Perjalanan
umat manusia memuat banyak peristiwa yang patut untuk diceritakan
ulang. Setelah itu diwartakan kepada generasi yang datang belakangan.
Tujuannya bukan untuk dicontoh, melainkan sebagai upaya pengenalan
sejarah panjang perjalanan umat manusia yang telah melewati beragam
peristiwa.
Namun
masih ada beberapa peristiwa dari masa lalu yang hakikatnya memuat
pesan positif, sudah dibukukan, dan masih belum terjamah. Terjerat rasa
malas membaca, kepercayaan mutlak terhadap afiliasi, sampai pelarangan
dari pihak berwenang merupakan hambatan yang menutup akses manusia untuk
menjamah dan bergumul dengan buku. Akibatnya, ragam peristiwa yang
patutnya diketahui menjadi terlewat sia-sia. Linda Christanty, seorang jurnalis, melalui bukunya Para Raja dan Revolusi;Esai-Esai Tentang Dewi Ibu dan Geng Motor Hingga Persekutuan Orang Tionghoa dan Globalisasi
berupaya merekam ragam peristiwa yang jarang ditilik oleh manusia, tapi
patut untuk diketahui. Buku ini menjadi salah satu di antara sekian
buku yang memindah peristiwa dari tutur lisan menjadi tutur tulisan.
“Bekerja untuk keabadian”, kira-kira demikian jika mengutip potongan
kalimat dari Pramoedya Ananta Toer.
Secara
benang merah, buku ini merangkum peristiwa yang bersinggungan dengan
tema-tema umum. Layaknya buku-buku lain. Ikatan erat keluarga,
kisah-kisah para raja, kondisi perempuan di masa lampau, kisah lokal di
masa lalu yang masih menarik untuk diulas, dan eksploitasi agama di
tubuh masyarakat menjadi tema-tema pengisi di buku tersebut.
Peristiwa tentang “Ikatan Keluarga” bisa ditemui di tajuk ‘Sejarah Keluarga Adalah Sejarah Politik’.
Kontennya tentang pelenyapan manusia sebab perbedaan ideologi dengan
pemerintah pada masanya, dan proses hidup generasi setelahnya. Tema yang
sama juga digunakan di tulisan ‘Si Pet, Cerita Dari Aceh’.
Berbeda dengan sebelumnya, konten tulisan ini berbicara tentang
kebiasaan ibu di masa dahulu yang gemar bercerita untuk menyongsong
lelapnya si buah hati. Lain dengan ibu di era milenial ini,
meninabobokan anak kesayangan bukan melalui cerita dari suaranya yang
diselipi doa dan kasih sayang, tapi cukup memutar lagu atau film dari
gawai miliknya.
Sedang tema “Kisah-kisah Para Raja” bisa dijumpai di tulisan ‘Orang-Orang Kerajaan dan Republik’, ‘Mitos Dalam Kekuasaan Jawa: Dari Sisik Hingga Rujak Wuni’, ‘Bangsa Nusantara dan Peradaban Manusia’, ‘Ironi Dalam Perjuangan’, dan ‘Pemulung’.
Hampir semua peristiwa yang diceritakan di tema ini berkutat pada
perebutan kekuasaan. Mungkin karena orang elite, memiliki pengaruh dan
masa pendukung. Saya rasa seperti itu lumrah, di mana pun tempatnya dan
siapa pun orangnya.
Namun
dari sudut sejarah dan pembentukan negara, raja dengan kerajaannya juga
turut ambil bagian. Sebelum berdiri negara Indonesia, kerajaan
memainkan peran sentral dari berbagai lini. Kebudayaan, perdagangan,
kesastraan, dan semacamnya di kontrol oleh raja. Berlalunya masa,
kerajaan melebur, muncullah negara Indonesia. Tidak ada salahnya untuk
melibatkan keturunan para raja untuk turut serta berperan, agar mereka
juga merasa memiliki kepentingan di negara Indonesia (hlm. 43). Meskipun
kini kisah kedigdayaan raja dan luas kuasa kerajaan kebanyakan telah
menjadi cerita, kecuali Yogyakarta.
‘Dewi Ibu dan Orang Kasim’
menjadi satu-satunya tulisan yang seingat saya menyinggung tentang
perempuan di buku ini. Kasus pemerkosaan dan stigma negatif yang melekat
pada perempuan berusaha dilawan oleh tulisan tersebut dengan
memunculkan cerita-cerita klasik. Tentu ceritanya berkiblat pada
pengaruh dan kekuatan perempuan. Kemudian solusi dimunculkan di akhir
tulisan bagi pelaku pemerkosa dengan dikebiri. Meski masih menimbulkan
pro dan kontra, tapi sejarah mencatat bahwa manusia dikebiri justru
memiliki potensi lebih. Salah satunya pasukan dan para negarawan yang
baik di masa Dinasti Ming, adalah manusia dikebiri (hlm. 155).
Di
halaman lain, akan ditemui peristiwa yang bercerita dengan latar
belakang dan khazanah lokal. Sepertinya, cerita semacam itu telah
dianggap usang, beralih menjadi mitos, dan mungkin dilupakan oleh
generasi yang datang belakangan. Namun tanpa disadari, cerita-cerita
tersebut sebenarnya menarik untuk dibahas ulang. Bukan menjebak manusia
dalam romantisme masa lalu, tapi sebagai upaya ikhtiar manusia untuk
memetik satu dua hikmah yang masih relevan untuk konteks kekinian.Tajuk ‘Hantu dan Revolusi’, kemudian ‘Panglima Hasan Badi dan Haji Mahmud’
mewakili peristiwa lokal yang diangkat di buku ini. Isinya berupa
cerita dari para aktor pejuang di masa penjajah yang dibantu dengan
kekuatan mistis. Ada juga cerita tentang manusia yang mempunyai saudara
kandung buaya atau makhluk lain. Perjalanan hidup keduanya bisa diraba
di tulisan ‘Syarifah Maryam Alkaf dan Si Buntung’.
Mungkin
terdengar aneh sekaligus mustahil untuk konteks masyarakat sekarang.
Namun saya rasa kejadian semacam itu bisa saja terlihat nyata di masa
dahulu. Sebab orang masa lalu menghormati dan menghargai alam sebagai
bagian dari kehidupan. Bukan tunduk dan patuh kepada teknologi yang
justru mencederai hubungan baik alam dan manusia.
Sedangkan tema eksploitasi agama bisa dilihat di ‘Penjahat dan Teroris’, ’Charlie Hebdo dan Monumen Kegilaan’, ‘Membunuh Atas Nama Tuhan’, serta ‘Percakapan yang Hilang di Pagi Hari’.
Kegilaan mutlak pada afiliasi membuat manusia ingkar bahwa sebenarnya
tiap manusia berbeda. Sehingga upaya-upaya penyeragaman, apapun caranya
halal untuk dilakukan. Selama itu sesuai dengan ajaran agama yang mereka
pahami. Tujuan menghalalkan segala cara. Kira-kira demikian.
Memang
tidak semua tulisan yang dipaparkan buku ini bisa merangkul seluruh
peristiwa yang terjadi pada saat itu. Pun demikian, peristiwa-peristiwa
yang dimunculkan juga tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Tapi
tiap peristiwa diceritakan dengan bahasa yang lugas dan tidak
bertele-tele, serta renyah bagi orang yang masih awam dengan buku
sekalipun.
Terakhir, mengutip kalimat dari Linda Christanty pada kata pengantar di buku ini bahwa, negeri
ini tidak hanya dibangun oleh pengorbanan para pahlawan, dan diantara
yang gugur itu adalah para kakek, nenek, ayah, ibu, kekasih, dan sahabat
kita. Artinya masih banyak peristiwa yang belum ditemukan dan
diwartakan pada semua umat manusia. Dan itu menjadi bagian dari tugas
kita. Caranya? Membaca, membaca, membaca, kemudian menulis.
Dipublikasikan di berdikaribook.red
pada 24 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar