Mencuci itu laku untuk
membersihkan sesuatu. Kita yang dewasa tentu saja, kecuali balita,
pernah mencuci. Mencuci baju, mencuci piring, mencuci motor, mencuci
sendok, dan seabrek barang-barang yang patut untuk dicuci. Mencuci
dilakukan seiring waktu.
Saya memiliki pengalaman tentang dunia
cuci-mencuci. Sebagai perantau yang (numpang) tinggal di masjid sebagai
marbot dengan bekal uang yang pas-pasan, menuntut saya untuk mandiri.
Salah satu bentuk kemandirian, ya mencuci sendiri. Baju tidak main laundry, tapi dicuci sendiri. Setiap kegiatan di masjid, gelas dan piring kotor, sudah dijadwal untuk di cuci sendiri.
Jadilah mencuci sebagai bagian dari rutinitas harian. Mungkin dari pembaca sekalian ada yang melaku hal yang sama, alias mencuci jadi laku ajeg
untuk ditunaikan. Bahkan untuk beberapa orang lainnya, mencuci
mememiliki tujuan ekonomis, yaitu semacam aktivitas yang dilakukan dapat
menghasilkan uang. Coba amati penjual nasi padang, pecel, tempat laundry,
tempat cuci montor dan mobil, mereka semua tidak bisa dipisahkan dengan
dunia cuci mencuci. Kesejahteraan dan pendapatannya bisa dilihat dari
seberapa banyak barang yang harus dicuci. Semakin banyak barang yang
harus dicuci, berarti orang masih antusias untuk jadi pelanggan. Begitu
pun sebaliknya, semakin sedikit atau malah tidak ada barang yang kotor
untuk dicuci, bisa dipastikan saat itu mengalami peristiwa sepi
pelanggan.
Tapi begini, di samping itu semua, saya
rasa dunia cuci mencuci menyimpan pelajaran yang selaras dengan misi
Nabi Muhammad Saw dalam mendakwahkan agama Islam. Saya memerlukan waktu
dua tahun hanya untuk mencari jawaban dari pertanyaan, “Pelajaran apa yang bisa dipetik dari mencuci?” Karena di kesempatan tertentu, guru saya pernah dhawuh bahwa tiap-tiap peristiwa yang ada di muka bumi ini, selalu menyimpan pelajaran yang bisa diambil untuk diamalkan.
Sebelum membahas kaitan-hubungan
keduanya, saya ingin mengingatkan dulu sekilas cerita tentang Nabi
Muhammad Saw. Perjalanan Nabi Muhammad Saw di dunia ini penuh lika-liku.
Mulai dari masa kelahiran, anak-anak, remaja, dewasa, menikah, sampai
menerima wahyu dan wafat beliau. Semua direkam dengan baik dan bisa
dijumpai diberbagai buku bacaan, termasuk juga di kitab suci Al-Quran.
Selama saya membaca buku-buku tentang Nabi Muhammad Saw, ada banyak
tauladan yang bisa diambil dan diwujudkan dalam bentuk tindakan. Salah
satunya misi Nabi Saw untuk memperbaiki akhlak manusia melalui contoh
akhlak beliau yang terpuji.
Saya beri dua cerita yang sudah populer
untuk menggambarkan hal itu. Pertama, cerita Nabi Saw yang menyuapi
seorang hamba di pojok pasar yang buta dan miskin. Nabi Saw memberi
makan hamba itu setiap hari, dengan melembutkan makanannya terlebih
dahulu, baru disuapkan ke mulut hamba itu. Meski setiap saat hamba itu
menghujat dan mencaci Nabi Saw melalui ucapan, Nabi Saw tetap menunaikan
misinya untuk menolong sesama manusia. Sampai di sini dulu ceritanya,
mari beralih ke cerita kedua.
Cerita kedua saya ambil ketika Nabi Saw
berdakwah ke kota Thaif. Nabi Saw ingin mengajak pemuka kabilah Tsaqif
beserta warganya untuk masuk agama Islam. Namun respon yang muncul tidak
sekedar penolakan, bahkan cacian sampai pelemparan batu hingga membuat
Nabi Saw terluka. Melihat peristiwa itu, Malaikat Jibril geram lantas
menawarkan bantuan, “Bagaimana Nabi kalau warga Thaif saya hancurkan
dengan menimpakan gunung di atasnya?” Kira-kira begitu tawaran bantuan
Malaikat Jibril. Nabi Saw memberi jawaban “tidak”, bahkan Nabi Saw
sendiri justru mendoakan anak keturunan warga Thaif diberi hidayah untuk
beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.
Dari kedua cerita itu bisa saya
simpulkan bahwa Nabi Muhammad Saw datang tidak lain adalah untuk
memperbaiki akhlak manusia. Kenapa harus diperbaiki akhlaknya? Karena
manusia pada masa itu terlalu lalai untuk menyembah-Nya, maka sudah
saatnya untuk diingatkan. Bahwa peradabannya sudah maju, itu iya betul.
Tapi peradaban yang maju tidak selalu beriringan dengan perbaikan
akhlak, bisa jadi malah sebaliknya.
Misi Nabi Saw untuk memperbaiki akhlak
manusia ini dalam amatan saya memiliki kesamaan dengan saat saya mencuci
gelas misalnya. Gelas dan piring yang kotor, untuk membersihkannya
tidak perlu dengan memecahkannya atau membuangnya. Tapi kotorannya saja
yang harus dihilangkan dengan dicuci. Kalau kotorannya sampai berkerak,
maka perlu direndam agak lama hingga kotorannya mudah dibersihkan.
Bagi saya tindakan mencuci itu berpaut
dengan yang dilakukan oleh Nabi Saw. Dalam artian kalau ada orang yang
berbuat jelek, mencaci, menghina, bahkan menyakiti secara fisik, manusia
itu tidak perlu dilenyapkan dengan dibunuh atau berdoa agar diberi
azab. Tapi justru diingatkan, diberi nasehat, dan didoakan agar
keburukannya meluruh berkurang. Jadi yang dihilangkan keburukannya,
bukan manusiannya.
Bila pelajaran itu diterapkan untuk
hari-hari ini, wujudnya bisa beragam, sebab tidak ada manusia yang bisa
lepas dari perbuatan buruk dan juga absurd. Ada manusia yang iri tapi
rajin shalat, suka berbuat curang tapi sangat ramah, tangannya jahil
untuk merusak alam namun tidak pelit, membuang sampah di sembarang
tempat tapi rajin membaca Al-Quran, berkata kotor tapi sering ikut
pengajian, dan lain sebagainya. Jadi yang perlu dicuci itu bukan
semuanya, hanya akhlak-akhlaknya yang buruk saja.
Selanjutnya yang menarik, misi Nabi Saw
dalam memperbaiki akhlak manusia ini tidak dilakukan dalam waktu yang
sebentar. Malah seluruh hidup Nabi Saw didedikasikan untuk syiar agama
Islam. Meski pun saya rasa untuk mengislamkan seluruh umat manusia di
muka bumi pada saat itu (dan juga hari ini) bukan perkara yang sulit.
Allah dengan kuasa-Nya mampu membuat seluruh manusia menjadi beragama
Islam dalam sekejap. Tapi itu tidak dilakukan. Ini sama dengan saat saya
mencuci gelas. Mencuci gelas juga tidak bisa dilakukan dengan sekejap,
tapi perlu waktu. Banyak gelas yang kotor, ada sabun atau tidak, airnya
macet atau tidak, ingin bersih banget atau hanya sekedar cuci, menjadi
hal-hal yang membuat aktivitas mencuci tidak bisa diseleseikan dalam
waktu sekejap. Oleh karena itu, misi memperbaiki akhlak manusia yang
dilakukan Nabi saw dengan saya mencuci gelas mempunyai titik temu pada
prosesnya. Dan proses ini selalu memerlukan waktu yang tidak sebentar,
tidak instan. Kira-kira begitu.
Hari ini manusia cenderung mengabaikan
proses, inginnya serba cepat. Kata guru mengaji saya, cepat itu tidak
salah, hanya kurang pas. Karena cepat itu selalu memangkas beberapa hal.
Misalnya saat saya mencuci gelas kotor tidak dengan sabun, hanya dengan
air. Memang kotorannya hilang, dan relatif lebih cepat, namun itu
kurang tepat. Bisa jadi baunya masih menempel, dan kerak-kerak tidak
seluruhnya hilang. Mending dengan sabun, waktunya agak lama, dan
hasilnya baik. Jadi proses semacam ini penting. Aktivitas apapun perlu
proses. Kalau kata para bijak-cendekia, proses itu bisa menghantarkan
manusia menjadi lebih bijak.
Mungkin dua pelajaran itu yang bisa
saya cari titik temunya antara aktivitas mencuci dengan misi Nabi Saw
dalam memperbaiki akhlak manusia. Saya rasa tidak menutup kemungkinan
juga bahwa tiap-tiap aktivitas, entah itu sebagai juru masak, tukang
parkir, penyanyi, pedagang keliling, dan seabrek aktivitas lain juga
memiliki satu dua titik temu dengan ajaran agama Islam atau dengan laku Nabi Saw sepanjang masa hidup beliau. Wallahualam.
Dipublikasikan di mjscolombo.com
pada 26 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar