Sabtu, 05 September 2020

Rumus Kebiasaan ala Aristoteles

Beberapa di antara kita memiliki kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan, misalnya berjalan menunduk ketika di depan orang yang lebih tua, atau menguluk salam ketika sampai di depan rumah. Kebiasaan-kebiasaan ini telah mengakar kuat. Karena sudah sedari kecil, kebiasaan ini ditanamkan. Maka jika tidak melakukannya, rasanya seperti ada yang kurang.

Aristoteles, filsuf kondang dari Yunani pernah bertutur perihal kebiasaan manusia. Katanya, “We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit”. (Kita itu adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang. Oleh karena itu, kesempurnaan bukan apa (yang sedang) dilakukan, tapi sebuah kebiasaan).

Maka sebutan yang disematkan kepada kita tergantung kepada kebiasaan kita. Misalnya saja ada orang yang disebut sebagai penulis. Sebutan penulis itu ditempelkan kepadanya karena setiap hari yang ia geluti adalah dunia menulis. Pun begitu ada orang yang disebut penceramah. Karena setiap waktunya ia diundang untuk menceramahi orang banyak. Dan sebutan lain-lainnya.

Hanya saja, banyak orang yang salah memaknai kalimat Aristoteles di atas. Jika dicermati, kalimat di atas titik tekannya ada pada kebiasaan atau proses, bukan pada hasilnya. Sebab hasil bagi Aristoteles tentu mengikuti kebiasaan apa yang dilakukan secara berulang-ulang.

Suatu ketika teman saya pernah cerita pengalamannya. Ia pemilik salon yang namanya cukup masyhur di kalangan perias di Yogyakarta. Ia seorang waria. Sebut saja namanya Asri (maaf tidak menyebut nama asli, karena sekali search di mbah google fotonya sudah banyak). Ia dulu punya lima belas karyawan dan ratusan pelanggan. Katanya, “Tanganku ini sudah megang kepala mulai dari pejabat, keluarga sultan, artis, mahasiswa, sampai rakyat biasa.”

Namun ia sendiri kadang merasa lelah. Karena beberapa kali dijadikan tempat curhat oleh pelanggannya yang kedapatan melakukan selingkuh, atau anaknya yang jadi berandal. Belum lagi masalah dengan para karyawan yang kerap didapati menyembunyikan penghasilan salon. Akhirnya ia berprinsip: “Sudah, sebisa mungkin aku melakukan yang baik. Pokok baik, baik, baik terus. Nanti pasti hasilnya akan baik. Aku tahu, Yang Di Atas tidak tidur.”

Di dalam Islam kita juga kerap mendapati wejangan yang hampir mirip. Dulu guru TPQ saya kalau tidak salah ingat, ia pernah cerita seorang alim yang setiap harinya mengucap kalimat tahlil. Ketika akan dicabut oleh malaikat maut, si alim ini dengan mudah melafalkan kalimat tahlil ini, karena memang sudah menjadi kebiasaannya. Di satu sisi, ada orang yang setiap harinya melafalkan kata-kata kotor. Maka saat akan diambil nyawanya, sekali pun dibimbing oleh kyai alim yang mukim di sekitar rumahnya, orang ini tetap kesulitan mengucap kalimat tahlil. Malah justru kata-kata yang kotor berhamburan diucapkan.

Oleh karena itu, kebiasaan yang baik perlu disegerakan. Kalau belum ada, silahkan dicari. Barangkali melafalkan basmalah setiap kali akan makan, mengambil piring, memasak, menyapu, mencari rumput, menaiki montor, dan seterusnya menjadi kebiasaan yang telah dilakukan, hanya saja belum sadar. Kalau dulu sudah ada kebiasaan baik dan sekarang sudah surut dijalankan, ya pelan-pelan kembali ditunaikan.

Bahkan rutin menulis di blog pribadi ini juga bisa disebut sebagai kebiasaan baik. Kenapa? Karena bisa jadi menjadi ladang melatih keterampilan atau skill pribadi yang tidak banyak dimiliki oleh orang lain. Syukur-syukur dikumpulkan kemudian dibukukan. Begitu.

2 komentar:

Kang Ansorie mengatakan...

sebuah batu dapat berlubang dari setetes air yang "biasa" menjatuhinya...

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

enggeh pak leres, dipuntelateni😀