemudian merambah pada banyak persoalan. Mulai dari perempuan di desa yang hampir seluruhnya ditekan oleh budaya patriarki yang tidak menguntungkan, birokrasi desa yang tidak sesuai prosedur, potensi di desa yang jarang sekali dikembangkan secara optimal, dan problem sosial-ekonomi-agama masyarakat desa yang ternyata lebih kompleks dari masyarakat kota.
Kala itu saya hanya mendengarkannya ceramah. Persis seorang pemateri yang menjadi narasumber atau dosen yang sedang memberi kuliah pada mahasiswanya. Saya hanya melontarkan pertanyaan sekenanya. “Oh gitu ta?”, atau “Masak gitu, coba cek lagi. Barangkali ada yang egak pas itu”.
Tapi dari sekian topik yang diobrolkan itu, saya tertarik dengan opininya soal ekonomi masyarakat. Ya meskipun ia bicara itu dalam konteks masyarakat pedesaan, tapi saya rasa cukup relevan dengan kasus yang hari ini tengah dialami oleh banyak orang.
Katanya, “Sekarang itu menurutku lebih mudah. Sebab kita kerja dengan gaji yang banyak tidak perlu nilai tinggi dalam hasil belajar. Peringkat satu di sekolah dasar, SMP, SMA, atau IPK tinggi di kampus itu tidak menjamin pekerjaan, gaji, dan suksesnya seseorang.”
Sebentar, saya jelaskan dulu kenapa ia sampai pada kesimpulan seperti itu. Jadi ketika sedang melakukan wawancara, ia bersua dengan orang lulusan sekolah dasar tapi berhasil mendirikan bisnis makanan dengan omset lebih dari 10 juta per bulan. Selain itu, ia juga bertemu dengan pemuda yang sekolah dasar pun tidak lulus, tapi ia berhasil menjadi salah satu tim kreatif dalam pembuatan film Tilik yang beberapa waktu lalu sempat viral.
“Makanya sekarang kamu punya keahlian nulis misalnya. Coba aja buat novel, artikel, atau naskah film. Tinggal tawarkan pada mereka yang membutuhkan. Kalau cerita di dalamnya unik dan kreatif, mereka akan merekrutmu menjadi timnya. Jadi yang penting itu daya kreatifnya bro,” ucapnya sembari menepuk pundak saya.
Saya agak setuju, dan tidak. Tidak setuju saya terutama ketika ia mengatakan bahwa sekolah dan nilai tinggi itu tidak penting sama sekali. Karena dalam pengamatan saya, anak sekolah dengan nilai tinggi, dengan anak yang sekolah tapi biasa saja atau tidak sekolah sama sekali cara pandangnya berbeda. Dan mereka yang mengambil jurusan kependidikan saya rasa lebih paham perihal ini.
Nah selain itu, cara termudah untuk melakukan mobilisasi ke atas dan menambah relasi pergaulan adalah dengan cara bersekolah. Tanpa sekolah, akan sangat sulit kita kenal dengan si a, b, dan c.
Ya bahwa sekarang yang diperlukan dunia kerja itu kreatifitas tanpa batas, saya setuju. Tapi kalau meniadakan dan memandang sebelah mata mereka yang bersusah payah sekolah, saya tidak setuju. Begitu.
4 komentar:
Setuju, Pendidikan itu tetap penting, baik pendidikan di sekolah formal maupun pendidikan yang ada luar sekolah....
Karena orang berilmu memiliki derajat yang tinggi.
Na bener pak. Saya setuju ...
Pendidikan tetap sangat penting,adapun kesuksesan seseorang yg semata2 dilihat dr pendidikannya... Maka kiranya perlu ditinjau ulang. Karena kesuksesan tidak cuma ditentukan oleh satu faktor.
Enggeh bu, saya sepakat. Banyak variabel yang mempengaruhi kesuksesan seseorang.
Posting Komentar