Organisasi di dalam masyarakat merupakan suatu keniscayaan. Keluarga,
dikenal sebagai bentuk organisasi terkecil yang pernah ada di bumi ini.
Karena di dalam keluarga, kita bisa mengetahui setiap person memiliki
peran dan tugasnya masing-masing. Saya di keluarga memiliki peran
sebagai anak, tugas saya adalah membantu orang tua, demikian seterusnya.
Namun, interpretasi terhadap organisasi tidak sesaklek itu. Pramoedya Ananta Toer dalam kitab Rumah Kacanya
menjelaskan lewat peran seorang Minke yang masih menjadi tawanan
setelah dibebaskan dari penjara. Dalam pemberontakan intelektualnya,
Minke mengatakan,“ Selama orang berada di tengah-tengah masyarakatnya, betapa pun kecil masyarakat itu, dia berorganisasi” (Toer, 1988: 420). Begitu cuplikan narasi yang tertulis dalam kitab Rumah Kaca tersebut.
Dari situ kita bisa menafsiri bahwa setiap manusia pada hakikatnya
lekat dengan istilah organisasi, baik disadari ataupun tidak. Di rumah
kita bertemu dan menjadi bagian dari organisasi keluarga, di sekolah
juga sama, di rumah sakit, di masjid, di gereja, apalagi di masyarakat.
Bahkan tidak sedikit, orang-orang yang jadi bagian dari banyak
organisasi. Benturan jadwal, konflik, sampai-sampai jatuh sakit hanya
karena mengurusi problem dan mengembangkan organisasi yang tidak kunjung
ada habisnya.
Di desa saya pun sama, banyak organisasi. Namun dari banyaknya
organisasi tersebut bisa dipilah berdasarkan aturan yang tegas menjadi
organisasi formal dan informal (Soekanto, 1982: 132-133). Organisasi
formal meliputi instansi pemerintahan, sekolah, karang taruna,
organisasi keagamaan (NU dan LDII), dan koperasi. Sedangkan organisasi
informalnya meliputi ibu-ibu arisan setiap Minggu, tempat bimbingan
belajar, dan lainnya yang sejenis.
Meskipun organisasi di desa saya beragam, memiliki karakteristik yang
berbeda dari satu organisasi dengan yang lain, namun budayanya hampir
mirip semua -jika tidak boleh dikatakan sama. ‘Mungkin’ kemiripan budaya
organisasi ini disebabkan karena letak geografis yang sama dan
interaksi yang terbangun sejak ratusan tahun lalu.
Pun demikian, budaya ini masih bisa diklasifikasikan menjadi budaya
baik dan budaya buruk. Budaya baik berorientasi pada kemajuan dan
perkembangan positif organisasi, sedangkan budaya buruk bermuara pada
terjadinya sebuah konflik, sehingga mengharuskan adanya problem solving. Artikel ini dicukupkan pada klasifikasi budaya tanpa menyentuh problem solving. Karena keterbatasan topik, uraian problem solving organisasi di desa saya akan dibahas pada tulisan kemudian.
Budaya yang Baik
Kekeluargaan. Budaya ini masih dipegang erat oleh masyarakat
di desa saya setiap kali terlibat dalam sebuah organisasi. Tanpa
pertimbangan transaksi untung dan rugi, setiap anggota yang jadi bagian
organisasi tertentu, bahu- membahu menyukseskan setiap hajatan yang
hendak digelarnya. Dengan sukarela, tenaga, fikiran, dana, dan do’a
dicurahkan sepenuhnya demi terselenggara dan suksesnya hajatan tersebut.
Dalam teori sosial, Emile Durkheim menyebutnya dengan solidaritas
mekanik (Jones, 2016: 86). Solidaritas yang didasarkan bukan pada
spesialisasi setiap individu, melainkan pada kerjasama. Dan memang
solidaritas semacam ini biasanya banyak ditemui di desa-desa, termasuk
di desa saya. Misalnya hajatan pernikahan, pengajian, dan semacamnya
selalu melibatkan banyak orang. Dan itu tidak melalui undangan formal
dan setiap orang bisa membantu jenis pekerjaan apapun dalam hajatan
tersebut.
Gotong royong. Budaya ini masih banyak dijumpai di desa
saya. Meskipun akhir-akhir ini wujud konkretnya sedikit menurun jika
dibandingkan beberapa tahun lalu. Tapi sisa-sisanya masih bisa dijumpai
dalam beberapa momen tertentu. Implementasi gotong royong ini bisa
berupa membersihkan saluran air yang tersumbat, menebang pohon yang
menggangu pemandangan, mempersiapkan kegiatan peringatan 17 Agustus,
membersihkan tempat ibadah (masjid dan langgar), dan lainnya.
Apresiasi sebagai manusia. Masyarakat di desa saya selalu
antusias jika dilibatkan dalam setiap kegiatan. Kegiatan kecil-kecilan,
seperti syukuran yang hanya melibatkan satu RT. Tapi nilai ‘ajakan’ itu
tidak bisa dihargai dengan materi. Karena mereka yang diajak untuk
terlibat merasa dihargai sebagai tetangganya, dan tentunya sebagai
manusia yang bermasyarakat. Selain itu, keterikatan emosional yang kuat
juga menjadi faktor pendorong masyarakat di desa saya untuk terlibat
aktif dalam setiap kegiatan.
Budaya yang Buruk
Jam karet. Budaya yang satu ini menjadi penyakit akut setiap
organisasi di desa saya. Tidak hanya organisasi yang dihuni oleh orang
tua, organisasi yang digalang oleh anak muda pun tidak pernah luput dari
penyakit yang satu ini. Pertemuan rapat yang tertulis di undangan jam
tujuh malam, realisasinya bukan jam tujuh tepat, tapi jam setengah
delapan.
Bahkan tidak jarang hingga melahirkan konflik dalam organisasi.
Karena yang datang terlebih dahulu merasa ‘dibohongi’ dan yang datang
belakangan merasa ‘meremehkan’ undangan. Sehingga akhirnya, pertemuan
atau rapat organisasi hanya diikuti oleh orang yang membuat dan
menyebarkan undangan.
Perbedaan kepentingan. Setiap orang yang menjadi bagian
dalam organisasi memiliki kepentingannya masing-masing, disamping
kepentingan organisasi yang menjadi cita-cita bersama. Ada yang
berkepentingan untuk memajukan organisasi, ada yang ‘ketimbang nganggur
di rumah, mending ikut organisasi’, dan ada juga yang menggunakan
organisasi sebagai sarana untuk memperkuat eksistensi dirinya sendiri.
Di desa saya sempat terjadi pertikaian karena adanya perbedaan
kepentingan ini. Pemilihan kepala desa yang diselenggarakan beberapa
tahun lalu, hampir melahirkan konflik yang beranak pinak. Padahal,
esensi dari pemilihan kepala desa adalah memilih putra terbaik desa yang
dianggap mampu dan sanggup memimpin desa menjadi lebih baik dari
periode sebelumnya. Bukan malah memaksakan ‘jago’nya masing-masing untuk
menduduki jabatan nomor satu di desa.
Kasus serupa juga pernah diceritakan oleh Emha Ainun Najib dalam buah karyanya Indonesia Bagian Dari Desa Saya.
Di tulisan terakhir, beliau menguraikan konflik kepentingan yang
terjadi di desanya karena perbedaan pilihan politik. Bahkan orang yang
tidak seidelogi politik pada masa itu, berhak untuk dikucilkan di
masyarakat (Najib, 1998: 224-230). Dan konflik semacam ini mewabah di
semua desa. Terlebih jika kepentingan individu sampai melebihi
kepentingan umum, konflik pasti tidak akan terelakkan.
Organisasi di Desa
Demikian budaya organisasi yang ada di desa. Budaya baik dan budaya
buruk selalu silih berganti bertamu pada organisasi. Ada kalanya periode
tertentu organisasi memiliki budaya yang sangat baik, ada kalanya juga
hancur hingga terpaksa membangun kembali dari nol. Itulah dinamika
organisasi.
Terakhir, saya teringat pesan Bapak yang menganjurkan untuk ikut
organisasi. Sebab di organisasi tidak hanya tentang kerjasama di setiap
kegiatan, melainkan membangun relasi dan belajar percaya kepada yang
lain, belajar meniscayakan perbedaan, dan upaya membangun kedewasaan.
Itu semua bisa diperoleh di organisasi. Dan akumulasi pelajaran yang
kita peroleh itu, bisa kita gunakan sebagai bekal untuk menjalani
kehidupan di masa mendatang.
Dipublikasikan di geotimes.co.id
pada 11 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar