Musik dangdut di Indonesia sudah mendarah daging. Hampir seluruh
lapisan masyarakat baik di desa maupun kota pernah bersentuhan dengan musik
dangdut. Di kota, dangdut menjelma menjadi semacam kompetisi pencarian bakat. Kita
bisa menyebut itu sebagai upaya proteksi dangdut dari musik-musik K-Pop
(Korea), lagu Barat, atau sejenisnya. Sedangkan di desa, dangdut lebih merasuk
dalam relung masyarakat. Hampir setiap kegiatan, kerja bakti, acara nikahan, kampanye,
sampai dies natalis sekolah, melibatkan musik dangdut.
Sentuhan dengan musik dangdut memang layak untuk dibukukan. Hal ini
berguna untuk melihat sejauh mana musik dangdut dilagukan dan didengarkan oleh
masyarakat. Bisa jadi, musik dangdut malah jadi cambuk untuk giat melakukan
hal-hal yang produktif. Bisa jadi juga, mendengar musik dangdut justru
mengingatkan pada seseorang. Duh!
Saya harus menyebut nama Udji Kayang Aditya Supriyanto dan Bandung
Mawardi sebagai editor salah satu buku tentang musik dangdut. Buku itu diberi
tajuk Goyang Aksara. Tajuk sederhana,
tidak berbelit, tapi membuat penasaran pembaca. Cover memilih gambar bagian
belakang truk, ada lukisan biduan wanita lengkap dengan kalimat ‘Buka Sithik
Joss…! Cover itu boleh dimaknai bahwa musik dangdut lekat dengan pekerja
berat.
Buku ini berisi tujuh belas esai, termasuk dari dua editornya. Keduanya
merangkap jadi kontributor esai di buku ini. Sebagai legitimasi buku dangdut,
buku ini menggaet kerjasama dengan Orkes Melayu Monata—tertulis
di halaman awal. Nama orkes ini sudah akrab di telinga masyarakat, khususnya di
daerah Jawa Timur. Saya sedikit sangsi, karena buku ini tidak memuat satu esai
yang khusus bercerita tentang Orkes Melayu Monata.
Esai-esai di buku ini pun tidak berkutat pada sisi formalisme
dangdut. Tidak ada yang membahas kapan sejarah musik dangdut ada di
Indonesia, bagaimana syarat sahnya sehingga sebuah musik disebut musik
dangdut dan bukan musik dangdut, atau seperti apa pendapat ulama dan
tokoh masyarakat perihal hukum
mendengarkan musik dangdut. Semua
pertanyaan itu tidak ada jawabannya di buku ini. Buku ini justru
menelisik pengalaman
dan pengamatan tiap penulis perihal musik dangdut. Dengan begitu,
pembahasan
musik dangdut malah menyasar ke hampir seluruh lini yang digeluti oleh
masyarakat, mulai dari ekonomi, transportasi, status sosial, identitas,
bahkan
humor yang ternyata juga pernah dimiliki musik
dangdut.
Dua esai dengan judul ‘Berdangdut di (Luar) Kampus’ dan ‘Dangdut,
Mahasiswa, Perlawanan’ menjadi esai pembuka dalam buku ini. Esai yang ingin menggugat
dunia kampus. Musik dangdut yang tidak sepi peminat ternyata belum mampu jadi
daya tarik untuk dikaji dan dijadikan wacana keilmuan. Narasi sejarah maupun
dinamika perkembangan dangdut sering tidak dilirik (hlm. 12) oleh warga kampus.
Dangdut memang bukan selera kaum intelektual.
Musik dangdut justru diapresiasi dan diberi ruang di media, baik online maupun cetak. Relasi keduanya
saling menguntungkan. Media memberi ruang agar dangdut dikenal oleh khalayak
luas, sedangkan dangdut memberi media warna berbeda dengan unsur lokalitas. Dangdut
di media tambah bergairah lagi di era kemudahan akses melalui internet.
Esai ‘Dangdut di Televisi’, ‘Dangdut di Mata Mbah Google’, dan
‘Dangdut: Kitab Suci dan Humor’ mengulas kiprah dangdut di media. Tempo edisi 30 Juni 1984 memberitakan
dangdut dengan diksi menyanjung. Rhoma Irama dinobatkan sebagai Raja Dangdut
Indonesia dengan 15 juta penggemar (hlm. 82). Kepopuleran dangdut tidak mandek
setelah era itu. Google memberi jawaban musik dangdut lebih diminati daripada
musik pop setiap pekannya (hlm. 27). Dangdut berkontribusi, tapi kadang lepas
dari tepuk tangan dan apresiasi.
Namun eksistensi dan moncernya musik dangdut tidak hanya bergantung
pada media dan Rhoma Irama. Musik dangdut melibatkan biduan, pemusik, pakaian
yang dikenakan, lagu yang dibawakan, kolaborasi dengan genre musik lainnya, tak
ketinggalan juga goyangannya. Ragam goyangan diciptakan, mulai goyang ngebor,
goyang gergaji, goyang itik, goyang dumang, dan goyang-goyang lainnya. Selain
untuk daya pikat kepada penikmat, goyang-goyang ini juga mengajak taruhan
perihal citra positif para biduan (hlm. 49-51). Bergoyang bisa membuat biduan
jauh dari diksi saleha. Ulasan ini bisa ditemui di esai ‘Goyang-Goyang Dangdut’.
Konten dengan tema serupa bisa disimak di esai ‘Kelakar Hip Hop Dangdut’, ‘Tiga
Detik Penentu’, dan ‘Menjeda Dangdut’.
Musik dangdut juga tak mengenal tempat. Musik dangdut bisa
mengelabuhi rasa takut, begitu pun bisa juga digunakan untuk merayakan suka
cita. Bukan karena alunan gendang, enaknya lagu, dan moleknya biduan, melainkan
mudahnya menghadirkan musik dangdut (hlm. 55) di tengah-tengah warga tanah air.
Esai ‘Di Bus, Mendoa Sembari Berdangdut’ dan ‘Menikah, Berpesta, Berdangdut’ memberi
informasi bahwa dangdut boleh dinikmati dan didendangkan tanpa merujuk siapa,
kapan, dan di mana.
Tiga esai selanjutnya, ‘Jawa Bergoyang Dangdut’, ‘Dangdut,
Identitas, Kemiskinan’, dan ‘Ikhtiar Dangdut Mengislamkan Jawa’ mengulas musik
dangdut yang tidak hanya sekadar musik,
melainkan musik yang sarat dengan hal-hal tersirat. Merujuk istilah yang
digunakan Rolland Barthes, konotasi musik dangdut (kemungkinan) ada pada tiga
esai ini. Penyelidikannya agak mendalam, meski tidak masuk wilayah ilmiah yang
harus melakukan obervasi dan detail-detail referensi.
Simak pernyataan ini, “Dangdut diposisikan sebagai budaya
rendah. Dalam selera permusikan segregasi itu dimunculkan: dangdut adalah
kampung(an), norak, masyarakat menengah-miskin. Sementara pop dan yang dianggap
mewakili selera tinggi terhormat (budaya elit) adalah jazz, musik yang
sejatinya lahir dari perlawanan orang-orang miskin kulit hitam di Amerika
Serikat” (hlm. 67). Musik dangdut bicara status sosial. Pernyataan itu
perlu diralat. Bahwa musik dangdut didendangkan dan dinikmati oleh kebanyakan
manusia menengah ke bawah, itu iya. Namun itu sifatnya kasuistik, tidak bisa
digeneralisir. Banyak biduan yang kaya, pemain musik dan produser yang tajir,
begitu pun banyak juga penikmat dangdut yang memiliki dompet tebal.
Sedangkan tiga esai penutup, ‘Demam Dangdut’, ‘Dangdut Bercerita
Keluarga’, dan ‘Tercebur Dangdut’ berisi kisah semacam curhatan. Musik dangdut
sudah diakrabi si penulisnya sejak dini. Meski saya yakin si penulis –di masa
lalu- tidak menahu arti musik dangdut dan bertanya-tanya, tapi esai yang
ditulis memaksa menguak memori berkepanjangan dari masa silam.
Begitu konten esai-esai di buku Goyang
Aksara. Tapi sayang, beberapa literatur yang dikutip di tiap-tiap esai
tidak diserat ulang di bagian belakang buku. Begitu pun juga tata letak tiap
paragrafnya tidak rapi. Apa karena tajuk buku menggunakan diksi goyang? Sehingga paragrafnya juga harus
digoyang (tidak rapi). Saya rasa tata letak ini memengaruhi seni membaca. Selain
itu, beberapa esai juga terkesan memaksa untuk jadi. Esai belum menunjukkan
paragraf selesei, tapi sudah dipungkasi.
Selebihnya, buku ini memberi wawasan baru bagi pembaca. Menggugah
keinginan lebih mendalam perihal musik dangdut. Saya rasa, umat Indonesia perlu
bersyukur, dangdut telah tumbuh subur sekaligus bisa menghibur. Musik dangdut
tetap mengajak riang dan berdendang, meski kenyataan kerap mencekik dan
menendang. Demikian.
Dipublikasikan di kurungbuka.com
pada 25 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar