Menjadi ketua kelas bukan hanya persoalan status, tapi tanggung jawab
dan juga beban mental. Mungkin beberapa orang akan senang menjadi ketua
kelas. Karena dengan menjadi ketua kelas, relasinya dengan pengajar
akan lebih dekat dan lebih mudah. Sering dipanggil, dimintai tolong, dan
sering juga menjadi perantara dari pengajar ke teman satu kelasnya jika
ada informasi yang harus didistribusikan.
Selain itu, ketua kelas
juga menjadi status yang mungkin didamba oleh beberapa murid. Sebab
dengan status ketua kelas, penghormatan dan penghargaan bisa diperoleh
tanpa harus diminta. Bahkan kalau muka dan otak mendukung, mungkin akan
banyak lawan jenis yang mengantri.
Namun persoalan menjadi ketua kelas bukan hanya itu. Ya seperti sunnatullah
yang lain. Ada malam siang, hitam putih, baik buruk, sengsara bahagia,
laki-laki perempuan, begitu pun seterusnya. Termasuk menjadi ketua
kelas. Kisahnya tidak hanya yang indah-indah saja, tapi yang suram-suram
mungkin lebih sering dialami.
Reward-nya mungkin seperti yang saya utarakan di paragraf awal. Tapi hambatannya saya rasa lebih besar jika dibanding reward-nya.
Karena menjadi ketua kelas tidak cukup hanya dengan kedekatan dengan si
pengajar, tidak cukup memiliki otak yang encer, tidak cukup punya muka
di atas rata-rata, dan tidak cukup berdompet tebal. Menjadi ketua kelas
juga perlu mengerti tentang seluk beluk ilmu organisasi. Minimal pernah
mendengarnya, mungkin itu sudah cukup. Sebab lawan interaksinya bukan
benda mati yang mudah diatur sana dan diatur sini.
Seperti yang diutarakan oleh salah satu teman saya. Dia
seorang perempuan yang menjadi ketua kelas. Perempuan yang hampir sering
dipersepsi memiliki sifat lemah lembut, kurang tegas, dan seabrek
budaya patriarki yang masih mengakar kuat di bumi pertiwi. Iya memang
realitas yang masih berlaku seperti itu, karena akumulasi persepsi
negatif dengan tanggung jawab, kondisi mental, dan person yang
dihadapinya di kelas membuatnya harus bertindak dan berfikir lebih
extra.
Dia mengatakan bahwa menjadi ketua kelas tidak mudah.
Selain harus mengatur teman sekelasnya, dia juga harus membagi waktunya
dengan menyeleseikan tugasnya sebagai murid. Belum lagi jika ada
organisasi di luar kelas, bercabanglah otak dan habislah tenaganya untuk
beraktivitas semacam itu.
Di dalam kelas dia harus mengorganisasi
teman satu kelasnya. Lebih dari dua puluh lima anak yang memiliki
sifat, karakter, latar belakang masa kecil, dan gagasan yang
berbeda-beda. Dan itu harus diatur sesuai kehendak si pengajar melalui
dirinya. Saya rasa pekerjaan yang demikian bukan perkara yang mudah
untuk dilakukan. Terlebih dia seorang perempuan.
Namun dia
diuntungkan dengan kondisi lingkungannya yang berada di dunia kampus.
Aturannya tidak sekaku dan person yang diaturnya sudah tidak serewel
sekolah di level bawahnya. Di tambah lagi dengan media komunikasi yang
semakin canggih. Jadi jika ada informasi yang mendesak dia bisa
mendistribusikannya dengan cepat dan mudah.
Meskipun demikian,
masih ada saja hambatannya. “Iya, kadang ada anak yang pasif –kurang
memperhatikan. Jadi ketika informasi saya sebarkan di grup whatsapp hari ini. Misalnya dua hari lagi tugas harus dikumpulkan. Nah, itu masih ada saja anak yang tanya. Ngechat pribadi, kapan tugasnya dikumpulkan. Jam berapa, dimana. Padahal informasi yang saya share di grup itu sudah jelas”, kata dia saat bersua dengan saya beberapa waktu lalu.
Lantas saya tanyakan bagaimana solusi untuk problem yang
seperti itu? Apakah didiamkan? Apakah dilayani, artinya dia tanya terus
dijawab sampai benar-benar puas? Atau bagaimana? Ya minimal untuk
menyikapi jika ada teman sekelas yang seperti itu.
“Ya harus
sabar”, kata dia. Menurutnya, teman seperti itu jangan malah dibiarkan
atau didiamkan ketika bertanya. Karena akan menjerumuskannya kepada
ketidaktahuan. Orang yang pasif sebisa mungkin harus dibantu. Berbeda
dengan mereka yang aktif, yang punya kecerdasan dan daya ingat kuat.
Orang seperti itu cukup diberi informasi sudah gerak dengan sendirinya.
Tapi kalau yang pasif, tidak bisa diperlakukan semacam itu.
Lebih
lanjut dia mengatakan di tiap tempat, dimana pun dan kapan pun itu,
orang yang pasif dan yang aktif pasti ada. Kebanyakan dari mereka –yang
menjadi pemimpin- selalu memandang sebelah mata orang yang pasif. Tidak
bisa diandalkan, tidak bisa diajak bicara dan berfikir, dan tidak mau
diajak maju bersama. Akibatnya mereka ditinggalkan dan tidak diikut
sertakan dalam tiap kegiatan.
Padahal mengorganisasi, termasuk di
dalam kelas sekali pun, orang yang pasif harus tetap ada. Tujuannya
tidak lain untuk menjaga keseimbangan. Kalau semuanya aktif, cerdas, dan
cekatan, justru malah tidak baik. Sebab kerjasama tidak berjalan
lancar, malah debat sana-debat sini mempertahankan pendapatnya
masing-masing. Begitu pun jika di dalam kelas pasif semua. Wis pasti tujuan yang hendak dicapai tidak akan tercapai. Tujuannya hanya menjadi utopia.
Dia
juga menuturkan, organisasi merupakan wadah sekelompok orang untuk
mencapai tujuan bersama. Kalau dalam konteks kelas, sekelompok orang ini
bisa ditafsiri beraneka ragam. Bisa laki-laki, perempuan, gendut,
kecil, jelek, cantik, ganteng, berasal dari desa, dari kota, dari daerah
terpencil, dan varian-varian status sosial lainnya. Jadi tidak spesifik
harus apa dan seperti apa. Terlebih kelas yang fungsinya sebagai tempat
belajar, keragaman sangat diperlukan. “Ya minimal belajar memahami
orang lain”, kata dia lebih lanjut.
Kemudian perihal tujuan
bersama. Jika ruangnya di kelas, orientasinya sudah jelas. Tidak lain
dan tidak bukan untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas pengetahuan
dari tiap-tiap manusia. Menurutnya, boleh-boleh saja berkompetisi di
kelas. Menjadi yang paling pandai, paling pintar, dan paling-paling yang
lain. Tapi jangan lupa, di kelas bukan ruang yang sepi dan hampa. Di
kelas ada orang-orang yang membutuhkan bantuan untuk sama sepertinya.
Maka sebagai makhluk sosial, ya harus membantu teman yang lain. Tidak
untuk memberi contekan saat ujian, tapi membantu memotivasi semangat
belajar atau membantu menjelaskan materi yang tidak dimengertinya.
Dengan begitu, ruang kelas menjadi lebih hidup. Yang pasif
mendapatkan porsi, yang aktif pun demikian. “Nah, begitu tugas ketua
kelas mengorganisasi teman-temannya. Tujuannya bisa dicapai, tapi tetap
seimbang. Tidak ada yang dominan. Saya pun juga menjadi bagian dari
mereka.
Kadang aktif, kadang pasif. Jadi begitu solusinya.”, ucapnya. Mungkin model problem solving seperti
ini bisa diterapkan dalam konteks yang lebih luas. Mereka-mereka yang
kurang mampu dari sisi emosional, pengetahuan, materi, dan apapun itu
harusnya dibantu. Ya seperti seharusnya menjadi manusia yang
memanusiakan manusia lainnya. Demikian.
Dipublikasikan di qureta.com
pada 08 Desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar