Di era hidupnya manusia, ulang tahun menjadi momen yang penting untuk
diabadikan. Foto, kado, ucapan selamat, dan doa, merupakan beberapa hal
yang selalu mengiringi peringatan ulang tahun. Baik orang yang berulang
tahun maupun orang yang ikut merayakannya hampir mesti begitu. Minimal
suka cita itu terekspresikan dalam gelak tawa bahagia bersama.
Berbeda halnya dengan peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad saw.
Bagi umat Islam, tidak disebut ‘ulang tahun’, melainkan Maulid Nabi
Muhammad saw. Perayaannya berbeda dengan ulang tahun untuk manusia pada
umumnya, sekaligus di lain tempat peringatannya juga berbeda. Pun
demikian kadar suka cita umat Islam yang merayakan maulid, lebih besar
dan lebih dalam daripada ulang tahun pada umumnya.
Di desa saya misalnya. Setiap kali memasuki tanggal Maulid Nabi Muhammad saw, tiap masjid dan langgar menggelar salawat. Salawat yang dibaca kebanyakan Al-Berzanji. Sebab yang paling populer, ya, salawat itu. Meskipun ada satu dua yang membaca selain Al-Berzanji.
Acara dimulai selepas salat Magrib berjamaah. Sebelum membaca
salawat, seringnya ada ceramah pembuka tentang peringatan maulid dari
imam masjid/langgar atau sesepuh masyarakat setempat.
Sejarah perjalanan Nabi saw, hikmah-hikmahnya, tafsir dari ayat
Al-Quran, interpretasi peristiwa tertentu, dan ibadah yang diajarkan
Nabi saw, menjadi topik yang sering diceramahkan. Kami mendengar dengan
seksama.
Banyak dari jamaah, terutama bapak-bapak yang menggut-manggut,
pertanda bahwa pesan yang disampaikan penceramah masuk dimengerti dengan
baik. Ada juga bapak yang menguap karena kantuk. Ada juga yang enak
ngobrol sendiri di saf belakang. Entah itu masalah pertanian, urusan
pasangan, ngomongin tetangga, dan lain macamnya. Jamaah ibu-ibu pun sama
halnya.
Mungkin hanya jamaah anak-anak yang memberi warna berbeda di peringatan maulid di masjid saya. Ya seperti biasanya, bermain dan rame dewe
menjadi ciri khasnya anak-anak. Semenit ditegur untuk tidak ramai,
sedetik kemudian ramai dimulai kembali. Begitu terus sampai ada yang
nangis atau sampai bubarnya peringatan maulid.
Pada peringatan maulid itu, umumnya dari para jamaah membawa wadah
yang berisi nasi plus lauk pauknya, di desa saya dikenal dengan nama
‘berkat’. Ada yang membawa satu, ada yang dua, bahkan ada juga yang
disesuaikan dengan jumlah anggota keluarganya. Jika ada enam anggota
keluarga, ya membawa enam berkat.
Heran saya, orang-orang yang biasanya tidak datang ke masjid kecuali
salat Id dan salat Jumat, malam itu mereka datang. Membawa berkat atau
tidak, tak jadi soal. Tapi yang jelas mereka datang. Bahkan ketika acara
selesai, serta mesta mereka membawa pulang berkat itu, bahkan ada yang
lebih dari satu. Kadang tiga, kadang juga empat.
Saya sendiri seringnya juga membawa keuntungan berkat. Berangkat ke
masjid hanya membawa dua berkat, pulangnya bisa membawa empat atau lima.
Pernah ditanya ibu, “Kok bawa banyak sekali le?”. “Iya buk, biar barokahnya dapat banyak”, sambil cengar-cengir tentu saja.
Berbeda perayaan maulid di kampung halaman, di Yogyakarta sebagai
kampung perantauan, maulid diperingati dengan penyelenggaraan sekaten.
Sekaten berlokasi di alun-alun utara Yogyakarta. Bagi pendatang seperti
saya, sekaten memiliki daya tarik tersendiri.
Sebelum tahu seperti apa itu sekaten, diam-diam saya browsing
di internet dan membaca beragam artikel di media sosial. Di tambah lagi
dengan iming-iming dari beberapa teman yang sudah lama hidup di
Yogyakarta tentang semaraknya peringatan sekaten. “Nanti di sana
(sekaten) banyak orang jualan. Sepatu, baju, celana, semuanya
murah-murah. Ada juga permainannya. Makanan yang dijual juga banyak”, katanya dengan nada sangat-sangat meyakinkan.
Tiba waktunya penyelenggaraan sekaten, terbujuklah saya mengikuti
ajakan teman untuk pergi ke sekaten. Setibanya di lokasi, semarak
acaranya melebihi pengetahuan saya dari internet dan iming-iming teman
saya itu. Sekaten itu keren, kata itu mungkin bisa mewakili apa yang
sulit untuk saya narasikan.
Mungkin setiap penyelenggaraan sekaten, setiap itu pula orang-orang
asli maupun pendatang di Yogyakarta datang beramai-ramai menampakkan
dirinya di sana. Bersama orang dekat, teman, mantan, calon besan, dengan
keluarga besar, sampai dengan kejombloannya. Tak peduli apa agamanya,
apa sukunya, apa pilihan presidennya, mereka berbaur menjadi satu dalam
sekaten. Kan seperti yang saya bilang, sekaten itu keren. Salah satu
bukti kekerenannya sekaten yaitu menyatukan manusia tanpa memandang
identitas.
Pengalaman untuk kedua kalinya saya menyaksikan sekaten barangkali
menjadi bukti bahwa peringatan maulid Nabi Muhammad saw di setiap tempat
itu berbeda-beda. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh budaya yang
berkembang di masyarakat. Terlepas dari perbedaan itu, umat muslim yang
memperingati maulid Nabi Muhammad saw selalu diliputi kebahagiaan. Dan
pastinya ekspresi kebahagiaan itu juga berbeda-beda pula. Mungkin ada
orang yang menerima berkat banyak, dia menjadi bahagia. Mungkin yang
bisa datang ke sekaten, dia menjadi bahagia. Sampai masih diberi waktu
dan kesempatan dipertemukan bulan maulid sekarang ini menjadikannya
sangat-sangat bahagia.
Di antara ekspresi kebahagiaan memperingati maulid Nabi Muhammad saw,
salah satunya dicontohkan oleh guru saya, M. Yaser Arafat. Beliau
memperingatinya dengan cara membaca salawat burdah di sepanjang bulan
maulid. Begitupun dengan apa yang saya lakukan ini, mungkin juga bisa
dikatakan ekspresi kebahagian memperingati maulid. Iya, dengan menulis
pengalaman saya dari kecil sampai hari ini yang bersentuhan langsung
dengan sekaten sebagai ritus budaya perayaan maulid Nabi Muhammad saw di
Yogyakarta.
Terakhir, semoga kita masih diberi kesehatan, keselamatan, dan umur
yang panjang agar bisa bertemu dengan bulan maulid di tahun berikutnya.
Tidak lain hanya untuk memperingati maulid kembali. Abu Lahab saja yang
bersuka cita sewaktu mendapat kabar kelahiran Nabi Muhammad saw, itu
mendapatkan keringanan siksa di akhirat, apalagi kita yang mengaku
sebagai umatnya. Perkara bentuk peringatannya, terserah pada setiap
person yang memperingatinya. Demikian.
Dipublikasikan di mjscolombo.com
pada 20 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar