Filsafat masih jadi misteri. Bagi
sebagian orang saat mendengar kata filsafat, sengaja maupun tidak,
bayangan semacam orang gila dengan bicara susah dipahami, bertanya tanpa
henti, dan berbagai representasi mengerikan lainnya muncul. Lebih baik
menghindar cari aman, jangan sampai bersentuhan apalagi punya masalah
dengan yang namanya filsafat.
Saya rasa anggapan semacam itu lumrah,
khususnya bagi yang awal mula, anti, dan enggan belajar filsafat. Sebab
memang banyak pengajar, akademisi, dan buku-buku filsafat yang sulit
dijajaki oleh kalangan awam. Bahasa pengungkapannya tidak semudah
novel-novel yang laku di pasaran. Istilah-istilah yang digunakan juga
demikian. Apalagi muatan pesan di buku filsafat, wis ora mudengne nyong dan enggak kekinian. Intinya semua yang berbau filsafat tidak ramah untuk disapa, apalagi dijabat dan dipeluk erat-erat.
Lantas apakah filsafat memang
semengerikan itu? Saya rasa juga tidak. Bahwa filsafat itu sulit, memang
iya. Tapi sulit bisa dipatahkan dengan belajar lebih tekun. Kalau
mengerikan, apalagi haram untuk dipelajari, bisa menyesatkan dan
mendangkalkan akidah, saya rasa orang semacam ini ibarat mau beli buku
cuma melihat sampulnya doang. Terlebih anggapannya itu bukan berasal dari pengalaman pribadi. Boleh dibilang, orang jenis ini semacam berbuat hoax. Sebab berkomentar tanpa tahu menahu seperti apa yang dikomentari.
Begini, ada sedikit cerita yang mungkin
bisa menjawab ihwal filsafat, walau hanya tersirat. Beberapa waktu lalu
ada seorang laki-laki yang datang bertamu ke tempat semadi kami. Ia
menceritakan kecocokan antara hidupnya dengan filsafat yang diperoleh
dari Youtube MJS Channel. Di sela-sela perjalanannya bertamu, ia bertemu
dengan seorang ibu. Ibu itu mewanti-wanti bahwa sekarang
banyak ajaran sesat, apalagi di Yogyakarta. Ajaran sesat telah menjalar
ke mana-mana. Tapi uniknya, si laki-laki ini tidak terpengaruh oleh
himbauan ibu itu. Malah mempertanyakan, benar dan tidaknya ucapan si ibu
tadi.
“Kalau saya mau menuju ke ajaran sesat
kok tidak diarahkan ke ajaran yang benar sama si ibu itu? Terus, apakah
filsafat itu hanya mengajarkan yang sesat-sesat?”, jawab si laki-laki
dalam batinnya.
Cerita itu jadi salah satu contoh dari
sekian banyak cerita-cerita negatif yang dialamatkan pada filsafat.
Beruntung, laki-laki tadi masih memiliki daya kritis untuk
mempertanyakan ulang, benar dan tidaknya. Tanpa disadari, tindakan yang
dilakukan oleh si laki-laki tadi sebenarnya sudah masuk dalam laku dari
lampah filsafat.
Laku mempertanyakan ulang ini persis seperti yang ditulis dan diuraikan di buku Filosof Juga Manusia
(2018). Buku ini lahir dari ide kreatif guru pengampu Ngaji Filsafat di
Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, Fahruddin Faiz. Dalam pengantarnya,
beliau menguraikan bahwa filsafat itu memiliki keinginan untuk mencari
kebenaran. Caranya dengan mempertanyakan ulang. Walaupun harus melawan
arus, menantang cara berpikir mayoritas, dan menggoyang status quo (hlm. 5). Tapi itu harus ditunaikan.
Sisi unik dan kehidupan lucu, bahkan
aibnya para filosof termuat di buku ini. Sesuai judulnya, filosof itu
manusia. Seperti kita pada umumnya. Filosof juga makan, minum,
bercengkerama dengan lingkungan sekitar, berbuat aneh, jatuh cinta,
patah hati, frustasi, bahagia, sedih, dan kadang juga menertawakan
dirinya sendiri. Hanya saja para filosof ini menekuni bidang filsafat
dengan segala kurang dan lebihnya. Bahkan cenderung banyak lebihnya.
Sedangkan saya dan kita, mungkin, menekuni bidang lain dengan serba
minimalis. Tanpa keseriusan menekuni seperti para filosof.
Sekitar 40 nama filosof dipajang di
daftar isi buku ini. Semuanya berasal dari Barat, hanya satu nama yang
berasal dari Timur, Mahatma Gandhi. Tiap tokoh ditulis seperlunya, tidak
terlalu panjang. Sehingga tidak membosankan bila dibaca untuk meredakan
penat. Beberapa ulasan dari filsuf tertentu, berhasil membuat saya
tersenyum. Beberapanya lagi justru membuat saya mengerutkan kening
sambil ngrasani, kok ada ya orang semacam ini ya?
Socrates misalnya. Sesepuh sekaligus
tetua dari para filosof punya cerita unik yang menyindir manusia tanpa
kenal usia zaman. Ceritanya ia gemar pergi ke pasar. Tapi tidak untuk
membeli barang dagangan. Ia hanya berjalan sembari melihat-lihat saja.
Suatu ketika temannya heran, lantas bertanya kenapa sering pergi ke
pasar tapi tidak untuk membeli sesuatu? Socrates menjawab, “Aku selalu
senang melihat berapa banyak barang yang tidak aku butuhkan.” (hlm. 58).
Cerita demikian itu ada, jauh sebelum
abad masehi dimulai. Namun saya rasa jawaban Socrates itu masih cukup
relevan untuk konteks kekinian. Coba sejenak lihat disekeliling kita.
Ratusan bahkan ribuan pusat perbelanjaan dari yang kecil sampai besar
dengan ragam barang yang dijual. Terlebih jika ada diskon, tampak pusat
perbelanjaan lebih prioritas dibanding pusat peribadatan, apalagi pusat
pengetahuan. Nah, Socrates mengingatkan manusia untuk tidak terjebak
membeli sesuatu yang tidak diperlukan. Belajarlah sederhana, kira-kira
demikian pesan dari Socrates.
Cerita selanjutnya datang dari Plato,
muridnya Socrates. Plato pernah mendefinisikan manusia sebagai binatang
tanpa bulu yang berkaki dua. Diogenes, seorang filosof yang sezaman
dengan Plato, saat mendengar ucapan tersebut langsung mengambil ayam
yang telah dicabuti bulunya lantas mengatakan, “Ini manusia yang
dimaksud oleh Plato.” (hlm. 89).
Saya tersenyum sendiri saat membaca
cerita itu. Kemudian terbayang dengan mereka yang menganggap semrawut,
mengerikan, dan jelimetnya filsafat. Apakah anggapan mereka akan goyah,
lantas mau berkenalan dengan filsafat? Atau bagaimana? Ah, yang jelas
menarik menanti perubahan raut muka mereka ketika mendengar atau membaca
buku Filosof Juga Manusia ini.
Cerita lain lagi tentang Aristoteles,
muridnya Plato, cucunya Socrates juga punya cerita yang tak lazim
tentang sekolah yang didirikannya itu. Sekolah yang didirikan
Aristoteles sifatnya terbuka dan bebas, dua sesi, pagi dan siang.
Pelajaran yang sulit diberikan di sesi pagi, sedangkan pelajaran yang
mudah diberikan saat sesi siang. Selain itu, cara mengajarnya dilakukan
sambil jalan-jalan di sepanjang pilar sekolah. Muridnya pun dibebaskan
untuk membawa makanan (hlm. 159-160).
Sepertinya sekolah semacam itu hanya ada di masa lalu. Sekarang sekolah lebih terformat sebagai tempat belajar ‘pintar’ an sich.
Tentunya, kita tidak harus berdemo untuk kembali seperti zaman sekolah
di masa itu. Kita hanya perlu belajar tekun, sesuai bidang dan minat
masing-masing.
Saya kira dari Sokrates, Plato dan
Aristoteles sudah mewakili rasa penasaran dan kecurigaan terhadap
filsafat. Ketiganya saya pilih karena beliau-beliau itu sebagai para
syeikh perintis awal mula filsafat. Bila gurunya para filosof saja punya
cerita lucu, unik, dan menggelitik, muridnya juga hampir-hampir
miriplah. Kira-kira begitu maksud saya.
Buku Filosof Juga Manusia
tidak dibuat untuk membujuk, dan membuat cinta bagi mereka yang anti
filsafat. Juga bukan untuk kado ulang tahun pacar, apalagi untuk bahan
dakwah. Selain muatannya hanya sebatas cerita unik, menarik, dan lucunya
saja, nama-nama filosof yang diangkat di buku ini juga belum lengkap
seutuhnya. Perlu ditunggu terbit Filosof Juga Manusia versi
Barat, Islam, dan Jawa edisi satu, dua, tiga, dan seterusnya.
Syukur-syukur Pak Faiz juga berkenan menulis para filosof jomblo yang
berpestrasi, agar mereka yang istikamah dengan ilmu pengetahuan tidak
risau dengan status ketunggalannya.
Terakhir, mari sejenak kita berdoa
untuk beliau, Pak Faiz. Semoga diberi panjang umur, dan kesehatan agar
terus dapat mengampu Ngaji Filsafat dengan segala kelonggaran waktu,
lebih dan kurangnya. Semoga juga para mas-mas takmir masjid lebih sering
diberi senyuman ramah oleh para santriwati Ngaji Filsafat, agar supaya lebih bersemangat mengunggah hasil ngaji.
Sebagai pengingat: Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, dan setiap waktu adalah belajar. Maka jadilah pembelajar yang baik. Demikian.
Dipublikasikan di mjscolombo.com
pada 11 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar