Kehadiran
Islam di Indonesia masih menuai perdebatan. Beragam disiplin ilmu dan
pendekatan digunakan untuk mencari tahu siapa aktor pertama yang membawa
ajaran Islam. Para ilmuwan, akademisi, dan pemerhati Islam dari
Indonesia maupun mancanegara telah menelitinya kemudian membukukan hasil
temuannya.
Satu pendapat yang mengemukakan siapa
aktor pembawa risalah ajaran Nabi Muhammad ke tanah Indonesia adalah
keturunan orang-orang tashi. Dalam buku karangan Ahmad Baso, Islamisasi Nusantara Bab IV halaman 73-81, digambarkan tentang siapa orang-orang tashi
ini. Secara umum, buku tersebut mengulas tentang proses kedatangan
Agama Islam di Indonesia yang memiliki relasi dengan era kekhalifahan
Usman bin Affan, sampai nanti pada kemunculan dan kiprah Wali Songo.
Tashi ini
merupakan sebutan untuk Khalifah Usman bin Affan dari Kekaisaran Cina
di masa Dinasti Tang, ketika pada tahun 651 M Khalifah Usman mengirim
utusannya ke Kekaisaran Cina. Meski demikian, sampai hari ini asal usul
kata tashi sendiri masih belum disandarkan pada Suku Quraisyi, suku yang dominan di Jazirah Arab pada masa itu. Kata tashi malah dirujukkan ke bahasa Persia atau Turki.
Kedatangan
utusan Khalifah Usman bin Affan ke Cina tersebut menandai babakan baru
dalam perkembangan Agama Islam pada masa itu. Bahkan sekitar abad 8 M,
al-Mas’udi mengatakan bahwa perairan Cina dan India banyak dilalui oleh
kapal-kapal milik orang Islam. Artinya, jalur perdagangan, politik, dan
dakwah umat Islam di masa itu sudah merambah sampai ke daratan Cina dan
India.
Bani Hasyim
Selain itu, tashi
juga dialamatkan kepada keluarga Bani Hasyim atau Alawiyyin yang pindah
pada masa itu karena dipersekusi oleh kekuasaan Bani Umayyah.
Pernyataan ini dibuktikan oleh penyair asal Persia dari abad ke 13,
Nuruddin Muhammad Ufi al-Farisi. Mereka –keluarga Bani Hasyim atau
Alawiyyin- melakukan perjanjian dengan Kekaisaran Cina dan tunduk pada
pemerintahannya.
Pernyataan tersebut juga didukung oleh keberadaan kitab Nihayatul-I-Arab fi Fununi-I-Adabi karya Ahmad bin Abdul Wahab an-Nuwairi, Nukhbatu-d-Dahri fi Ajaibi-I-Barri wa-I-Bahri karya Abu Abdillah ad-Dimassyqi, dan al-Khuthath al-Mishriyah
karya al-Maqrizi yang menyebutkan hal serupa. Bahwa keluarga Bani
Hasyim atau Alawiyyin menghindar demi keselamatan dirinya. Sampai nanti
pada abad ke 10-11 M, keturunan-keturunannya sampai di daratan Asia
Tenggara.
Di Indonesia, bersandar pada Babad Cirebon (Be 75/PNRI,
pupuh 3) keturunan dari Alawiyyin ini disebut sebagai malik. Status
malik ini sama dengan amir atau sultan. Malik sendiri merupakan sebutan
bagi pemimpin komunitas muslim yang berada di lingkup penduduk
non-muslim di masa itu. Salah satu contohnya adalah Maulana Malik
Ibrahim atau sering dikenal dengan sebutan Sunan Gresik.
Oleh karena itu, makna tashi sendiri bisa diartikan menjadi tiga macam. Pertama,
jika bersandar pada bangsa, maka bisa dialamatkan pada Dinasti
Abbasyiah, karena di masa-masa tersebut, kekuasaan Islam dipegang oleh
Dinasti Abbasyiah. Kedua, jika ditilik pada sisi kesukuan, maka bisa disandarkan pada suku Quraisyi, suku yang dominan dimasanya. Ketiga, jika dilihat dari perspektif klan, maka bisa dialamatkan pada klan Bani Hasyim.
Jadi kedatangan Agama Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia yang dibawa oleh keturunan orang-orang tashi ini bisa menjadi salah satu sudut pandang dari sekian banyak temuan-temuan lainnya.
Bagi
saya, banyaknya sudut pandang ini justru membuktikan bahwa Agama Islam
di Indonesia memiliki khazanah yang beragam. Sehingga memungkinkan bagi
generasi yang datang belakangan untuk mempelajari, mengkaji, dan
meneliti ulang temuan-temuan terdahulu yang sekiranya masih banyak
menimbulkan banyak tanda tanya. Wallahu a’lam bissawab
Dipublikasikan di alif.id
pada 21 Janurari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar