Cerita tentang waria merupakan cerita pilu. Bagaimana tidak?
Kehadiran waria selalu menjadi perdebatan banyak kalangan, mulai dari
masyarakat awam, intelektual, bahkan ulama juga turut berkontribusi
meramaikan jagat perdebatan tentang waria.
Waria jadi bahan
debat. Bahkan hasil debat selalu tidak menguntungkan keberadaan waria.
Debat-debat itu muncul dari pendapat orang tentang waria. Pendapat waria
sendiri sering diabaikan. Waria diwakili oleh pendapat orang lain.
Waria punya cita dan asa, tapi tidak kesampaian.
Kisah waria tidak
hanya berhenti di dunia debat dan pendapat, waria juga disingkirkan
pelan-pelan dari realitas nyata. Waria tidak dianggap ada. Beberapa
memberi penilaian waria sebagai manusia yang menyimpang. Beberapa lagi
mempersamakan waria dengan benda dan binatang. Tapi kesemuanya itu
bermuara pada laku diskriminasi terhadap waria.
Padahal waria juga
manusia, sama dengan pria dan perempuan yang mendaku dirinya lebih baik
dari waria. Waria butuh kasih sayang. Waria juga butuh rasa aman. Hak
dan kewajiban waria pun sama dengan pria dan perempuan. Bahwa ada waria
yang melakukan perbuatan tidak senonoh, itu memang iya. Tapi itu tidak
bisa dijadikan legitimasi untuk mengeneralisasi bahwa semua waria itu
buruk.
Menjadi waria juga bukan pilihan, sama dengan pria dan
perempuan. Meski dalam dunia wacana dari berbagai disiplin ilmu
pengetahuan, proses menjadi waria bisa dimungkinkan adanya faktor-faktor
tertentu. Bisa faktor teman sepermainan, misal pria berteman dan
(sering) bermain dengan perempuan. Bisa juga faktor keluarga, misal
ingin anak perempuan tapi lahir pria, kemudian didandani dengan pakaian
perempuan. Bisa juga karena kecewa, dan faktor-faktor lainnya.
Sama
seperti teman-teman waria yang berkegiatan di Pondok Pesantren Waria
Al-Fattah Yogyakarta. Pondok pesantren ini beralamat di Jagalan RT/RW
09/02 Banguntapan, Bantul. Sekitar dua bulanan, saya dan beberapa teman
di sana menjadi relawan dan turut berkegiatan. Menjadi pengamat dan
wawancara juga tidak ketinggalan untuk ditunaikan.
Saya berangkat dengan rasa ketidakpercayaan dan penasaran
dengan kehidupan waria. Sebelum berkontribusi di sana, saya berharap
bisa menemukan satu dua hal yang bisa saya tulis untuk meramaikan
perdebatan tentang waria. Tujuannya tidak lain untuk memberi alternatif
penilaian bahwa waria juga punya potensi kebaikan.
Simak
pernyataan Sinta Ratri (57 tahun), Ketua Pondok Pesantren Waria
Al-Fattah Yogyakarta ketika ditemui Jum’at (26/4/2019). “Kalau saya
boleh memilih, saya tidak mau dilahirkan sebagai waria. Saya memilih
menjadi manusia normal. Menjadi waria itu berat, banyak tantangan dan
cobaan.
Tapi bagaimana lagi, saya (dan teman-teman di pondok ini)
sudah ditakdirkan menjadi waria”. Mereka pasrah menjalani hidupnya
sebagai waria. Waria mendapat banyak perlakuan diskriminasi dan cibiran.
Istilah ‘takdir’ digunakan untuk sekedar mengobati rasa ketidaktenangan
menghadapi berbagai cobaan.
Pondok pesantren ini sudah berdiri
hampir dua dasawarsa. Santri-santri waria datang silih berganti, total
ada sekitar 40 waria yang turut berkegiatan aktif di pondok pesantren.
Mereka berasal dari berbagai daerah. Mereka juga memiliki ragam latar
belakang, pendidikan, dan kisah pilunya masing-masing. Salah satunya
Jamilah.
Kisah Mbak Jamilah
Begitu ia akrab disapa.
Pawakannya tinggi, agak gemuk, dan berkulit hitam. Sorot matanya yang
tajam kadang membuat lawan bicaranya canggung untuk langsung menatapnya.
Rambutnya panjang sampai pinggang. Ia jadi salah satu santri di pondok
pesantren ini. Bahkan ia menjadi satu diantara beberapa waria yang ikut
kegiatan sejak awal mula.
“Dulu tempatnya tidak di pondok
pesantren ini, mas. Tapi di Notoyudan, ketuanya almarhumah Bunda
Maryani,” katanya ketika ditemui sepekan usai perhelatan pemilu tahun
2019.
Jamilah berasal dari Kebumen. Di usianya yang sudah
menginjak 52 tahun, ia sudah nyaman dengan menjadi waria. Ia sudah tidak
memperdulikan lagi penilaian orang lain tentang dirinya. ”Selama saya
enjoy, nyaman, ya saya jalani mas,” jelasnya.
Saya rasa, mungkin
porsi hidupnya lebih banyak untuk mendengar dan menerima bentuk
diskriminasi dibanding kasih sayang dan penghargaan. Ia mendaku,
masyarakat (di kampung) dan keluarga, awalnya tidak menerima
kehadirannya. Meski sekarang sudah diterima, tapi tentu proses yang
dilalui teramat berat.
Profesinya sebagai pengamen tidak lantas
membuat Jamilah minder. Ia berkaca dengan pendidikan sederhana yang
diperolehnya, pengalaman kerja hampir tidak ada, dan kesempatan kerja
yang diskriminatif, tentu sulit untuk memperoleh pekerjaan layak bagi
seorang waria seperti dirinya.
Biasanya ia ngamen di sekitar
Rumat Sakit Bathesda Yogyakarta, berjalan menyusuri trotoar. Arahnya ke
mana dan berhenti ngamen di mana, ia sesuaikan dengan mood dan
situasi pada hari itu. Meski tidak jarang ia diciduk oleh petugas Dinas
Sosial, diberi pengarahan dan pelatihan keterampilan lainnya agar mentas
dari profesi pengamen.
“Iya saya sering, mas (diciduk kemudian), dapat pelatihan di
dinas-dinas itu. Tapi ya gimana, hanya pelatihan. Harusnya kan kerja
sama dengan pabrik atau toko mana. Nanti hasil pelatihan waria terbaik
dimasukkan ke situ,” gerutu dan harapnya.
Ketika saya tanyai,
bagaimana responsnya (Jamilah) ketika ada teman waria yang punya sifat
menjengkelkan dan tidak kooperatif? Ia mengatakan langkah pertama dengan
teguran. Kalau pun nanti tidak ada perubahan, ya didiamkan. “Saya tidak
mau menambah masalah lagi mas. Lha wong jadi waria saja masalahnya sudah banyak kok,” ucapnya diiringi senyum tipis.
Waria
memiliki agama. Waria juga menjalankan ibadah seperti pria dan
perempuan. Kalau Islam, ya melaksanakan ibadah sholat, berpuasa,
membayar zakat, dan laku-laku di dalam Agama Islam lainnya. Begitu pun
dengan Jamilah. Ia beragama Islam. Ia menjalankan ibadah sholat, belajar
membaca Alquran, dan belajar ilmu-ilmu agama lainnya di pondok
pesantren ini.
Kegiatan yang digelar di Pondok Pesantren Waria
Al-Fattah Yogyakarta, memberi kontribusi positif terhadap perkembangan
pribadi Jamilah. Ia (dan teman-teman waria lainnya) merasa dihargai dan
diberi kesempatan untuk belajar agama dan peduli kepada sesama waria.
Kegiatan Waria di Pondok Pesantren Waria Al-Fattah Yogyakarta
Selain
sisi agama, pondok pesantren ini juga menggarap sisi sosial, ekonomi,
dan politik. Seperti yang saya katakan di awal, bahwa waria juga
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan manusia lainnya.
Bahkan
saya menemukan, relasi antara satu waria dengan waria lain bisa
dibilang lebih erat. Solidaritasnya dibangun atas azas kekeluargaan. Ya
tentu ada faktor musababnya, diantaranya ada kesamaan perasaan senasib
sepenanggungan, dan juga ada orientasi sama untuk menaikkan status
sosial waria.
Ketika ada salah seorang waria ditimpa musibah,
teman-teman waria lainnya turut berduka mendengarnya. Seringnya tidak
berhenti di situ, dukanya diejawantahkan menjadi laku seperti membesuk,
membantu dengan doa dan materi, serta mengupayakan hal-hal yang memang
bisa diupayakan.
Ketika saya di sana, salah satu teman waria di
daerah Purwakarta mengalami musibah sebagai korban praktik ilegal produk
kecantikan, hingga wajahnya membengkak dan harus masuk rumah sakit.
“Dulunya ia santri di pondok pesantren ini. tapi karena suatu hal, ia
pindah domisili di Purwakarta,” ucap Sinta Ratri dengan tidak
memberitahu namanya.
Keesokan hari, teman-teman waria di pondok
pesantren ini datang ke Purwakarta. Sembari mengusahakan kasus ini
dibawa ke jalur hukum, agar tersangka memperoleh hukuman karena tindak
lakunya.
Di sisi lain, keterampilan dan ragam laku produktif juga
dilakukan waria di pondok pesantren ini. Berbagai ahli di bidang
keterampilan tertentu diundang untuk membekali waria. Salah satunya
bercocok tanam dengan hidroponik. Waria antusias dan banyak yang datang.
Menyimak dan mendengar secara seksama. Mungkin kegiatan bercocok tanam
hidroponik merupakan hal baru.
“Ya semoga dengan banyak kegiatan, termasuk (bercocok tanama
dengan) hidroponik ini bisa memberdayakan waria di pondok pesantren ini
mas,” kata Sinta Ratri. Harap dan asa memberdayakan waria ada pada laku
produktif. Saya rasa memang ada benarnya, sebab streotipe yang berujung
pada diskriminasi waria, salah satunya disebabkan dari profesi waria
yang remeh temeh.
Kalau untuk aktivitas politik, waria di pondok
pesantren ini turut memberikan hak pilihnya ketika pemilu serentak
kemarin, 17 April 2019. Beberapa yang punya ongkos memilih untuk pulang,
memilih dari kampung halaman.
Beberapanya lagi memilih
memberikan hak pilihnya di Yogyakarta dengan bantuan sosialisasi dari
KPU setempat. Dengan memberi hak pilihnya, waria berharap haknya sebagai
manusia bisa dilindungi melalui regulasi.
Begitu cerita waria
dari Yogyakarta. Saya rasa masih banyak hal yang belum ditulis. Begitu
pun tulisan ini hanya mewakili salah satu cerita tentang waria, bukan
seutuhnya. Karena bisa jadi, waria di tempat lain punya kisah unik yang
patut untuk dibagikan. Agar saya, kita, dan masyarakat bisa menghargai
keberadaan waria sebagai salah satu bentuk ciptaan-Nya. Demikian.
Dipublikasikan di qureta.com
pada 18 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar