Takut dengan waria? Kenapa takut, apakah ada rasa jijik dan selainnya? Riset dari Idris Ahmad Rifai tentang Resepsi Kaum Waria Terhadap Al-Qur’an mungkin bisa sedikit merubah mind set kita terhadap waria. Riset
ini dilatar belakangi dengan kasus waria yang selalu dianggap negatif
dalam kehidupan sehari-hari. Ditambah lagi, eksistensi waria tidak
diakui di masyarakat. Berbagai persoalan yang menyangkut dengan
kehidupan waria, banyak yang tidak diperhatikan dengan baik.
Kemudian
muncullah Pondok Pesantren Waria Al-Fattah yang berada di kampung
Celenan, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul,
Provinsi Yogyakarta. Pondok pesantren ini menampung kelompok waria di
Yogyakarta dan sekitarnya. Aktivitas yang dilakukan oleh kelompok waria
di dalam pondok pesantren diantaranya belajar mengaji Al-Qur’an,
meskipun harus dimulai dari nol.
Dan meskipun juga, usianya sudah
tidak lagi muda. Namun semangatnya untuk belajar Al-Qur’an ternyata
tidak setua usianya. Uniknya lagi, pakaian yang dikenakan sewaktu
mengaji, ada yang mengenakan jilbab seperti layaknya ibu-ibu komplek
mengaji setiap pekannya dan ada juga yang mengenakan pakaian pria,
bersarung dan berpeci.
Teori resepsi estetis dipilih dan digunakan
sebagai pisau analisis dalam mengkaji fenomena waria di pondok
pesantren tersebut dari sudut pandang Al-Qur’an. Di dalam teori itu ada
istilah struktur tekstual dan tindakan terstruktur. Struktur tekstual
merupakan hasil pembacaan seseorang terhadap sebuah teks. Sedangkan
tindakan tersetruktur merupakan pemahaman para pembaca teks tentang
dirinya dan posisi dirinya. Kedua istilah ini kemudian membentuk implied reader, relasi yang terjadi diantara teks dan pembaca.
Sejarah
berdirinya pondok pesantren waria ini tidak bisa dilepaskan dari peran
Maryani, seorang waria yang pernah ikut dalam majelis mujahadah pimpinan
KH Hamroeli Harun di Pathuk, Gunung Kidul. Setelah terjadi gempa pada
tahun 2006, Maryani mengumpulkan teman-temannya sesama waria untuk
berdoa bersama dan membantu korban gempa, terutama untuk sesama waria.
Kemudian, Maryani memiliki inisiatif untuk membentuk wadah
yang bisa menampung para waria, terutama untuk pemenuhan kebutuhan
ajaran agama. Inisiatif ini diuatarakan kepada KH Hamroeli Harun dan
mendapatkan respon positif, begitupun respon positif juga datang dari
teman sesama waria. Akhirnya berdiri dengan nama Pondok Pesantren Waria
Al-Fattah, Yogyakarta. Pondok pesantren ini beroperasi pada hari Senin
dan Kamis. Karena menurut Maryani, kedua hari itu digunakan sebagai
momen tirakat bagi orang-orang muslim.
Berjalannya waktu, pondok
pesantren ini mengalami berbagai macam dinamika. Setelah meninggalnya
Maryani sebagai ketua, pondok pesantren sempat mengalami vakum beberapa
saat. Lantas posisi ketua diganti oleh Shinta Ratri, sekaligus lokasi
juga dipindah di rumah beliau. “Sangat disayangkan jika harus berhenti.
Selain kegiatannya positif, anggota komunitas yang terjalin sudah mulai
banyak”, menurut penuturan Shinta Ratri. Kegiatannya pun juga
berkembang, tidak hanya untuk mengasah spiritualitas keagamaan, namun
solidaritas sosial juga mulai digarap. Semisal bakti sosial, syawalan,
dan peringatan Idul Qurban.
Lantas, bagaimana cara waria yang
berada di pondok pesantren tersebut menerjemahkan dan mengejawantahkan
Agama Islam versi mereka?. Ini menjadi bagian yang menarik (menurut
saya). Pengejawantahan Agama Islam versi mereka bisa dilihat dalam
aktivitas sholat, membaca Al-Qur’an, dan memahami hukum Islam.
Shalat.
Rully Malay, salah seorang waria di pondok pesantren tersebut
mengatakan bahwa manusia merupakan abdinya Allah, dan wujud pengabdian
itu adalah taqwa. Nah, salah satu wujud taqwa adalah mengerjakan sholat.
Bahkan beliau selalu mengusahakan untuk sholat malam disela-sela
aktivitasnya sebagai pengamen.
Uniknya lagi, ada perbedaan
pendapat perihal pakaian yang harus digunakan waria ketika melaksanakan
sholat. Sebagian berpendapat menggunakan pakaian pria. Bersarung dan
berpeci. Karena dari sana-Nya sudah diberi simbol biologis pria. Maka
ketika menyembah-Nya pun juga harus kembali ke wujud asalnya sebagai
pria. Sebagian lagi berpendapat menggunakan mukena, pakaian sholat
perempuan. Karena waria merupakan pemberian Allah, dan Allah Maha Tahu.
“Jadi, saya tidak mau berbohong –atas kewariaan saya-, kepada manusia,
apalagi kepada Allah”, jelas Shinta Ratri.
Membaca Al-Qur’an.
Waria di pondok pesantren ini juga belajar tentang bagaimana membaca
Al-Qur’an dengan baik dan benar. Mereka dibimbing oleh ustad-ustad. Jika
belum bisa sama sekali, maka dimulai dari iqra’. Bagi yang sudah bisa,
langsung membaca Al-Qur’an. Melalui metode sorogan, mereka mengasah kemampuan membaca Al-Qur’annya.
Perlakuan
mereka terhadap Al-Qur’an juga sama dengan manusia pada umumnya.
Dimulai dari pakaian bersih, tempat bersih, berwudhu, melafalkan dengan
suara seindah mungkin dan senyaring mungkin agar diketahui mana yang
benar dan yang salah ketika membaca Al-Qur’an. Bagi mereka, kata iqra’ yang turun pertama dibumi menjadi sandaran untuk tetap belajar diusianya yang sudah terbilang senja.
Memahami hukum Islam. Dalam memahami hukum Islam pun
mereka juga memiliki perbedaan pendapat. Misalnya dalam kasus batalnya
wudhu. Ada yang berpendapat ketika bersentuhan antara laki-laki dan
perempuan tidak membatalkan wudhu jika tidak nafsu. Ada juga yang
berpendapat wudhunya batal jika bersentuhan dengan perempuan, karena
kodrat awalnya adalah pria. “Jadi ya batal”, kata Eva salah seorang
waria. Terakhir, ada yang berpendapat tidak batal menyentuh pria maupun
perempuan. Karena mereka memiliki dua sisi, pria dan perempuan
sekaligus.
Apa sih pelajaran yang bisa dipetik?
Sampai
disini, saya kira pembaca-dan saya- sudah mulai memiliki pemikiran yang
tidak terlalu buruk kepada waria. Riset ini saya rasa menarik untuk
dikaji lebih lanjut. Misalnya bagaimana respon warga sekitar tentang
keberadaan waria?, apa faktor-faktor yang dapat mendukung eksistensi
waria agar bisa diakui menjadi manusia seutuhnya?, dan pertanyaan
semacamnya. Dari riset ini pula, ada beberapa nilai yang bisa dipetik
dan bisa dijadikan cambuk bagi kita yang merasa normal.
Belajar terus.
Sebagai manusia, apalagi muslim, belajar merupakan kewajiban. Belajar
tidak harus berada di bangku sekolah yang dikelilingi tembok disetiap
penjuru mata angin. Belajar memasak, belajar mencuci pakaian, belajar
menulis dan membaca, dan lainnya. Mereka yang kita anggap aneh saja
terus belajar (memperbaiki bacaan Al-Qur’annya), kenapa kita justru
tidak?
Menghargai perbedaan. Pemahaman mereka tentang
Agama Islam ternyata cukup beragam. Tapi mereka saling menghargai satu
sama lain. Jika kita bandingkan dengan kehidupan kita sekarang yang kita
anggap normal, perbedaan pendapat sama dengan mencari musuh. Terlebih
jika terjadi di ranah politik dan dilegitimasi dengan agama. Seakan-akan
perbedaan ‘harus’ disatukan, bagaimanapun caranya.
Terakhir, memanusiakan manusia.
Bagaimanapun anggapan kita terhadap waria, mereka sama dengan kita.
Sama-sama manusia, butuh makan dan butuh pengakuan. Jika kita sebagai
yang normal tidak menganggap mereka (waria) ada, lantas untuk apa
‘kenormalan kita’ jika hanya untuk menjustifikasi dan menyingkirkan
hak-hak makhluk yang lain? Demikian.
Dipublikasikan di qureta.com
pada 19 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar