Sejarah petani merupakan cerita yang panjang untuk diceritakan dari
generasi ke generasi. Bukan hanya mempersoalkan komoditas yang ditanam,
tapi juga perihal semangat, ketekunan, bahkan pemberontakan yang
dilakukan oleh petani juga menjadi cerita yang menarik untuk didengar
dan diulas lebih mendalam.
Selama ini, yang disajikan dalam
pelajaran di pendidikan formal, petani hanya dikenal sebagai salah satu
profesi di antara sekian juta profesi yang ada di muka bumi. Itupun
masih dilabeli dengan kehidupan yang jauh dari kata layak dan pantas;
hidupnya di desa yang jauh dari kemajuan zaman. Terlebih lagi, petani
tidak pantas dijadikan sebagai cita-cita di masa depan.
Bahkan
kabar terakhir dari riset-riset yang telah dilakukan oleh beberapa ahli
di bidangnya, mengatakan bahwa petani-petani di desa—khususnya di
Indonesia—mengalami penurunan akumulasi kuantitas. Anak-anak petani
tidak lagi mau menjadi petani, anak-anak petani banyak yang tidak paham
bagaimana cara bertani. Dan parahnya lagi, sarjana pertanian,
cita-citanya, bukan kembali ke dunia pertanian, tapi malah sebagai
pegawai negeri sipil (PNS).
Beberapa cerita tentang gerakan petani
datang dari luar negeri. Salah satu gerakan yang dimaksud adalah
gerakan kelompok Zapatista yang berasal dari Mexico. Ulasan tentang
kelompok Zapatista ini pernah dimuat dalam Majalah Basis nomor 01-02
Januari-Februari 2006 di halaman 20-27. Di halaman itu, diceritakan
kronologi sampai dengan tanggapan dari beberapa pihak yang menaruh
perhatian pada peristiwa tersebut.
Kelompok Zapatista ini terdiri
dari para petani yang mayoritas berasal dari orang-orang Indian. Memang
pada dasarnya orang-orang Indian banyak mengalami penindasan. Mereka
hidup dalam ketidakpastian, tidak punya tanah dan tempat tinggal.
Berbagai upaya telah mereka lakukan untuk mendapatkan hak-haknya. Longmarch besar-besaran, mengkritik melalui media, komunikasi dengan pemerintah, bahkan sampai pertarungan fisik pernah mereka lakukan.
Di Indonesia sendiri, pergerakan yang dilakukan oleh para
petani pernah dilakukan di beberapa tempat. Riset yang dilakukan oleh
Suharko dengan tajuk ‘Gerakan Sosial Baru di Indonesia: Repertoar
Gerakan Petani’ yang dimuat di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM
bisa dijadikan salah satu rujukannya.
Dalam riset tersebut, ada
tiga kasus yang diangkat perihal pergerakan petani di Indonesia. Ketiga
kasus yang dimaksud, yaitu Forum Perjuangan Petani Nelayan Batang
Pekalongan (FP2NBP), Serikat Petani Pasundan (SPP), dan Serikat Petani
Sumatera Utara (SPSU).
Secara umum, gerakan-gerakan petani itu
muncul sebagai respons dan upaya dari pihak-pihak yang tersisih untuk
mendapatkan haknya kembali. Lahan yang dieksploitasi oleh pemilik modal,
sampai-sampai diakuisisi, ingin direbut kembali. Karena hanya melalui
lahan pertanian, mereka menggantungkan harapan dan impian dari kehidupan
yang menjerat ke kehidupan yang lebih baik kelak.
Berbagai upaya
juga pernah dilakukan oleh gerakan petani yang dimaksud. Mulai dari
audiensi dengan pihak-pihak yang bersangkutan, memobilisasi massa untuk
demonstrasi di depan publik, sampai mengubah strategi dengan cara
mengupayakan orang-orang yang sepemahaman dengan visi dan misinya untuk
masuk di sistem pemerintahan.
Ada yang diupayakan untuk menjadi
kepala desa maupun sebagai anggota dewan legislatif. Tujuannya tidak
lain agar bisa melindungi petani melalui sistem. Meskipun mereka sendiri
juga belum yakin jika cara terakhir bisa berjalan dengan mulus, apalagi
berhasil.
Gerakan Sosial Baru
Dalam
risetnya Suharko, juga dijelaskan pandangan Sidney Tarrow perihal
gerakan sosial. Menurut Sidney Tarrow, gerakan sosial merupakan
tantangan kolektif yang didasarkan pada tujuan bersama dan solidaritas
sosial, interaksi dengan elite sebagai penentang dan pemegang wewenang.
Sederhananya, sebagai gerakan kolektif untuk melawan gerakan kolektif.
Namun
gerakan sosial berbeda dengan organisasi formal. Karena gerakan sosial
yang mapan bisa menjadi organisasi formal, sedangkan organisasi formal
tidak akan pernah menjadi gerakan sosial. Gerakan sosial juga berbeda
dengan kelompok kepentingan, meskipun tiap agenda gerakannya juga memuat
kepentingan. Salah satu titik bedanya bisa ditilik dari pamrih dan
tidak pamrihnya.
Setidaknya ada empat konsep dari Sidney Tarrow
yang bisa menunjukkan ini gerakan sosial dan ini bukan gerakan sosial.
Keempat konsep yang dimaksud, yaitu ada tantangan kolektif, ada tujuan
bersama, memiliki solidaritas dan identitas kolektif, dan yang terakhir
memelihara politik lawan. Keempat konsep ini ada pada tiap gerakan
sosial.
Lantas apa yang membedakan antara gerakan sosial lama (GSL)
dengan gerakan sosial baru (GSB)? Dari ideologi dan orientasi yang
diusung, GSL masih berkutat pada perjuangan kelas, anti-kapitalisme,
serta hanya membela kaum buruh. Sedangkan yang diusung oleh GSB,
cakupannya lebih luas dari itu. Terkadang orientasinya lebih variatif.
Ada keadilan, pemiskinan struktural, gender dan perempuan, dan lain
sebagainya.
Kemudian jika ditilik dari partisipan atau aktor, GSL
hanya partikular. Jika yang diperjuangkan buruh, ya yang berpartisipasi
hanya buruh. Begitu pun yang lainnya. Sedangkan GSB, aktor atau
partisipannya sudah lintas-golongan. Bisa jadi gerakan sosial petani
yang turun di lapangan tidak hanya petani, tapi juga mahasiswa, LSM, dan
pihak-pihak lain yang turut berempati dengan nasib petani.
Dari
uraian inilah petani bisa disebut sebagai gerakan sosial, atau lebih
jauh lagi bisa disebut gerakan sosial baru. Karena ada hambatan kolektif
dari pemerintah yang dirasakan oleh sejumlah petani. Petani sendiri
punya tujuan yang sama, minimal bisa hidup lebih layak dan sejahtera.
Petani juga memiliki identitas yang sama, selalu dipersepsikan sebagai
profesi yang remeh-temeh dan tidak cocok untuk dijadikan cita-cita, dan
beragam persepsi lainnya.
Maka dari itu, muncullah gerakan sosial
petani. Kalau toh gerakan sosial ini belum berhasil, minimal sudah
memberi daya kejut bagi pemerintah, bahwa petani juga memiliki power ketika bergerak secara kolektif.
Gerakan
sosial petani ini juga masuk sebagai gerakan sosial baru. Karena yang
diperjuangkan tidak hanya masalah harga pupuk yang tinggi, tapi juga
daya jual yang rendah, lahan yang terus-menerus digerus oleh
pembangunan, dan seabrek problem kesejahteraan, keadilan dari kehidupan
petani.
Selain itu, aktor atau partisipan yang terlibat pada
gerakan tersebut tidak hanya petani. Mahasiswa, LSM, tokoh agama, dan
tokoh masyarakat juga ikut terlibat dalam gerakan tersebut. Bahkan
orang-orang yang dari luar daerah, yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
problem itu, bisa juga turut ambil bagian dalam gerakan sosial.
Terakhir,
gerakan sosial, baik lama maupun baru, bisa terjadi di tiap elemen
masyarakat. Orientasi umumnya untuk melawan. Tapi sering kali perlawanan
yang dilakukan tidak berhasil. Mungkin ada banyak faktor lain yang
berpengaruh. Tapi minimal bisa menaikkan daya tawar bagi mereka-mereka
yang tertindas.
Dipublikasikan di qureta.com
pada 04 Desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar