Disiplin ilmu sosial adalah mengenal manusia sebagai makhluk sosial.
Sebab, manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia selalu memerlukan
bantuan orang lain untuk membantu memenuhi kebutuhannya. Maka diperlukan
adanya kerjasama antara satu manusia dengan manusia yang lain. Kecuali
manusia gila atau tidak waras (Toer, 1988: 420), yang memang bisa lepas
dari intervensi kerjasama yang dimaksud.
Dalam kerjasama, diperlukan adanya interaksi, dan interaksi
mengharuskan komunikasi sebagai syaratnya – serta kontak sosial
(Soekanto, 1982: 58). Tanpa komunikasi, kemungkinan besar kerjasama
tidak bisa dibangun – jika tidak boleh dikatakan tidak ada kerjasama.
Ya, apa pun bentuk kerjasama itu, tugas kelompok, sepak bola, berada di
pasar, bahkan dalam acara seminar nasional sekalipun diperlukan adanya
kerjasama.
Namun kerjasama tidak bisa dinafikkan juga akan menghasilkan konflik.
Bisa jadi karena ada faktor luar yang mengacaukan, bisa juga karena
kesalahpahaman komunikasi yang dibangun. Pesan yang disampaikan oleh
pembicara tidak tersampaikan dengan baik atau tidak diterima dengan baik
oleh pendengar. Sehingga menimbulkan salah tafsir dan berujung pada
konflik.
Saya pernah mengalami peristiwa ini. Tepatnya ketika menjadi
pembicara dalam sebuah acara Seminar Nasional dan Launching Jurnal
Sosiosains Riset di Hotel Istana Tulungagung, pada tanggal 3-4 Juli
2018. Pada kesempatan tersebut, saya memaparkan hasil riset tentang
‘Salam, Shalom, dan Shanti; Orientasi Kerukunan Umat Beragama di Dukuh
Caben, Desa Sumbermulyo, Bantul’.
Riset tersebut dilatarbelakangi oleh kegelisahan saya pribadi yang
kerap kali menemukan bentuk perilaku keberagamaan yang kaku. Hingga
akhirnya timbul pertanyaan, apa tidak ada model keberagamaan atau tempat
yang memiliki interaksi perilaku keberagamaan yang fleksibel? Karena
saat riset ini saya lakukan, keadaannya memang begitu menegangkan,
terutama relasi antara penganut Islam dan Kristen setelah kasus Bapak
Ahok.
Intinya, riset ini menjelaskan bahwa kita sebagai warga negara
Indonesia yang memiliki keragaman (bahasa, tradisi, rumah, pakaian,
makanan, dan semacamnya) harus mengupayakan dan mengedepankan toleransi.
Tidak perlu ada klaim kebenaran absolut bahwa agama A masuk surga,
sedangkan agama B masuk neraka.
Bahwa surga itu ada, memang iya. Namun perkara masuk surga dan
tidaknya itu hak preogratifnya Tuhan yang didukung dengan keyakinan
penganut masing-masing agama. Setiap agama memiliki konsep keselamatan
dunia dan akhirat yang orientasinya menuju ke surga versi agamanya
masing-masing.
Peristiwa menarik ketika memasuki sesi tanya jawab. Bayangan saya
pada saat itu, audiens akan menanyakan kenapa saya kok harus meneliti
ini? atau metode apa yang saya gunakan untuk riset ini? Namun,
pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak saya dapatkan. Justru justifikasi
kesalahan terhadap riset saya yang disebabkan kekurangpahaman definisi
toleransi dari audien menjadi pertanyaannya.
Si penanya memahami toleransi seperti sikap tidak peduli dengan
sesama. Mereka – yang berbeda agama – mau melakukan apapun terserah
mereka, asalkan tidak mengganggu kami. Definisi ini menyalahi kodrat
bahwa manusia sebagai makhluk sosial (menurut saya).
Pada peristiwa ini, kerjasama antara pembicara dan pendengar tidak
terjalin dengan baik. Sebab komunikasi yang dibangun memiliki hambatan.
Hambatan tersebut mengakibatkan pesan yang disampaikan oleh pembicara
tidak ditangkap dengan baik oleh pendengar.
Kembali ke peristiwa di atas. Jujur saya kaget mendapat pertanyaan
tersebut. Bukan perkara tidak bisa menjawab, namun kok ada pertanyaan
semacam itu timbul di forum ilmiah, setingkat seminar nasional. Atau
mungkin ini baru awal saya ikut, jadi kurang mengetahui ternyata ada
pertanyaan-pertanyaan semacam itu di seminar nasional. Terlepas dari
itu, ini menjadi pengalaman saya yang masih membekas sampai hari ini,
sehingga saya merasa perlu untuk mendokumentasikannya dalam bentuk
tulisan. Minimal untuk share pengalaman.
Tapi yang jadi problem sebenarnya bukan itu, melainkan bagaimana saya
harus menjawab dengan tepat, tapi level bahasa yang saya gunakan juga
harus dipahami oleh si penanya. Menurut saya ini perkara yang tidak
mudah. Menerjemahkan ‘toleransi’ kepada masyarakat awam. Mungkin bagi
kalangan akademisi, toleransi menjadi makanan sehari-hari dalam berbagai
diskusi sosial-keagamaan. Namun bagi masyarakat awam, kata ‘toleransi’
memiliki definisi sempit (seperti contoh di atas), atau malah tidak
dimengerti sama sekali.
Back to local wisdom
Sebelum mencari sinonim yang tepat dari kata toleransi, saya jelaskan
dulu sudut pandang riset ini. Riset ini sudut pandangnya bukan
teologis, namun sosiologis atau ilmu masyarakat. Dalam ilmu masyarakat,
semua memiliki potensi kebenaran. Jadi, tidak ada salah menyalahkan.
Pada kasus yang saya teliti, semua dibenarkan akan masuk surga versi
agamanya sendiri-sendiri. Yang Islam akan masuk surganya versi orang
Islam, begitu pun seterusnya. Dengan begitu, toleransi akan terwujud
tanpa adanya gangguan klaim kebenaran mutlak.
Selanjutnya, secara spontan saya menyinonimkan ‘toleransi’ dengan
kata gotong royong. Meski pun sinonim ini terkesan memaksakan dan
mereduksi pengertian toleransi itu sendiri. Akan tetapi, melalui
perantara kata gotong royong, si penanya dan audien yang hadir dalam
forum seminar itu manggut-manggut. Dalam hati, “ wah… ini pertanda
mereka memahami apa yang saya maksud”.
Gotong royong akrab ditelinga mereka. Hampir di setiap aktivitas,
gotong royong selalu menjadi kata dan tindakan yang dikedepankan di
masyarakat Tulungagung. Tanpa memandang agama, status, dan semacamnya,
gotong royong selalu diutamakan. Ya…meski pun akan lain lagi pengertian
gotong royong di daerah lain. Tapi setidaknya kata ini bisa ikut
menjelaskan toleransi yang saya maksud. Meski pun itu tadi, reduksi
maknanya sebenarnya juga ada.
Peristiwa yang saya ceritakan di atas mungkin hanya kasus kecil
tentang gagalnya sebuah komunikasi dari pengertian definisi ‘toleransi’.
Memang konflik yang timbul tidak menjalar sampai radius nasional, namun
upaya untuk mengatasi konflik dengan cara local wisdom saya
kira perlu untuk dilakukan sebagai langkah awal solusi konflik. Karena
melalui komunikasi (salah satunya) konflik bisa teratasi.
Dan karena juga komunikasi telah menjadi bagian kebudayaan
masyarakat (Khoyin, 2013: 188-189). Jadi konflik akan lebih mudah
diredakan dengan melakukan komunikasi melalui budaya bahasa yang mudah
dipahami oleh masyarakat. Selain itu, melepaskan kekerasan dan
menciptakan kedamaian akan lebih tahan lama (langgeng) jika inisiatifnya
berasal dari person-person yang sedang bertikai (Amirrachman.ed, 2007: 10), artinya mengedepankan local wisdom. Sekian.
Dipublikasikan di geotimes.co.id
pada 30 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar