Masjidku yang dahulu begitu jauh dari kata layak. Berdiri adanya
ruang utama masjid, terus ditambah teras didepannya. Kipas angin sebagai
penyelamat dikala sumuk pun tidak ada. Lantainya hanya
beralaskan tikar, tanpa ubin, marmet atau keramik mulus yang bisa
menambah minat para jamaah untuk berlama-lama duduk. Atapnya masih seng,
genteng sudah ada, namun masih ditata rapi di sebelah pojok selatan
masjid. Pasir di depan masjid menggunung sampai tiga gunduk. Bagaimana
dengan tempat parkir kendaraan? Jangankan tempat parkir, tempat untuk
sandal saja masih berserakan, sesuai kaki terakhir melangkah.
Kamar mandinya juga masih seadanya. Namun cukup, jika hanya sekedar
untuk buang air kecil dan mandi. Temboknya terbuat dari empat papan
tipis, yang suatu saat bisa roboh jika diterjang angin kencang. Atapnya
pun belum tertutup sempurna. Bak penampung air, juga belum permanen.
Bagaimana dengan tempat wudhunya? Hanya ada satu tempat wudhu. Iya
benar, harus gantian antara jamaah putra dan putri. Airnya harus ditimba
dulu. Siapa yang akan berwudhu, maka harus menimba (kerekan) dari dasar sumur kemudian dimasukan ke dalam gentong (wadah penampung air). Gentong
itu hanya cukup digunakan untuk berwudhu dua jamaah. Tapi beruntungnya,
air di sumur tidak pernah mengalami kekeringan. Meskipun musim kemarau
sekalipun.
Meskipun demikian, masjidku tetap melaksanakan fungsinya sebagai
tempat beribadah. Salat lima waktu tidak pernah sepi dari jamaah.
Mungkin karena ruangannya kecil, jadi terlihat penuh saat salat
didirikan. Sampai-sampai yang ingin jadi muadzin harus dijadwal
dengan cara tunjuk. Begitupun ketika salat Jum’at, masjidnya penuh
sesak. Lebih-lebih jika salat Idul Fitri dan Idul Adha, jamaah harus
membawa tikar atau terpal sebagai tambahan tempat salat.
Masjidku sepi dari manusia hanya saat pagi hari sampai masuk waktu
salat Zuhur. Selepas itu, di pelataran masjid sering digunakan anak-anak
seusia sekolah dasar buat tempat bermain mereka. Main permainan apa
saja. Pada saat musim kemarau, sepak bola, bola voli, gobak sodor, betengan, dan layang-layang menjadi permainan favorit. Saat musim hujan, bermain karambol, dakon, dan bekelan menjadi permainan primadonanya. Pada momen bermain ini, saya dan lainnya menjadi lebih akrab.
Saat mentari mulai condong ke barat, masjidku menjadi pusat belajar
agama. Seluruh sudut di dalam masjid dipenuhi dengan anak-anak yang
mencari ilmu agama. Kami menyebutnya dengan TPA (Taman Pendidikan
Al-Quran). Sedangkan di luar masjid, dipenuhi dengan aneka bakul jajanan
dan orang tua yang menunggu anaknya. Banyak ilmu yang diajarkan, mulai
dari adab dan akhlak, tauhid, tajwid, ibadah salat, dan lain sebagainya.
Ketika masuk waktu malam, masjidku belum lelah untuk menerima
tamunya. Anak-anak yang sudah lulus di Taman Pendidikan Al-Quran,
melanjutkan ke pelajaran selanjutnya. Kami menyebutnya dengan diniyah bengi.
Yang diajarkan berupa kitab-kitab klasik agama dengan berbagai cabang
keilmuannya. Usai itu, anak-anak pulang, mengembalikan tas, berganti
pakaian dan minta izin kembali ke masjid lagi. Untuk apa? Mereka ingin
bermalam dan tidur di masjid. Saat hari dan musim libur, hampir
seluruhnya anak-anak tidur di masjid, kecuali yang perempuan.
Masjidku juga merayakan hari-hari besar Islam. Maulid Nabi, Isra
Mikraj, bulan Muharram diperingati dengan meriah. Biasanya jamaah
membawa nasi yang diwadahi marang, lengkap dengan aneka
lauk-pauknya. Kemudian kami berdoa bersama. Setelah usai, nasi tadi
dibagi rata ke seluruh jamaah. Bahkan yang tidak berangkat sekalipun,
terkadang juga mendapatkannya. Untuk Idul Fitri, masjidku sebagai tempat
dan pembagian zakat. Sedangkan Idul Adha, digunakan untuk pemotongan
hewan Qurban sekaligus pembagian dagingnya. Pada dua kesempatan waktu
itu, momen yang paling diminati anak-anak saat perayaan malam takbiran.
Karena pada momen takbiran, anak-anak diajak jalan kaki dengan memegang oncor berkeliling kampung.
Iya… memang, masjidku yang dahulu begitu ramah dengan orang-orang.
Mau menerima tamu siapapun dan kapanpun. Tanpa harus ada dakwaan dan
tuduhan yang miring dari status orang yang datang. Begitulah kebanggan
cerita tentang keramahan masjidku.
Sepuluh tahun berlalu, masjidku kini menjadi bagus. Bangunan fisiknya
berubah seratus persen. Cerita tentang tidak ada kipas angin, lantai
dengan tikar, kamar mandi hanya satu, dan lain sebagainya telah jadi
kenangan. Sekarang ruangannya jadi tiga, ditambah teras yang luas,
seperti lapangan Badminton. Tempat parkirnya cukup untuk sepuluh mobil
dan beberapa puluh motor. Tidak berhenti di situ, masjidnya terlihat
bersih. Bahkan seminggu sekali, setiap malam Jumat atau malam Ahad, ada
yang mengepel lantai. Jadi, masjidku yang sekarang lebih terawat secara
bangunan fisik dalam kedalam-dalamnya.
Namun kenyataan yang kurang mengenakan, itu kini masjidku hanya ramai
saat pelaksanaan salat Jumat dan salat hari raya. Selain itu, masjidku
hanya jadi bangunan gagah yang kosong. Saat salat fardhu, jamaah yang
datang bisa dihitung dengan jari. Dua puluh jamaah sudah maksimal,
itupun akumulasi dari jamaah putra dan putri. Begitupun dengan kegiatan
belajar agama, anak-anak sekarang sudah jarang yang minat untuk
mengikutinya. Terpaksa, akhirnya ditutup. Orang yang ingin azan tidak
perlu lagi berebut. Bahkan yang sering azan adalah seorang yang usianya
sudah menginjak enam puluh tahunan.
Pernah suatu ketika saya salat di masjidku waktu Zuhur. Orang yang
azan, iqamah, sekaligus imam adalah orang yang sama. Jamaah laki-lakinya
hanya saya, sedangkan perempuan hanya dua orang. Usai salat dan berdoa
saya keluar dulu, duduk di teras masjid. Sengaja saya lakukan untuk
menunggu dan berbincang dengan beliau. Beliaunya bernama Bapak Suradi.
Melalui suara tuanya yang khas, beliau menceritakan kesehariannya untuk
merawat masjidku yang dulu jadi primadona. Salah satu ungkapan beliau,
itu begini: “Lawong salat di masjid kan cuma lima menit mas. Kalau
dijumlah sehari, kan hanya setengah jam. Apa terlalu lama setengah jam
itu ya?”
Sontak saya kaget mendengar ungkapan beliau. Jika direnungkan, kita
di masjid seperti berada di tempat yang tidak menyenangkan. Padahal
masjid disebut-sebut sebagai rumah Allah. Tapi kita selalu tidak betah
berada dan berlama-lama di masjid. Pun fasilitasnya juga sudah lebih
baik dari zaman lalu. Tapi terbukti, hanya kurang dari satu jam waktu
kita untuk masjid. Itupun, kita tidak merasa ada rasa greget kangen
dengan-Nya.
Dalam perbincangan selanjutnya, beliau mengatakan bahwa hidup manusia
hanya sebentar. Jangan sampai sebentarnya hidup kita, juga menjadi
sebentarnya kita di masjid. Sebab menurut beliau, sebaik-baik tempat
adalah di masjid. Tanpa masjid, Islam tidak akan bisa mencapai puncak
kejayaannya. Tanpa masjid juga, peradaban Islam sulit untuk berkembang.
Tidak terasa perbincangan sampai masuk waktu salat Asar. Kali ini
saya yang—meskipun suara pas-pasan, he… he…—azan dan iqamah, dan
beliaunya yang menjadi imam salat. Lagi-lagi jamaahnya sama dengan waktu
Zuhur. Usai berdoa, salaman, terus saya bergegas pulang. Dalam hati
saya bersyukur, meski masjidku sekarang sudah berubah baik fisik dan
jamaahnya, namun saya masih bisa melihat beberapa orang yang secara
ikhlas menjadi mbau rekso tanpa pamrih. Semoga masjidku kembali
menjadi tempat yang paling utama. Tidak hanya sebagai tempat singgah
untuk memohon lima menitan, namun juga sebagai tempat bertukar cerita
dan berkumpul seperti saya dan teman-teman dahulu lakukan.
Dipublikasikan di mjscolombo.com
pada 25 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar