Menjadi manusia memang bukan perkara yang mudah. Meskipun secara fisik sering dianggap
sempurna jika dibanding dengan makhluk lainnya. Namun tidak menutup
kemungkinan bahwa yang tidak tertangkap pancaindra justru malah banyak
kekurangan. Nafsu, amarah, iri, dengki, prasangka buruk, niat untuk
menjahili, niat menghakimi, dan seabrek sisi negatif yang terkandung
dalam diri manusia menjadi kelemahan sekaligus kekurangan. Dan lucunya
lagi, seringkali manusia luput untuk menginsyafi hal-hal semacam itu.
Oleh
sebab itulah, orang-orang terdahulu seperti filosof dan juga ahli sufi
beramai-ramai membuat konsep tentang manusia yang utuh. Manusia yang
benar-benar menjadi manusia. Bukan hanya sebutan dan fisiknya saja,
melainkan unsur fisik dan unsur di luar fisik juga harus manusia, bukan
hewan. Bahkan dalam memperlakukan sesama manusia dan alam sekitar juga
harus manusiawi. Tapi ya itu tadi, ini bukan perkara yang mudah.
Dalam bukunya Lintang Noer Jati, dkk yang bertajuk Manusia Langit,
kita bisa sedikit belajar tentang menjadi manusia yang seutuhnya. Buku
ini merekam perjalanan manusia utuh yang diambil dari berbagai tempat
peradaban manusia. Dan besar kemungkinan, manusia-manusia yang diangkat
dalam buku ini tidak saling bersua dan belajar bersama, namun
orientasinya bisa searah, yakni mendakwahkan ajaran-ajaran kebaikan.
Semar
misalnya. Tokoh yang akrab di telinga orang Jawa, khususnya dalam dunia
pewayangan ini menjadi topik mukadimah yang diperbincangkan dalam buku
tersebut. Meskipun masih menuai perdebatan, apakah Semar ini memang
benar-benar ada dalam kehidupan nyata? Atau Semar ini hanya tokoh
imajinasi orang-orang Jawa? Itu tidak perlu dipermasalahkan lebih
lanjut. Toh, keberadaan Semar yang samar justru mengundang keingintahuan
manusia yang datang belakangan untuk terus mengkaji ajaran dan
hikmahnya, baik tersirat maupun tersurat.
Semar mengingatkan manusia agar aja dumeh, eling, lan waspadha (p. 19). Sebagai manusia harus pantang untuk bersikap mentang-mentang, ita-itu,
merasa dirinya paling kuat. Dan saya rasa, di tiap-tiap ajaran agama,
norma dan nilai sosial di masyarakat, tidak mengajarkan untuk berbuat
seperti itu. Justru sebaliknya, manusia diajarkan untuk selalu ingat
bahwa sedigdaya-digdayanya manusia, sifatnya tetap tidak kekal. Maka
dari itu, manusia dianjurkan untuk tetap waspada dan berhati-hati.
Orientasi akhirnya supaya bisa selamat.
Selain
Semar, Krishna juga diangkat dalam buku tersebut. Tokoh yang menjadi
kunci dalam cerita Mahabharata ini mempunyai beribu-ribu wejangan yang
tertulis rapi dalam kitab Bhagavad Gita.
Krishna mengajarkan manusia untuk menyelaraskan hidupnya. Tidak hanya
tersenyum dan bersikap ramah saat berdoa pada Tuhannya, tapi juga ringan
untuk mengulurkan bantuan pada sesama, sekaligus merawat alam sekitar
yang menyokong keberlangsungan hidup manusia (p. 48).
Untuk
menuju kesana, manusia harus menyelaraskan terlebih dahulu internal di
dalam dirinya. Sebab jika dirinya sendiri belum beres, maka akan
kesulitan untuk menjalin relasi yang baik dengan Tuhan, sesama manusia,
dan alam sekiar. Zarathustra memberi metode melalui berfikir, berkata, dan bertindak baik (p. 82)
dimanapun dan kapanpun. Ketiganya saling terkait. Sederhananya, jika ada
manusia yang memiliki tindakan dan ucapan yang baik, bisa dipastikan
pikirannya juga baik. Begitu pun sebaliknya.
Lantas
bagaimana jika semua itu sudah dilakukan tapi tetap saja ada yang
bermasalah? Ada anomali-anomali, konflik, pertikaian sesama umat
manusia? Ada eksploitasi alam dari perusahan yang tidak mempertimbangkan
kehidupan jangka panjang? Ada pihak-pihak yang mempolitisasi agama? Apa
yang kurang? Manusia harus bagaimana lagi menyikapi problem semacam
itu?
Isa
a.s hadir memberi solusi melalui cinta kasihnya (p. 104). Esensinya,
tiap manusia memiliki cinta dan kasih yang harus didarmakan pada
tiap-tiap insan yang menempati jagat raya ini. Tanpa perhitungan dan
tanpa mempertanyakan kecenderungan afiliasinya. Bahkan kepada musuh
sekalipun, Isa a.s tetap menganjurkan untuk memberinya cinta dan kasih.
Jika ada yang menampar pipi kirimu, berilah pipi kananmu.
Saya rasa, ajaran-ajaran yang dahulu pernah menjadi laku bagi
orang-orang terdahulu sekarang telah bergeser menjadi utopia untuk
orang-orang yang datang belakangan. Bahwa tiap ajaran yang baik selalu
didakwahkan, itu iya. Tapi apakah kebaikan yang didakwahkan telah
berhasil merubah tindakan orang yang mendakwahkan dan orang yang
mendengarkan dakwah kebaikan? Saya rasa untuk konteks hari ini masih
belum berhasil.
Kenapa belum berhasil? Mungkin ajaran-ajaran tersebut dianggap telah usang
untuk dipelajari dan didalami lebih lanjut oleh orang yang datang
belakangan. Saya sendiri misalnya. Perjumpaan perdana saya dengan Zarathustra berkat adanya buku ini, ‘Manusia Langit’. Jika buku ini gagal terbit, bisa dipastikan saya tidak akan tahu menahu bahwa Zarathustra punya ajaran tentang berfikir, berkata, dan berbuat baik.
Tapi
ada yang lebih gawat lagi. Sumber-sumber buku sudah ada, beragam
ceramah sudah tersedia, namun fanatisme afiliasi justru mendominasi
pribadi manusia. Jika tidak seideologi, tidak perlu dipelajari. Jika
tidak menguntungkan kepentingan, tidak perlu didalami. Padahal mencari
ilmu pengetahuan, terlebih hikmah dari sebuah ajaran, sifatnya tidak
terikat. Siapapun orangnya, dimanapun tempatnya, jika memproduksi ilmu
pengetahuan, ya saya rasa boleh untuk menyelam di dalam samudera ilmu
pengetahuannya.
Momen
seperti ini yang mungkin disebut dengan degradasi literasi. Banyak
orang yang tidak mempelajari khazanah orang-orang dahulu. Banyak orang
yang enggan untuk membuka buku, membaca walau hanya lima menit. Mungkin
ada beberapa orang yang masih tekun memetik satu per satu buah hikmah,
kemudian menanam kembali ilmu pengetahuan untuk menyuburkan kehidupan
manusia. Tapi kuantitasnya tetap kalah jika dibanding orang yang tidak
peduli dan gemar merusak kehidupan manusia.
Jangan terlalu berbaik sangka pada buku ini.
Buku ini tidak akan mengubah manusia yang bermasalah menjadi baik tak
pernah bersalah. Buku ini hanya menjadi bacaan pengantar bagi
siapa-siapa yang ingin sekedar tahu, syukur-syukur ingin mendalami
ajaran dari orang-orang terdahulu. Sebab, uraian yang dimunculkan dari
tiap topik hanya membidik satu sisi, kurang mendalam, dan tentunya
kurang komprehensif.
Terakhir,
saya teringat pada salah satu ucapan guru saya yang mungkin bisa
dijadikan indikasi, sebenarnya kita ini sudah menjadi manusia yang baik
atau belum. Kata beliau, Orang yang baik bukanlah orang-orang yang
kesana kemari menceramahkan kebaikan. Tapi orang baik adalah orang yang
berbuat baik kepada siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Demikian.
Dipublikasikan di berdikaribook.red
pada 04 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar