Senin, 08 Oktober 2018

Islam Dan Klasifikasinya Menurut Masdar F. Mas'udi


Islam merupakan agama yang memiliki mayoritas penganut di Indonesia. Meskipun ada juga agama-agama resmi serta ratusan kepercayaan lainnya yang masih tetap tumbuh subur dan meskipun juga agama Islam datangnya paling akhir di Indonesia, namun keberadaan agama Islam masih tetap terasa kuat di negara Indonesia.
 
Buktinya, di Indonesia terdapat berbagai macam organisasi massa yang bersandar pada agama Islam. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kedua organisasi besar, sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat dunia Internasional. Kedua organisasi ini dikenal memiliki paham yang lebih moderat dan akomodatif, bisa menerima keberagaman yang ada

Meskipun sampai hari ini Nahdlatul Ulama-lah yang secara nyata telah mendeklarasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Harga Mati. Namun, bukan berati Muhammadiyah menghendaki terpecahnya Indonesia. Justru usaha Muhammadiyah saya kira lebih memiliki efek nyata untuk kesatuan dengan mendirikan berbagai sekolah untuk mewujudkan peradaban di Indonesia.

Selain dua organisasi besar tersebut, ada juga organisasi massa baru yang bersandar pada agama Islam. Sebut saja Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), Persatuan Islam (Persis), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan lain sebagainya.

Organisasi-organisasi tersebut tumbuh subur di Indonesia, baik dalam bentuk aplikasi di kehidupan nyata ataupun hanya pada ranah idealitasnya saja. Orientasinya juga bermacam-macam, ada yang menghendaki bentuk negara Islam di Indonesia, ada yang bergerak hanya dalam bidang agama saja tanpa menyentuh kegiatan politik, ada juga yang lebih intens dengan pergerakan sosial-ekonomi, dan ada juga yang menekankan pada bidang kajian keislamaaan tanpa mengesampingkan aspek-aspek lainnya.

Bukti selanjutnya bisa dilihat dari perkembangan kuantitas pembangunan tempat ibadah, yakni masjid dan musala. Di desa saya sendiri, terdapat dua pembangunan musala baru dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Belum lagi di desa atau di daerah-daerah lainnya.

Meskipun menurut laporan dari Dewan Masjid Indonesia, pertumbuhan pembangunan masjid masih terbilang kalah dengan pembangunan gereja. Tapi menurut saya akan lebih baik jika kompetisinya bukan pada ranah kuantitasnya, namun lebih pada ranah kualitasnya. 

Sebab akan terlihat tidak elok jika terus menggenjot pembangunan fisik, sedangkan ranah spiritualitasnya terlalu diabaikan. Bukankah pembangunan tempat ibadah (masjid) fungsi esensinya untuk menaikkan level peribadatan?

Di samping kedua bukti tersebut, ada juga bukti ketiga dengan maraknya kajian-kajian keislaman. Mulai kajian Islam yang paling radikal sampai Islam yang paling liberal mendapatkan panggung dan massanya masing-masing. 

Kajian-kajian tersebut terkadang mendapatkan intervensi dari pihak luar, meskipun di sisi lain kajian tersebut benyak memuat kepentingan-kepentingan, baik kepentingan organisasi, politik, atau yang lainnya. Andaikata kajian tersebut dibubarkan karena suatu hal yang bertentangan dengan penguasa, kajian tersebut masih bisa berjalan dengan alternatif pergantian nama kajian.

Kajian-kajian keislaman sekarang ini saya kira telah mendapatkan momentumnya. Didukung dengan adanya perkembangan teknologi berupa smartphone dan akses yang dipermudah, kajian tidak bisa dibatasi lagi dalam ranah geografis. Sangat mungkin orang yang menggelar kajian di Yogyakarta bisa diikuti oleh orang yang berada di Makassar, Palembang, bahkan di luar negeri sekalipun.

Salah satu dampak positifnya, kegiatan kajian keislaman di Indonesia bisa dengan mudah didistribusikan tanpa mengeluarkan biaya yang banyak. Sedangkan salah satu dampak negatifnya, yakni ketika ada kasus tertentu, pihak berwajib mengalami kendala untuk melacak siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam kajian tersebut.

Klasifikasinya 

Dari bukti-bukti tumbuh suburnya agama Islam tersebut, bisa dibagi lagi menjadi beberapa klasifikasi. Meminjam istilah dari Masdar F. Mas’udi dalam tulisannya Agama dan Dialognya yang dimuat dalam buku Dialog: Kritik dan Identitas Agama, beliau membagi agama Islam dalam tiga klasifikasi, yakni subjektif, objektif, dan simbolik.

Klasifikasi subjektif meliputi wilayah normatif, yakni keimanan manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Agama Islam, level subjektif ini termaktub dalam rukun iman yang dimulai dari mengimani Allah sebagai Tuhan. 

Mengimani malaikat-malaikat-nya berjumlah sepuluh (yang wajib diketahui). Mengimani kitab-kitab-Nya, yakni Taurat, Zabur, Injil, dan Alquran. Mengimani para rasul-Nya sebanyak dua puluh lima yang dimulai dari Nabi Adam a.s sampai Nabi Muhammad SAW. Mengimani adanya hari kiamat. Dan terakhir mengimani Qada’ dan Qadar. Semua organisasi massa yang disebutkan di atas saya kira sudah final dalam level subjektif ini.

Klasifikasi selanjutnya, yakni level objektif. Klasifikasi ini meliputi hubungan penganut agama Islam dengan anggota sepemahaman ajarannya dengan penganut agama Islam yang beda pemahaman, dan dengan penganut agama atau kepercayaan selain Agama Islam. Lebih tepatnya, hubungan antara sesama manusia sebagai makhluk cipataan-Nya.

Wujud idealnya termaktub dalam Pancasila, terutama sila kedua sampai sila kelima. Sedangkan wujud nyatanya bisa melalui bantuan ekonomi kepada mereka yang membutuhkan tanpa memandang agama, gotong royong membersihkan aliran sungai yang tersumbat, kerja bakti mencabuti rumput di sepanjang jalan, dan lain sebagainya.

Seperti quote yang sering disandarkan pada namanya Gus Dur, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu... kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu?

Klasfikasi terakhir, yakni simbolik. Klasifikasi ini meliputi wilayah simbol-simbol yang dijadikan ciri khas atau pembeda antarorganisasi massa dalam agama Islam, maupun dengan agama atau kepercayaan lainnya. Baju gamis, peci, sarung, sajadah, lambang organisasi, warna baju, dan lain sebagainya merupakan contoh klasifikasi simbolik.

Meskipun di satu sisi klasifikasi simbolik ini menjadi cermin beragamnya organisasi massa dalam agama Islam, namun di sisi lain menjadi sangat rawan terhadap lahirnya konflik antarumat Islam maupun antarpenganut agama lainnya.

Oleh karena itu, kita dan terlebih saya pribadi harus bisa memposisikan ketiga klasifikasi ini dengan porsi dan proporsi yang pas. Karena sebagai muslim, klasifikasi simbolik saja tidak cukup untuk mengklaim kekaffahan Islam kita. Perlu klasifikasi lainnya. Dengan begitu, justifikasi-justifikasi yang cenderung menimbulkan konflik bisa dicegah. Demikian.

Dipublikasikan di qureta.com
pada 08 Oktober 2018

Tidak ada komentar: