Kota Bandung menjadi salah satu kota besar dan bersejarah di negeri ini. Kota yang dulunya pernah menjadi tempat bersemayamnya Kerajaan Padjajaran, salah satu kerajaan terkuat di nusantara. Kota yang juga pernah menggemparkan penjajah dengan keberanian membakar dirinya menjadi lautan api. Bahkan lagu ‘Halo-Halo Bandung’ yang dibuat oleh Ismail Marzuki bisa disebut sebagai upaya untuk mengabadikan Kota Bandung dalam ingatan.
Kota Bandung hari ini berkembang pesat. Manusia dari berbagai penjuru mampir dan menetap dalam rangka mencari ilmu dan mengadu nasib. Bangunan megah diadakan. Hotel, mall, dan tempat-tempat berduit lainnya diberi izin untuk berdiri. Kota Bandung menyulap dirinya agar mendapat pujian dari tiap manusia yang memandangnya.
Namun keagungan Kota Bandung yang seperti itu masih membuat wajah buku terlihat murung. Padahal Kota Bandung banyak ditulis, dikaji, dan dikenal oleh banyak orang salah satunya melalui buku. Buku mempopulerkan Kota Bandung. Tapi Kota Bandung kadang alpa memberi ruang yang lebih luas pada buku.
Riset yang dilakukan oleh Nugraha Dwi Saputra dan kawan-kawan yang bertajuk "Kontruksi Makna Pegiat Perpustakaan Jalanan (Studi Fenomenologi Tentang Kontruksi Makna Pegiat Perpustakaan Jalanan di Kota Bandung)" bisa memberi sedikit gambaran bagaimana buku di Kota Bandung bergeliat. Tajuk rumit yang mengundang pembaca untuk mengernyitkan dahi. Riset ini dimuat di Jurnal Khizanah Al-Hikmah, volume 5, nomor 2, tahun 2017.
Di awal kalimat latar belakang riset ini sudah mengundang iba pecinta buku. Buku berada di tempat debu dan polusi. Buku dituntut memberi ilmu meski rawan rusak jika hujan turun. Simak pernyataan berikut, “Lokasi dari perpustakaan jalanan di Kota Bandung salah satunya berada di Taman Cikapayang di bawah fly over Surapati, dekat dengan tulisan taman DAGO” (hlm. 152). Pembaca diajak menikmati buku diantara deru mesin yang saling mendahului dan brisiknya suara klakson.
Pemilihan waktu buka-tutup perpustakaan jalanan juga tidak sembarangan. Tujuh jam di setiap malam Minggunya, mulai jam empat sore sampai sebelas malam, ragam buku bisa dinikmati di perpustakaan ini. Saya rasa pemilihan hari dan waktu buka-tutup ini sebagai sindiran bagi masyarakat yang utamanya bermukin di Kota Bandung.
Bahwa diri dalam sepekan juga memiliki hak untuk dicerdaskan dengan membaca buku. Tidak melulu seperti mesin, bekerja pagi pulang petang. Begitu pun malam Minggu yang telah dikonstruksi sebagai waktunya apel pacar, kencan, dan sebagainya juga tidak melulu harus ke rumah makan elite, tapi juga bisa ke perpustakaan jalanan.
Perpustakaan Jalanan Kota Bandung ini mulai ada pada tahun 2010. Sekarang, keberadaan perpustakaan serupa sudah banyak menyebar, bahkan sampai dijadikan prototipe oleh kota-kota lain di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa geliat buku mulai tumbuh diantara laju kota yang semakin sesak dan penuh.
Alasan berdirinya perpustakaan ini juga terbilang unik. Selain karena sebab sulitnya informasi dan ruang baca bagi masyarakat, juga karena banyak buku yang khatam dibaca tapi bingung mau dikemanakan. Alasan pertama menjadi alasan lumrah bagi setiap pihak yang ingin mendirikan ruang baca. Di samping kedua alasan tersebut, ada alasan yang menurut saya cukup ideal bagi orientasi keberadaan buku, yakni sebagai kritik terhadap ruang sosial (hlm. 156), khususnya di Kota Bandung.
Seperti yang saya sebut di awal, pertumbuhan kota yang pesat seperti di Kota Bandung ini, sedikit banyak akan menimbulkan banyak problem. Sebut saja seperti arus urbanisasi, penataan kota, kemacetan, pemukiman yang semakin sesak, dan ketimpangan sosial-ekonomi masyarakatnya.
Problem-problem semacam ini perlu disikapi dengan kritik yang kritis. Salah satu cara agar masyarakat bisa mengkritik dengan kritis, tidak pasrah pada pemerintah yakni dengan membaca buku. Ikhtiar seperti ini meski peluangnya sempit, tapi tetap harus ditunaikan. Minimal untuk menumbuhkan kesadaran.
Perpustakaan jalanan di Kota Bandung ini dimaknai oleh pengelolanya dengan menekankan sisi idealismenya. Sisi yang memang lekat dengan buku. Setidaknya ada tiga makna yang diberikan, sebagai ruang alternatif, penyegar pikiran, dan manusia baru (hlm. 155). Makna yang hampir tidak bisa dijangkau oleh masyarakat awam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar