Definisi post-truth atau pasca-kebenaran yang selama ini
dijadikan rujukan oleh mayoritas penulis adalah definisi dari kamus
Oxford. Karena pada tahun 2016, post-truth menjadi word of the year menurut
kamus Oxford. Dalam kamus tersebut didefinisikan sebagai suatu keadaan
yang mendasarkan kebenaran pada emosi dan kepercayaan pribadi, daripada
fakta objektif.
Baru-baru ini, Program Studi Sosiologi Agama di UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Seminar Nasional yang berkaitan dengan post-truth
atau pasca-kebenaran. Seminar tersebut mengambil tema yang hari ini
masih menjadi perbincangan hangat di publik, yakni “Keberagamaan di
Zaman Pasca-Kebenaran Menurut Perspektif Sosiologi Agama”.
Pada kesempatan tersebut dihadiri oleh Dr. Ruhaini Dzuhayatin, MA
(Staf Khusus Presiden Bidang Agama Tingkat Internasional) dan Dr. Arwin
Sumari (Wasek Tim SIMANPusat, Kemenpolhukam). Selain itu hadir juga
Prof. Dr. Phil. Al-Makin (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) dan
Prof. Dadang Kahmad, M.Si (Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati, Bandung).
Pada kesempatan tersebut dipaparkan oleh masing-masing narasumber tentang post-truth atau pasca-kebenaran. Mulai dari definisi, penyebab munculnya post-truth, era post-truth hari
ini, dampak yang dirasakan, sampai solusi yang ditawarkan. Prof. Dr.
Phil. Al Makin mengatakan bahwa salah satu solusi yang ditawarkan untuk
meredam dampak negatif di era pasca-kebenaran adalah dengan membuka
jendela dunia melalui daya baca. Ungkapan senada juga menjadi solusi
yang ditawarkan oleh Prof. Dadang Kahmad.
Namun pada kesempatan tersebut belum juga dipaparkan kebenaran yang
bagaimana dan seperti apa yang menjadi problematika di pasca-kebenaran.
Apakah semua kebenaran benar-benar disangsikan di pasca-kebenaran?,
atau hanya kebenaran tertentu yang menjadi perdebatan? Berdasarkan
pengamatan di dunia sosial dan dunia maya, saya mencoba sedikit untuk
menuliskan sedikit jawaban yang bisa mengobati kegelisahan.
Teori Kebenaran
Sebagai pembuka, saya memulai dengan teori kebenaran. Setidaknya ada
tiga macam teori tentang kebenaran, yakni koherensi, korespondensi, dan
pragmatis. Diluar ketiga teori tersebut, sebenarnya masih banyak teori
yang berbicara tentang kebenaran. Misalnya dalam ilmu pengetahuan islam,
kebenaran bisa diperoleh melalui bayani, burhani, dan irfani.
Kebenaran koherensi artinya yakni kebenaran yang mempunyai hubungan
atau keterkaitan dengan yang lain. Jadi, pernyataan di awal dan konklusi
yang ditarik di akhir memiliki kesepahaman. Contoh sederhana, saat
presiden diwawancari oleh media mengenai program perbaikan
infrastruktur.
Kemudian masuk ke media a, informasi diolah dan disampaikan kepada
publik dengan inti yang sesuai dengan hasil wawancara program perbaikan
infrastruktur. Lantas realisasi di lapangan juga menunjukkan perbaikan
infrastruktur, seperti pembenahan jalan yang rusak, membangun jembatan,
dan lain sebagainya. Maka ini bisa disebut dengan benar.
Kemudian yang kedua, kebenaran pragmatis, maksudnya sesuatu itu benar
jika mengandung nilai fungsional atau nilai guna. Contoh sederhana,
program pembangunan infrastruktur memiliki nilai guna seperti
mempermudah pengguna jalan, mempersingkat waktu tempuh, dan lain
sebagainya. Jika pembangunan memang mengarah pada kemanfaatannya, maka
bisa disebut benar menurut teori yang kedua ini.
Dan yang terakhir adalah kebenaran korespondensi, kebenaran yang
dicapai jika pernyataan selalu dibarengi dengan fakta yang sesuai. Misal
sederhana, ketika media memberitakan bahwa presiden mengatakan
perbaikan infrastruktur, maka yang jadi pertanyaan, apakah presiden
berbicara demikian atau tidak. Jika iya, maka benar karena sesuai dengan
fakta. Dan kebenaran yang diperdebatkan di pasca-kebenaran adalah
kebenaran yang terakhir ini, yakni kebenaran korespondensi.
Kenapa Demikian?
Karena setidaknya ada dua syarat yang telah terpenuhi, yakni iklim
ilmiah positivistik dan peran media sosial. Iklim ilmiah positivistik
merupakan posisi ilmu pengetahuan yang disandarkan pada keberadaan fakta
objektif. Jika tidak bisa dibuktikan fakta objektifnya, maka diragukan
kebenarannya dan tidak bisa masuk ke deretan ilmu pengetahuan. Misalnya
saya bermimpi bertemu dengan Syekh Ibn ‘Arabi.
Lantas saya ceritakan ke seorang teman. Ketika dia menghendaki bukti,
saya tidak mampu membuktikan, karena kejadian itu hanya di alam mimpi.
Kejadian yang demikian tidak bisa masuk ilmu pengetahuan berdasarkan
corak positivistik.
Kebenaran korespondensi didukung oleh corak ilmu pengetahuan yang
positivistik ini. Sebab setiap kebenaran harus ada faktanya dan bisa
diakses panca indera, jika tidak ada faktanya dan tidak bisa diakses,
maka tidak benar. Meskipun kejadiannya memang benar terjadi apa adanya
seperti contoh mimpi yang saya sebutkan di atas.
Syarat kedua peran media sosial. Di media sosial, berbagai informasi
telah ada dan bisa diakses kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun.
Informasi yang disediakan ada yang benar ada juga yang tidak benar.
Kenapa ada informasi tidak benar?, karena informasi tidak didasarkan
pada data yang diambil dari fakta di lapangan. Informasi hanya
didasarkan pada perasaan dan keyakinannya pribadi. Misalnya, ada
informasi di media sosial perihal keuangan yang turun akibat adanya
program perbaikan infrastruktur. Di dalam informasi tersebut tidak
disebutkan data-datanya secara lengkap, sebagai pendukung maksud dari
judul yang diangkatnya.
Diperparah lagi dengan adanya konsumen yang menerima informasi apa
adanya, tanpa ada koreksi. Informasi hoax tersebut, dijadikan sebagai
dasar kebenaran, sekaligus dijadikan dasar untuk bertarung argumen
dengan yang lain. Jadi informasi hoax tersebut beralih menjadi fakta
yang dijadikan dasar untuk menyerang lawan-lawannya. Maka semakin
keblinger dan jauh dari kebenaran. Oleh karena itu, kebenaran di
pasca-kebenaran ini menghendaki adanya fakta. Jika tidak ada faktanya
maka tidak bisa dikatakan benar. Meskipun orang yang membuat informasi
adalah pejabat sekalipun, jika tidak berdasarkan fakta, maka
kebenarannya disangsikan. Jadi berdasarkan uraian tersebut, kebenaran
yang hari ini diperdebatkan berada pada level kebenaran korespondensi,
kebenaran yang harus ada faktanya.
Memang kebenaran yang demikian bisa menyelematkan kita sebagai
konsumen dari informasi-informasi salah dan hoax. Namun disisi lain,
jika kita terlalu mengedepankan fakta sebagai syarat utama penentu
kebenaran, maka akan mereduksi kebenaran. Karena diluar kebenaran yang
mensyaratkan fakta, masih ada kebenaran-kebenaran lainnya. Bukankah
demikian?
Dipublikasikan di geotimes.co.id
pada 26 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar