Ngaji Tasawuf yang diadakan di Masjid Jendral
Sudirman merupakan salah satu alternatif ngaji yang, boleh dikata,
cukup unik. Pasalnya, saat masjid-masjid lain menawarkan pengajian
dengan tipe sudah matang untuk dikonsumsi, justru Ngaji Tasawuf ini
menjadi kebalikannya. Jamaahnya secara tak langsung disodorkan untuk
berpikir sebagai bahan perenungan, dari akal pikiran turun ke hati.
Setiap kali ngaji digelar, jamaah yang datang semakin bertambah jumlah,
tapi kadang juga surut pada hari hujan. Komposisi jamaahnya juga
beragam, mulai dari santri pondokan, mahasiswa semester awal sampai
mahasiswa yang bercita-cita menetap di kampusnya (tidak lulus-lulus),
pekerja salon dan toko, bapak-bapak, ibu-ibu. Ada juga jamaah yang
datang di luar kota Yogyakarta khusus hadir untuk ikut Ngaji Tasawuf.
Sekedar information, Ngaji Tasawuf yang diagendakan di
Masjid Jendral Sudirman, itu ada yang berjangka waktu sebulan dua kali
dengan membahas kitab yang berbeda dan ada yang sebulan sekali mengikuti
hari pasaran. Yang sebulan dua kali dengan kitab yang berbeda yaitu
ngaji kitab Tarjuman al Asywaq karya Ibn ‘Arabi dan Rubaiyat karya
Jalaludin Maulana Rumi. Kedua kitab tersebut dihidangkan pada hari
Kamis malam Jum’at. Sebagai pengampu adalah Kyai Kuswaidi Syafi’ie,
pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul. Kemudian yang
yang sebulan sekali mengikuti hari pasaran (Senin Legi malam Selasa
Kliwon) diampu oleh K.H. Imron Djamil, pengasuh Pondok Pesantren Kyai
Mojo, Jombang dengan membahas kitab Al-Hikam karya Ibn Attaillah Al-Iskandari.
Dalam tasawuf, menjadikan cinta sebagai fondasinya. Begitu yang dapat
saya tangkap. Manusia yang mencintai dirinya berarti mencintai
Penciptanya. Wujud cinta seorang hamba kepada Tuhan bentuk tindakannya
pun bermacam-macam. Ada yang menjadikan malamnya sebagai rutinitas
bermunajat, ada juga yang ingin melepaskan jabatan keduniawian, bahkan
ada juga yang sampai dikatakan gila oleh orang-orang di sekitarnya.
Orientasi tindakan-tindakan tersebut hanya untuk yang dicintainya,
yakni Allah. Seperti yang disampaiakn oleh Dr. Fahruddian Faiz pada
salah satu kesempatan Ngaji Filsafat, bahwa manusia yang sudah diliputi
oleh cinta, yang ada hanya yang dicintainya. Sementara dirinya sudah
hilang. Dirinya telah melebur dengan yang dicintainya. Contoh paling
mudah bisa ditemukan pada kisah Qais-Laila. Hikayat seorang pecinta yang
merelakan dirinya hilang hanya untuk orang yang dicintainya. Bahkan,
para tabib dan obat yang mujarab sekalipun tak bisa menyembuhkan Qais
(Majnun) dari kegilaannya.
Selain ‘gila’, penderitaan yang disadari atas dasar cinta menjadi
semacam kejadian yang ditunggu-tunggu. Kyai Kuswaidi Syafi’ie menuturkan
bahwa Ibn ‘Arabi, pengarang kitab Tarjuman al Asywaq, andaikan
diizinkan bersedia dihukum dan dimasukkan ke neraka sebagai ganti dari
penderitaan orang-orang di dunia. Karena penderitaan, yang telah
diringkus seandainya oleh Ibn ‘Arabi terpenuhi, akan berubah menjadi
kebahagiaan. Contoh kasarannya bisa ditemukan pada orang yang bermadu
kasih, yakni seorang perempuan yang mencubit laki-laki. Dicubit itu
sakit, dan mencubit adalah tindakan kekerasan. Namun dalam kejadian
tersebut, sakit dan kekerasan tidak berlaku lagi. Yang ada hanya rasa
cinta dan bahagia. Kejadian yang sejenis itulah tapi dalam taraf cinta
Ilahi yang ditunggu-tunggu oleh para pecintaNya.
Gila dan penderitaan dalam ajaran tasawuf, kalau dinalar dalam
kerangka pikir positivisme, akan sulit, boleh jadi malah berlawanan
dengan kehidupan yang dijalani oleh kebanyakan manusia hari ini. Saat
ini, menjalani cinta layaknya sebuah transaksi ekonomi. Saya sudah
mengorbankan waktu, tenaga, biaya, dan pikiran, tetapi apa yang sudah
saya peroleh dari pengorbanan itu? Atau, saya melakukan ini maka kamu
harus melakukan hal yang sama dengan yang saya lakukan. Penderitaan pun
menjadi momok bagi kebanyakan manusia hari ini. Penderitaan kerap
disandingkan dengan tindakan sadis, penyiksaan, dan penindasan. Padahal,
agama telah mengajarkan bahwa penderitaan merupakan ujian sebagai jalan
untuk meningkatkan derajat manusia.
Selanjutnya, yang menjadi pembahasan menarik, kenapa saat ini Ngaji Tasawuf diajarkan secara terbuka? Sebenarnya, pertanyaan itu bukan sesuatu yang ‘wah’. Bila kita
merunut sejarah, banyak ulama yang menyebarkan ajaran tasawuf secara
terang-terangan. Tak ada yang sembunyi-sembunyi. Hanya saja, penyebaran
ajaran tasawuf itu sering kali memakan korban kalau salah dalam
memahami, atau salah dalam memandang seseorang (mursyid) yang telah
mencapai puncak menyatu dengan sang Ilahi. Di Jawa ada Syekh Siti Jenar
dengan ajarannya manunggaling kawula gusti. Syekh yang dikenal
dengan Lemah Bang ini harus menerima konsekuensi karena ajarannya
‘menggilakan’ orang awam. Begitu pula yang dialami oleh Abu Abdullah
Husain bin Mansur al-Hallaj, akhir hidupnya harus berakhir di ujung
tiang gantungan.
Apa yang menimpa kedua tokoh sufi itu, dikarenakan masyarakat yang
masih mula belajar memahami agama (syariah) langsung diperhadapkan pada
sari pati ketauhidan (makrifat). Inti tauhid yang disebarkan secara
terus-menerus dan tidak sesuai maqam, tentu akan menimbulkan
kekacauan. Begitulah yang terjadi dari kisah dua tokoh tersebut.
Sementara untuk mencapai makrifat, seseorang harus melalui tahap
syariat, tarekat, hakikat.
Sederhananya, dalam pemahaman penulis tentu
saja, syariat itu adalah aturan yang bersumber dari dalam Al-Quran dan
Sunnah. Tarekat adalah wujud tindakannya, kemudian hakikat sebagai
pemaknaan terhadap tindakannya. Sedangkan makrifat adalah kombinasi dari
ketiga-tiganya, mengetahui dan memahami syariat terus dijalankan lantas
dimaknai.
Dari adanya Ngaji Tasawuf yang diajarkan secara terbuka, setidaknya
menurut penulis, hal ini bisa dipicu oleh rasa tanggung jawab, yakni
untuk mencegah dan memperbaiki dunia dari ragam bentuk kebencian dan
kekejaman serta kian mengudarnya cinta. Bila ajaran cinta ini telah
menjadi pondasi dan benar-benar diterapkan dalam keseharian, maka rasa welas asih menjadi lebih hidup dan membumi, tidak sekadar ajaran yang berada di menara gading. Seperti yang dituturkan Sunan Kalijaga, urip iku urup.
Hidup itu harus bermanfaat. Sementara untuk bisa bermanfaat, dalam
kacamata tasawuf, dengan menjadikan cinta sebagai fondasinya.
Demikianlah itu sekedar coretan dari penulis yang sedang belajar menulis. Penulis meyakini
bahwa pemahaman dari penulis ini masih awam sekali. Maka sudilah bagi
pembaca untuk tidak menjadikan tulisan ini sebagai kebenaran, cukup
sebagai hiburan dan bacaan di waktu luang. Wallahua’alam.
Dipublikasikan di mjscolombo.com
pada 21 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar