Manusia sebagai makhluk sempurna memang niscaya adanya. Namun manusia
dari cerita yang beredar di masyarakat, tentu memiliki poin unik
tersendiri untuk disimak, ditulis, dan dibaca lebih mendalam. Barangkali
ada satu dua hikmah yang bisa diteladani untuk bekal hidup di masa
mendatang.
Ya meskipun pelajaran yang diambil masih saja berkutat
pada manusia-manusia hebat, kuat, dan sukses di masanya. Itu tidak jadi
persoalan. Hanya saja rasanya kurang lengkap jika manusia yang dianggap
pinggiran belum dilibatkan. Masa sih, petani, hansip, buruh,
pemulung, bahkan pelacur sekalipun tidak memiliki cerita yang bisa
diambil hikmahnya? Saya rasa masih tetap ada dan bisa. Dasarnya
sederhana, Maha Pencipta tidak mungkin menciptakan makhluk yang tidak
ada manfaatnya.
Cerita-cerita pendek yang ditulis oleh Ahmad
Tohari misalnya, bisa digunakan sebagai representasi kehidupan pelik
dari manusia pinggiran. Salah satunya terangkum dalam karya beliau
dengan tajuk ‘Mata Yang Enak Dipandang’. Di dalam buku ini,
cerita-cerita manusia pinggiran yang luput dari kejelian mata manusia
ditampilkan dengan narasi sederhana. Terlepas dari nyata dan tidaknya
cerita, misinya menyadarkan pembaca bahwa hikmah juga bisa dipanen dari
manusia pinggiran saya rasa berhasil.
Buku ini memuat lima belas
cerita pendek. Tiga belas diantaranya memakai aktor utama manusia
pinggiran dengan segala pernak-perniknya. Sedangkan dua judul lain,
‘Salam Penyangga Dari Langit’ dan ‘Bulan Kuning Sudah Tenggelam’
menggunakan aktor dengan status keluarga berada. Namun tetap saja,
ceritanya dibalut dengan momen-momen nelangsa, mistis, dan juga sederhana.
Topik
mengenai beban kemlaratan juga bisa ditemui di buku ini. ‘Mata Yang
Enak Dipandang’, ‘Daruan’, ‘Sayur Bleketupuk’, ‘Dawir, Turah, dan
Totol’, serta ‘Harta Gantungan’ merupakan judul tulisan yang memuat
topik tersebut. Secara umum, kelima cerita ini mengulas asa dari manusia
pinggiran yang belum dikabulkan. Tapi ikhtiar harus tetap ditunaikan
sebagai wujud ejawantah manusia hidup di jagat raya.
Memang
kemlaratan bukan satu-satunya penentu manusia bisa melanjutkan hidup
atau tidak. Tapi harus diakui bahwa kesuksesan manusia hampir-hampir
selalu diukur dari kepemilikan harta benda. Cerita pendek Daruan
misalnya. Novelis baru yang ingin menjemput rezeki setelah karyanya
berhasil diterbitkan oleh Muji, sahabatnya sejak SMA. Dimodali dari
menjual cincin istrinya, Daruan berangkat untuk menagih honor sebagai
penulis novel. Sesampainya di rumah Muji, Daruan hanya memperoleh
harapan agar novelnya laku keras (hlm. 39-49). Cerita ini membangunkan
manusia bahwa tiap rencana tidak melulu berjalan mulus. Namun ikhtiar
tidak boleh ditinggalkan, perkara berhasil atau tidak, Maha Pemberi
Rezeki yang akan menjawab.
Di halaman lain, pembaca akan menemukan
cerita pendek tentang kehidupan perempuan sebagai pelacur. Judul ‘Bila
Jebris Ada di Rumah Kami’ dan ‘Rusmi Ingin Pulang’ mewakili topik
kepelacuran. Status yang kerap dipandang sebelah mata oleh manusia
lainnya. Keberadaannya sering dianggap sebagai aib.
Topik yang
sama juga ada di cerita pendek ‘Warung Penajem’. Mungkin sekarang masih
ada beberapa pedagang yang menggunakan penglaris untuk mengundang lebih
banyak pengunjung. Penglaris ini mengharuskan adanya pemenuhan syarat
atau penajem. Salah satu syaratnya yakni tubuh pasiennya sendiri.
Seperti yang dilakukan Jum, istri Kartawi. Meskipun dengan dalih
perbaikan ekonomi dan tanpa ada rasa saling suka ketika bermain, tetap
saja Kartawi sulit untuk menerima kenyataan (hlm. 51-61).
Keberadaan
pelacur seringkali mendapat cemoohan, penggunjingan, pengucilan,
sampai-sampai pengusiran seolah-olah halal dialamatkan pada seorang
pelacur. Padahal siapa tahu, ada satu dua ibadah ringannya yang lebih
berkesan kepada Tuhan. Kebanyakan manusia hanya pandai menilai luar.
Kedalaman manusia dan amalnya, meski pelacur sekalipun, buktinya tetap
memperoleh rezeki, kasih sayang, bahkan keselamatan dunia dan akhirat,
dan itu sudah menjadi hak prerogatif Maha Penguasa.
Berbeda
dengan cerita pendek ‘Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan’, dan
‘Pemandangan Perut’. Kedua cerita pendek ini mengulas dunia yang sulit
dijangkau manusia dengan panca inderanya, kecuali manusia yang memang
diberi kelebihan melihat oleh-Nya. Seperti Sardupi yang tertawa tiap
kali melihat perut manusia lain. Bagi Sardupi, perut manusia punya
pandangan bermacam-macam. Namun perut dengan pemandangan terbaik hanya
dimiliki anak-anak (hlm. 143-153).
Sebab anak-anak memandang
apapun itu dengan tatapan kasih sayang. Buktinya bertengkar kemudian
bermain tanpa menyisakan dendam. Begitu pun dengan apa yang dikonsumsi,
kira-kira belum terkontaminasi kepentingan. Berbeda dengan manusia
dewasa dengan carut marut kehidupan. Terlalu banyak nutrisi kurang baik
yang dikonsumsi sehingga berdampak pada laku sehari-hari.
Seperti
Paman Doblo, satpam pengusaha kilang pengolah kayu yang sikapnya berubah
menjadi culas. Padahal sebelumnya, sikap Paman Doblo selalu disanjung
oleh warga sekitar karena kesigapannya berbuat baik. Namun karena
nutrisi berupa perintah yang kurang baik, akhirnya berdampak pada
perubahan laku dan statusnya di kampung (hlm. 63-73). Cerita ini bisa
disimak ditajuk ‘Paman Doblo Merobek Layang-Layang’.
Seperti Paman
Doblo, manusia harusnya mau menginsyafi segala perbuatan buruk. Hanya
saja manusia keseringan luput untuk mengoreksi dan mengkritik dirinya
sendiri. Ketika ketahuan buruk, tidak jarang pembelaan sebagai alat
pembenaran dilancarkan. Bahkan tidak tanggung-tanggung, menuduh yang
lain sebelum dirinya tertuduh boleh dilakukan, yang penting bukan
dirinya.
Oleh karena itu, cerita pendek ‘Penipu Yang Keempat’, dan
‘Kang Sarpin Minta Dikebiri’ bisa menjadi rujukan manusia yang hendak
menginsyafi keluputan. Memang hampir tiap saat manusia dikelilingi oleh
dosa, tapi ampunan dan rahmat tidak kalah seringnya turun lantas
diperuntukkan kepada manusia, kapanpun dan dimanapun tanpa pandang bulu.
Bahkan siapapun yang di ujung hidupnya sempat bercita-cita menjadi wong bener bisa disebut sebagai orang baik (hlm. 85), kira-kira demikian.
Walapun
cerita pendek di buku ini memuat hikmah dari manusia pinggiran, namun
tetap saja ada kekurangannya. Salah satunya konflik yang dimunculkan
dari tiap cerita terkesan sederhana. Pembaca tidak sampai berlarut untuk
membayangkan konflik yang dipaparkan. Meski begitu, bahasa yang
digunakan tidak terlalu puitis. Sehingga mudah untuk dipahami orang awam
yang baru mengenal cerita pendek sekalipun. Pesan dari tiap cerita juga
mudah tersampaikan kepada para pembaca. Terakhir, teringat pesan guru
saya bahwa manusia ada, karena kemauannya berbagi. Berbagi apa?
Terserah, selama itu ada manfaatnya untuk manusia dan semesta. Sekian.
Dipublikasikan di biem.co
pada 18 Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar