Buku itu terselip di antara sekian buku yang tak beraturan tata
letaknya di rak baca Aula Kantor Desa Titidu, Kwandang, Gorontalo
Utara. Saat momen penataan buku supaya terlihat rapi, mata saya
tertuju pada buku itu. Tubuh buku berdebu. Saya menuduh banyak orang
sudah acuh tak membaca buku itu. Termasuk buku lain di rak baca ini yang
bernasib sama.
Saya penasaran dengan isi bukunya. Dahulu buku itu
saya jumpai bukan versi utuh, lengkap, dan sehat walafiat. Saya
membacanya dalam kondisi yang mengenaskan. Saya hanya membaca
judul di covernya, dan beberapa halaman. Itu pun tidak runtut. Baunya
pun amis, sebab buku itu disobek dan difungsikan sebagai pembungkus ikan
asap.
Saya kecil tidak pernah berurusan dengan siapa penulis
buku itu, kapan terbit, di mana lokasi penerbit, dan seabrek hal-hal
yang berurusan dengan penerbitan. Bagi saya kecil, membaca dari kertas
bekas pembungkus ikan asap adalah perbuatan mengisi waktu luang. Waktu
luang di antara waktu bermain, belajar formal di sekolah, dan mengaji.
Masuk
dunia perkuliahan, sempat tebersit niat untuk membeli dan mengkhatamkan
buku itu. Terlebih saya mengais ilmu di kota yang akses untuk mencari
buku lebih mudah dan murah.
Tapi ternyata itu hanya berhenti di
niat. Berbagai rutinitas di kampus, di asrama, dan waktu tidur telah
berhasil menjegal saya untuk mengkhatamkan buku itu.
Hal itu belum
diakumulasi dengan banyaknya judul buku terbaru yang diperjualbelikan
di banyak toko buku. Tentunya dengan varian cerita lebih bagus,
kata-katanya lebih puitik, dan mencerminkan kondisi yang hari ini sedang
hangat dijadikan obrolan. Akhirnya cita-cita untuk membaca buku itu perlahan-lahan mulai pudar. Bahkan saya sempat lupa tidak mengingat judul bukunya.
Buku
itu memiliki warna cover kuning tua. Di bagian depan, gambar wajah
perempuan dengan mimik muka nestapa dipilih untuk memikat pembaca.
Gambar yang diharapkan bisa mencerminkan isi cerita buku. Sedangkan di
belakang, ada sketsa gelap Rumah Tradisional Padang. Kedua bagian bisa
dimaknai sebagai cerita nestapa dari tanah Padang.
Mata saya
terperanjat saat membaca nama Marah Rusli ada di buku itu sebagai
penulisnya. Buku yang selama ini mengundang tanya, akhirnya bisa saya
baca. Sebab banyak orang membuat olok-olokan judul buku itu tanpa pernah
membaca utuh cerita sastra novelnya. Ya, Sitti Nurbaya; Kasih Tak Sampai
judul buku itu. Nama yang akrab di telinga warga Indonesia. Nama yang
menjadi pengingat saat ada perempuan dipaksa menikah oleh kedua orang
tuanya dengan sistem perjodohan paksa.
Buku ini dicetak pertama di tahun 1922. Mungkin sebelum tahun itu, buku Sitti Nurabaya
sudah ada dalam rencana dan tahapan untuk diserat oleh penulisnya. Saya
sendiri membaca buku pada cetakan keempat puluh tujuh di tahun 2010.
Buku yang melewati beberapa momen penting di Indonesia.
Perempuan Nestapa
Buku
ini menceritakan cinta versi duka. Rasa yang telah sampai dan dijawab,
tapi tidak pernah berujung pada kenyataan untuk hidup bersama. Upaya
Samsulbahri dan doa yang dipanjatkan oleh Sitti Nurbaya dipaksa kalah
oleh kelicikan Datuk Meringgih.
Meski begitu, keduanya masih
menyimpan rasa dan harapan untuk bersama. Toh jika di dunia tidak bisa,
di kehidupan lain mungkin bisa. Cerita romantis yang tidak mungkin
ditiru oleh remaja hari ini.
Selain nestapa cerita keduanya yang
banyak menyedot perhatian, ada juga persengketaan perihal adat. Beberapa
momen menyiratkan pesan bahwa adat yang kurang layak perlu ditinggal,
atau dijadikan monumen sejarah yang patut diceritakan tanpa harus
dilakukan.
Misalnya perihal punya istri lebih dari satu. Coba simak, “Pada
pikiranku, hanya hewan yang banyak bininya, manusia tidak,” jawab Sutan
Mahmud dengan merah mukanya, “kalau perempuan tak boleh bersuami dua
tiga, tentu tak harus laki-laki beristri banyak.” (hlm. 19)
Pernyataan
tersebut juga mengandung upaya untuk menaikkan derajat perempuan.
Pesan-pesan serupa bisa ditemui hampir di tiap-tiap bab di buku ini.
Perempuan bukan milik pria. Bahwa pernikahan menjadi pengikat resmi
keduanya, itu iya. Tapi tetap saja hak perempuan sebagai manusia tidak
salah untuk ditagih.
Mungkin posisi perempuan pada saat pembuatan
novel ini memang begitu kondisinya. Perempuan diikat, tidak hanya
fisiknya, melainkan juga pikiran dan sikapnya disesuaikan dengan adat
yang berlaku.
Di Jawa, sosok Raden Ajeng Kartini menjadi pelaku
serupa. Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan terhalangi oleh
tradisi pingit di Jawa. Perempuan belum boleh maju pada saat itu.
Perempuan dibelenggu adat dan dilegitimasi tafsir agama yang kurang pas.
Surat Rindu Bersyair
Ada juga bagian
surat-menyurat yang menjadi media berkabar rindu di masa itu. Media
pengantar rindu yang sederhana dan banyak menyumbang momen suka duka di
masa lalu harus pupus di hari ini. Mungkin karena media lebih mudah,
rindu pun hampir punah dari sifat berlimpah ruah.
Orang dahulu
mungkin tidak pernah membayangkan rindu bisa sampai dalam hitungan
detik. Sebab menyerat, pergi ke kantor pos, dan megocek beberapa rupiah
memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, dan itu bisa menjadi
pengorbanan untuk merampungkan rindu.
Samsulbahri dan Sitti
Nurbaya juga berkabar rindu dengan surat. Keduanya saling balas. Syair
menjadi penghias dan pembeda dari surat resmi milik pemerintah. Saya pun
luput menangkap beberapa maksud syair yang ditulis. Tapi ada juga yang
saya pahami dengan dangkal seperti halnya syair di bawah ini,
Jauh malam hampirkan siang,
Mataku tidak hendak melayang,
Di ruang mata adik, terbayang,
Hati dan jantung rasa bergoyang. (hlm. 125)
Mataku tidak hendak melayang,
Di ruang mata adik, terbayang,
Hati dan jantung rasa bergoyang. (hlm. 125)
Saya
hanya bisa menangkap bahwa Samsulbahri di syair itu menaruh rindu pada
Sitti Nurbaya. Tidak berlebihan jika diukur dari luapan cinta seorang
remaja yang jarang bertatap muka. Rindu keduanya yang terus menunggu.
Surat
membawa rindu, surat juga yang mengabarkan duka asmara. Sitti Nurbaya
memaksa menulis, memberi kabar bahwa dirinya sudah jatuh pada pelukan
Datuk Meringgih dengan muslihatnya.
Wajar jika Samsulbahri murka
dan menuntut maaf sesal dari Datuk Meringgih. Tapi Marah Rusli tidak
pernah menggiring cerita seperti itu terjadi, justru semua tokoh
utamanya harus mati dengan membawa harapnya masing-masing.
Tapi
begini, seperti yang saya sebut di paragraf awal, bahwa memaksa menikah
dengan sistem jodoh atau sebab lain selalu dialamatkan pada Sitti
Nurbaya. Ucapan ,”kayak jamannya Sitti Nurbaya saja. Menikah kok dijodohkan, dipaksa-paksa.” Ucapan simbol perjodohan dan kawin paksa yang berbeda dengan cerita di sastra novelnya, menurut saya.
Tatkala
kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat
yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan
tiada kuketahui, keluarlah aku, lalu berteriak , ‘Jangan dipenjarakan
ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Meringgih!’ (hlm. 151).
Narasi
dengan imajinasi keputusasaan Sitti Nurbaya agar ayahnya, Baginda
Sulaiman, tidak dihukum. Narasi pernikahan bukan lantaran perjodohan
atau pemaksaan, tapi karena muslihat Datuk Meringgih.
Meski cerita
utuh tentang Sitti Nurbaya sudah banyak yang lupa. Begitu pun
pengkritik dan penyanjung ceritanya juga tidak sedikit, tapi saya rasa
tetap perlu mendapat apresiasi dan tepuk tangan dari generasi yang
datang belakangan. Bahwa alurnya sederhana, itu iya. Tapi masih ada
banyak nilai-nilai yang relevan untuk direnungkan ulang.
“Jangan-jangan hari ini masih berkutat pada problem yang sama?”
- Judul: Sitti Nurbaya; Kasih Tak Sampai
- Penulis: Marah Rusli
- Penerbit: Balai Pustaka
- Cetakan: ke-47, 2010
- Halaman: xvii, 364 halaman
- ISBN: 979-407-167-6
Dipublikasikan di qureta.com
pada 02 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar