Islam
merupakan agama yang memiliki mayoritas penganut di Indonesia. Meskipun
ada juga agama-agama resmi serta ratusan kepercayaan lainnya yang masih
tetap tumbuh subur dan meskipun juga agama Islam datangnya paling akhir
di Indonesia, namun keberadaan agama Islam masih tetap terasa kuat di
negara Indonesia.
Buktinya, di Indonesia terdapat berbagai
macam organisasi massa yang bersandar pada agama Islam. Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah, kedua organisasi besar, sudah tidak asing lagi bagi
masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat dunia Internasional. Kedua
organisasi ini dikenal memiliki paham yang lebih moderat dan akomodatif,
bisa menerima keberagaman yang ada
Meskipun sampai hari ini
Nahdlatul Ulama-lah yang secara nyata telah mendeklarasikan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai Harga Mati. Namun, bukan berati
Muhammadiyah menghendaki terpecahnya Indonesia. Justru usaha
Muhammadiyah saya kira lebih memiliki efek nyata untuk kesatuan dengan
mendirikan berbagai sekolah untuk mewujudkan peradaban di Indonesia.
Selain
dua organisasi besar tersebut, ada juga organisasi massa baru yang
bersandar pada agama Islam. Sebut saja Front Pembela Islam (FPI), Forum
Umat Islam (FUI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII), Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), Persatuan Islam
(Persis), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan lain sebagainya.
Organisasi-organisasi
tersebut tumbuh subur di Indonesia, baik dalam bentuk aplikasi di
kehidupan nyata ataupun hanya pada ranah idealitasnya saja. Orientasinya
juga bermacam-macam, ada yang menghendaki bentuk negara Islam di
Indonesia, ada yang bergerak hanya dalam bidang agama saja tanpa
menyentuh kegiatan politik, ada juga yang lebih intens dengan pergerakan
sosial-ekonomi, dan ada juga yang menekankan pada bidang kajian
keislamaaan tanpa mengesampingkan aspek-aspek lainnya.
Bukti selanjutnya bisa dilihat dari perkembangan kuantitas
pembangunan tempat ibadah, yakni masjid dan musala. Di desa saya
sendiri, terdapat dua pembangunan musala baru dalam kurun waktu sepuluh
tahun terakhir. Belum lagi di desa atau di daerah-daerah lainnya.
Meskipun
menurut laporan dari Dewan Masjid Indonesia, pertumbuhan pembangunan
masjid masih terbilang kalah dengan pembangunan gereja. Tapi menurut
saya akan lebih baik jika kompetisinya bukan pada ranah kuantitasnya,
namun lebih pada ranah kualitasnya.
Sebab akan terlihat tidak
elok jika terus menggenjot pembangunan fisik, sedangkan ranah
spiritualitasnya terlalu diabaikan. Bukankah pembangunan tempat ibadah
(masjid) fungsi esensinya untuk menaikkan level peribadatan?
Di
samping kedua bukti tersebut, ada juga bukti ketiga dengan maraknya
kajian-kajian keislaman. Mulai kajian Islam yang paling radikal sampai
Islam yang paling liberal mendapatkan panggung dan massanya
masing-masing.
Kajian-kajian tersebut terkadang mendapatkan
intervensi dari pihak luar, meskipun di sisi lain kajian tersebut benyak
memuat kepentingan-kepentingan, baik kepentingan organisasi, politik,
atau yang lainnya. Andaikata
kajian tersebut dibubarkan karena suatu hal yang bertentangan dengan
penguasa, kajian tersebut masih bisa berjalan dengan alternatif
pergantian nama kajian.
Kajian-kajian keislaman sekarang
ini saya kira telah mendapatkan momentumnya. Didukung dengan adanya
perkembangan teknologi berupa smartphone dan akses yang
dipermudah, kajian tidak bisa dibatasi lagi dalam ranah geografis.
Sangat mungkin orang yang menggelar kajian di Yogyakarta bisa diikuti
oleh orang yang berada di Makassar, Palembang, bahkan di luar negeri
sekalipun.
Salah satu dampak positifnya, kegiatan kajian keislaman
di Indonesia bisa dengan mudah didistribusikan tanpa mengeluarkan biaya
yang banyak. Sedangkan salah satu dampak negatifnya, yakni ketika ada
kasus tertentu, pihak berwajib mengalami kendala untuk melacak siapa
saja pihak-pihak yang terlibat dalam kajian tersebut.
Klasifikasinya
Dari
bukti-bukti tumbuh suburnya agama Islam tersebut, bisa dibagi lagi
menjadi beberapa klasifikasi. Meminjam istilah dari Masdar F. Mas’udi
dalam tulisannya Agama dan Dialognya yang dimuat dalam buku Dialog: Kritik dan Identitas Agama, beliau membagi agama Islam dalam tiga klasifikasi, yakni subjektif, objektif, dan simbolik.
Klasifikasi
subjektif meliputi wilayah normatif, yakni keimanan manusia terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Agama Islam, level subjektif ini termaktub
dalam rukun iman yang dimulai dari mengimani Allah sebagai Tuhan.
Mengimani
malaikat-malaikat-nya berjumlah sepuluh (yang wajib diketahui).
Mengimani kitab-kitab-Nya, yakni Taurat, Zabur, Injil, dan Alquran.
Mengimani para rasul-Nya sebanyak dua puluh lima yang dimulai dari Nabi
Adam a.s sampai Nabi Muhammad SAW. Mengimani adanya hari kiamat. Dan
terakhir mengimani Qada’ dan Qadar. Semua organisasi massa yang disebutkan di atas saya kira sudah final dalam level subjektif ini.
Klasifikasi
selanjutnya, yakni level objektif. Klasifikasi ini meliputi hubungan
penganut agama Islam dengan anggota sepemahaman ajarannya dengan
penganut agama Islam yang beda pemahaman, dan dengan penganut agama atau
kepercayaan selain Agama Islam. Lebih tepatnya, hubungan antara sesama
manusia sebagai makhluk cipataan-Nya.
Wujud idealnya termaktub dalam Pancasila, terutama sila kedua sampai
sila kelima. Sedangkan wujud nyatanya bisa melalui bantuan ekonomi
kepada mereka yang membutuhkan tanpa memandang agama, gotong royong
membersihkan aliran sungai yang tersumbat, kerja bakti mencabuti rumput
di sepanjang jalan, dan lain sebagainya.
Seperti quote yang sering disandarkan pada namanya Gus Dur, “Tidak
penting apa pun agama atau sukumu... kalau kamu bisa melakukan sesuatu
yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu?”
Klasfikasi
terakhir, yakni simbolik. Klasifikasi ini meliputi wilayah
simbol-simbol yang dijadikan ciri khas atau pembeda antarorganisasi
massa dalam agama Islam, maupun dengan agama atau kepercayaan lainnya.
Baju gamis, peci, sarung, sajadah, lambang organisasi, warna baju, dan
lain sebagainya merupakan contoh klasifikasi simbolik.
Meskipun di
satu sisi klasifikasi simbolik ini menjadi cermin beragamnya organisasi
massa dalam agama Islam, namun di sisi lain menjadi sangat rawan
terhadap lahirnya konflik antarumat Islam maupun antarpenganut agama
lainnya.
Oleh karena itu, kita dan terlebih saya pribadi harus
bisa memposisikan ketiga klasifikasi ini dengan porsi dan proporsi yang
pas. Karena sebagai muslim, klasifikasi simbolik saja tidak cukup untuk
mengklaim kekaffahan Islam kita. Perlu klasifikasi lainnya. Dengan
begitu, justifikasi-justifikasi yang cenderung menimbulkan konflik bisa
dicegah. Demikian.
Dipublikasikan di qureta.com
pada 08 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar