Pada hakikatnya, tiap manusia memiliki kebebasan berekspresi.
Wujudnya bisa dalam menyanyi lagu, bermain musik, menulis cerita,
mencetak buku, berdebat, dan seabrek jenis kebebasan-kebebasan ekspresi
lainnya. Namun banyak yang luput untuk menekuni kecenderungan
ekspresinya. Sehingga tidak jarang ada manusia yang belum berhasil.
Hanya karena kurang ketekunan.
Jika ditilik sejarah panjang negeri ini, memang ada satu momen yang
kentara sekali upaya pengekangan terhadap kebebasan berekspresi. Iya, di masa
orde baru. Tiap wujud kebebasan ekspresi yang mengkritik, atau malah menentang
pemerintahan maka halal untuk ditangkap, dipenjarakan, disingkirkan, bahkan
kalau perlu dilenyapkan nyawanya. Masa yang benar-benar memilukan.
Berbeda dengan hari ini, era milenial. Era yang memiliki kecenderungan
akut pada dunia digital. Kebebasan ekspresi tiap manusia mendapatkan ruang gerak
dan haknya. Meski pun kebebasan yang disediakan masih belum penuh dan utuh. Tapi
setidaknya manusia sudah tidak takut lagi untuk menyuarakan kritik, dan
menentang sesuatu yang mencederai akal sehat.
Salah satu wujud kebebasan berekspresi manusia adalah menulis. Seperti yang dilakukan oleh Iqbal Aji Daryono di bukunya‘Out of the Lunch Box; Esai-Esai Sosial, Politik, dan Agama’.
Ia menuangkan kritik sekaligus ide-ide kreatifnya. Tulisannya dari
media online dikumpulkan, kemudian dicetak menjadi buku. ‘Menulis adalah
menjadi merdeka’, kira-kira begitu. Sesuai kata pembuka buku ini.
Konten buku ini beragam. Kebanyakan berasal dari topik
sederhana yang mungkin menurut beberapa penulis lain tidak perlu disoroti lebih
mendalam. Beberapa tulisannya ada juga yang mengulas topik hangat pada masanya
dan ramai diperbincangkan oleh banyak pihak. Kepiawaiannya mengulasdengan gaya
tulisan nyantai, topik apapun itu, selalu membuat pembacabetah berlama-lamamenikmati
irama di tiap tulisannya.
Misalnya ketika ia mengulas pernyataan Buya Syafii, tentang
ucapan Ahok di Kepulauan Seribu dan sikap kebanyakan masyarakat setelah kasus itu.
Ternyata menurutnya yang lahir bukan malah kecerdasan untuk berfikir mengolah
sekaligus menyikapi kasus, namun justru cara berfikir hitam putih yang merebak
(hlm. 1-6) hampir di seluruh elemen masyarakat kala itu. Bahkan menjamur sampai
hari ini. Siapapun
orangnya yang tidak sepakat dengan kelompoknya, maka dianggap lawan dan halal
untuk dihujat habis-habisan.
Kasus politik memang memiliki kecenderungan seperti itu. Memicu pro
dan kontra, hitam putih. Di sisi lain juga memerlukan penalaran dan sikap yang
tepat. Bahwa politik itu penuh intrik untuk menjatuhkan lawan, memang benar
adanya. Namun itu berlaku bagi mereka-mereka yang memiliki kepentingan. Lantas
bagaimana dengan manusia awam, yang menjadi korban, untuk mengambil sikap tanpa
harus gontok-gontokan? Itu
yang sulit dilakukan.
Cara berfikir hitam putih hari ini juga menjadi tren dalam
kehidupan antar umat beragama. Ia mencontohkan kasus halal dan tidak halal
dalam pelabelan produk tisu dan panci. Sederhana. Tapi jika dicermati, efek
yang ditimbulkan cukup besar di masyarakat. Sebab tidak menutup kemungkinan
bahwa produk-produk lain –selain makanan, obat-obatan- akan meminta label halal
dan tidak halal.Bisa jadi ada bus halal, helm halal, baju halal, dan produk semacamnya
dihalalkan.
Selain itu, akses pelabelan halal mudah dilakukan oleh industri
menengah ke atas. Namun lumayan sulit bagi industri kecil. Padahal label halal
dan tidak halal kadangkala tidak berkaitan dengan kualitas produk, namun hanya
upaya marketing di pasaran. Sehingga industri kecil bisa tersingkir hanya karena
tidak mencantumkan label halal di produknya (hlm.126-131).
Mengingat negara ini terdiri dari beragam bahasa, agama, budaya,
dan semacamnya. Sekaligus banyaknya jumlah penduduk, dan letak geografis
berpulau-pulau. Maka saya rasa perlu untuk merubah cara berfikir hitam putih
ini. Berbeda pendapat bukan berati lawan. Mengikuti mayoritas belum tentu
benar. Minoritas belum pasti salah. Begitupun berlaku sebaliknya.
Lantas bagaimana caranya?
Caranya melalui baca buku. Memang pengalaman itu penting. Jalinan
pertemanan yang banyak juga perlu. Namun membaca buku itu menjadi gerbang awal
bagi manusia untuk mencerna segala pengalaman dan memuliakan pertemanan. Di
samping itu, buku juga menjadi jantungnya peradaban.
Namun saya –mudah-mudahan sudah berubah- pernah membaca hasil riset
bahwa daya baca masyarakat di negeri ini rendah. Urutan 61 dari 62 negara.
Bahkan kalah dengan negara tetangga, Malaysia. Bagaimana mungkin, negara ini
yang mayoritas umat beragama Islam dengan wahyu pertama iqra’ (bacalah),
tapi daya bacanya rendah? Tidak
perlu terlalu menggerutu, mungkin benar seperti itu.
Buku masih belum menjadi kebutuhan primer. Buku dibeli jika ada
perlu untuk menyeleseikan tugas kuliah. Membeli dan membaca buku hanya diperuntukkan
bagi mereka-mereka yang sekolah, di kampus, dan di tempat-tempat pendidikan
formal. Bahkan hiburan, fashion, dan konsumsi yang harganya selangit rela dan
ikhlas untuk dibeli. Sedangkan harga buku yang kisaran 40-80 ribu, membelinya
masih dipikir-pikir ulang (hlm.173).
Padahal dengan memperbanyak bacaan buku, referensi, daya kritis,
dan koleksi pengetahuan manusia jadi lebih banyak. Sehingga memandang problem, kasus,
fenomena yang sedang, maupun telah terjadi di masyarakat tidak melulu dengan
kacamata hitam putih, benar salah. Karena ada perspektif lain, ada alternatif
solusi, sekaligus ada cara menyikapi dengan bentuk lebih baik.
Buku ini tidak memuat bahasa formal, ejaan yang terlalu rumit, dan
tata cara kepenulisan dengan standar baku. Judul di tiap-tiap tulisan pun
suka-suka si penulis. Tapi justru karena itulah, pembaca jadi penasaran untuk
merampungkan tiap tulisan di buku ini. Pembaca dimanjakan oleh penulisnya
dengan tidak mewajibkan membaca urut dari halaman awal sampai akhir.Tanpa harus
khawatir kehilangan konten dan pesannya.
Jawaban semua tantangan,
problem, fenomena, dan keingintahuan yang mendalam mungkin tidak bisa hanya
dengan buku ini. Sebab adanya
kertebatasan pengetahuan dari si penulis. Oleh karena itu, silahkan membeli,
membuka, dan membaca buku-buku lain. Karena perbuatan demikian menjadi bagian
dari kebebasan berekspresi. Orientasinya agar tidak terjebak pada kacamata
hitam putih. Maka perbanyaklah membaca buku yang berkualitas.
Dipublikasikan d Tatkala.co
pada 18 Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar