Perdebatan manusia Jawa yang beragama Islam sudah berlangsung sejak
lama. Perdebatan ini dipicu oleh pertanyaan apakah agama Islam yang
dianut oleh manusia Jawa benar-benar agama Islam yang autentik? Atau,
laku keberislaman manusia Jawa merupakan warisan dari agama-agama yang
datang sebelumnya? Kedua pertanyaan ini santer terlihat ketika kita
membaca buku-buku yang membahas persoalan Jawa dan Islam.
Termasuk buku yang ditulis oleh Irfan Afifi dengan tajuk Saya, Jawa, dan Islam
ini. Meski bisa dibilang buku ini datangnya belakangan, namun
pembahasan yang terdapat di dalamnya juga memiliki kedalaman refleksi
dan ketajaman analisis. Buku ini memuat empat belas esai dengan tiga
pembagian. Pembagian tidak diberi sub-tema, tapi kita bisa menafsirkan
bahwa pembagian ini didasarkan pada kesamaan topik yang diangkat.
Pada
bagian pertama hanya terdapat satu esai yang sekaligus digunakan
sebagai tajuk buku. Esai ini membahas perjalanan Irfan Afifi dalam
menemukan jati dirinya. Kegelisahannya untuk menemukan jati dirinya ini
tidak muncul begitu saja. Ia disadarkan dari pertemuan dengan Paryono,
seorang tukang urut yang memberinya pitutur untuk melakoni hidup yang
seharusnya. Pertemuan sederhana itu bisa dikatakan menjadi kilas balik
bagi Irfan Afifi untuk menemukan jawaban atas kegelisahannya mencari
jati diri sebagai manusia Jawa yang beragama Islam.
Akumulasi
memori kolektif Irfan Afifi kecil yang hidup dan besar dari kultur laku
keberislaman di desa, dan sederet pengetahuan yang diperolehnya dari
bangku perkuliahan ternyata belum cukup untuk menemukan jawaban dari
kegelisahannya tersebut. Pencarian jati diri dilanjutkan dengan membaca
buku babon yang banyak dijadikan rujukan untuk mendefinisikan manusia
Jawa yang beragama Islam, sebut saja buku History of Indian Archipelago karya Crawfurd dan History of Java
dari Rafles. Kedua buku ini secara mengejutkan menghadapkan Jawa dan
Islam sebagai "musuh". Sederhananya, manusia Jawa yang beragama Islam
itu Islamnya tidak autentik karena sudah campur dengan tradisi yang
dibawa oleh agama-agama sebelumnya.
Usai banyak buku pembanding
yang dikhatamkan, Irfan Afifi menafsirkan bahwa Jawa dan Islam yang
dihadapkan sebagai musuh merupakan konstruk untuk memuluskan upaya
kolonialisme di Indonesia. Hanya saja yang disayangkan, ternyata masih
banyak generasi yang datang belakangan tidak menyadari hal tersebut.
Alih-alih mengkritik dan menelusurinya, justru kedua buku di atas malah
banyak diamini dengan dikutip di berbagai diskusi dan tulisan ilmiah.
Sedangkan
di bagian kedua, ada enam esai dengan dua benang merah. Tiga esai
pertama membahas perihal ilmu dengan segala sumber dan orientasinya.
Sedangkan tiga esai selanjutnya menguraikan cara untuk
mengaktualisasikan ilmu tersebut dengan mengangkat subjek sebagai
contoh.
Kalimat sangkan paraning dumadi acap digunakan
sebagai pengingat bahwa manusia ada dan akan kembali kepada-Nya. Kalimat
ini juga menunjukkan eksistensi manusia di bumi tidak lebih hanya
sekadar makhluk. Sehingga hawa nafsu dengan segala jenisnya harus bisa
ditekan dan dikendalikan menggunakan ilmu. Merujuk pada Serat Wedhatama,
manusia Jawa memiliki rumusan ilmu yang tidak cukup hanya untuk ilmu,
tapi ilmu yang berorientasi untuk memperbaiki kualitas manusia.
Dalam
konteks hari ini, banyak kita temui manusia yang berilmu dengan sederet
gelar dan buku yang telah dikhatamkan, tapi kualitasnya sebagai manusia
seringkali masih dipertanyakan. Sebab ilmunya tidak berbanding lurus
dengan lakunya di kehidupan sehari-hari. Misalnya, bisa mengkhatamkan
satu buku babon tentang teori filsafat eksistensialis, tapi senangnya
mengjustifikasi kesalehan orang lain dengan dalil yang lemah. Menyandang
gelar magister, tapi melakukan eksploitasi tiada henti. Padahal ngelmu iku kelakone kanthi laku --ilmu itu didapat dari laku, kemudian didarmakan kepada sesama dan semesta agar bisa mencapai kebahagiaan sejati.
Suryomentaram
misalnya. Kepandaian dan status sosialnya yang mentereng justru
membuatnya gelisah, karena tidak bertemu dengan manusia di antara
kerumunan. Kegelisahan yang mungkin jarang dirasakan oleh orang-orang
pada masanya dan masa sekarang. Sehingga ia memilih untuk meninggalkan
fasilitas mewah yang disediakan oleh kerajaan, kehendak yang mesti
terkabul dengan sekali tunjuk, dan menanggalkan statusnya sebagai
pangeran agar bisa berbaur dan menjadi masyarakat biasa. Selain
Suryomentaram, buku ini juga mengangkat Empu Supa dan perempuan Jawa
sebagai prototipenya.
Adapun pada bagian ketiga memuat tujuh esai
dengan tiga benang merah. Pergulatan budaya Jawa dengan agama Islam
mewarnai dua esai pertama. Budaya sebagai piranti untuk mendakwahkan
agama Islam justru dikritik karena bisa berpengaruh terhadap
keautentikan ajaran agama Islam. Padahal para wali terdahulu melalui
kebudayaan masyarakat setempat berhasil mendistribusikan dan
mengkompromikan ajaran agama Islam sehingga bisa diterima. Budaya
menjadi bagian integral dalam agama Islam, bukan sebagai musuh yang
harus diperangi kemudian diganti dengan jubah dan jenggot panjang.
Jeritan
petani yang dirampas tanahnya mengisi dua esai selanjutnya. Profesi
yang terus-menerus ditekan kesejahteraannya, tapi diwajibkan untuk
memberi pangan terbaik di negeri ini berulang kali dihadapkan pada
realitas tragis dan tangis. Menilik sejarah masa lalu, petani digencet
terus-menerus oleh kolonial sampai sesak bernapas. Pemberontakan demi
pemberontakan tidak berhasil membebaskan dari cengkeraman, justru beban
yang ditimpakan oleh kolonial kepada petani semakin membuatnya melarat.
Meski
kolonial sudah pergi puluhan tahun lalu, kondisi petani sekarang tetap
berada pada garis kemelaratan. Petani di Kendeng oleh buku ini dijadikan
prototipe kehidupan petani yang kurang beruntung. Tanah mereka digusur
atas nama pembangunan. Petani sudah kalah, tapi disuruh mengalah sampai
akhirnya hanya bisa pasrah terhadap realitas yang semakin tidak berpihak
padanya.
Kemudian tiga esai terakhir menyoal agama Jawa yang sering disalahpahami bukan sebagai agama Islam. Padahal jika menilik Serat Centhini, ada banyak bagian yang relevan dengan ajaran agama Islam, salah satunya soal wahdatul wujud.
Mungkin serat ini menjadi semacam indikasi bahwa agama Islam yang masuk
dan berkembang pesat di masa itu --di tanah Jawa utamanya-- adalah
versi tasawufnya, bukan fiqh. Sehingga banyak budaya setempat yang bisa diakomodasi, asalkan memiliki orientasi kepada-Nya.
Seperti
yang saya sebut di paragraf awal, perdebatan agama Islam di Jawa selalu
menyasar soal autentisitas ajarannya. Para orientalis terdahulu juga
memberi justifikasi bahwa keberislaman orang Jawa sudah terkontaminasi
dengan adat lokal dan budaya Hindu. Mereka menyebutnya sebagai muslim
yang hanya ada pada permukaan. Namun sayangnya, pendapat ini keburu
dijustifikasi tanpa ada pembahasan yang mendalam soal agama Islam di
Jawa.
Demikian, buku ini bisa menjadi representasi dari ihwal
keberislaman manusia Jawa yang sedikit banyak mulai terabaikan. Bukan
karena kesulitan untuk mencari datanya, namun meramunya tidak cukup
hanya dengan logika, tapi juga perlu olah rasa. Mengutip bagian Purwaka
(pembuka), Irfan Afifi mengatakan, buku ini mungkin sejumput makna
yang saya ambil di tengah aliran arus perjalanan sungai yang masih saja
terus-menerus mengalir itu. Iya, buku yang mungkin pembahasannya tidak akan bertemu dengan kata 'khatam'.
Dipublikasikan di detiknews.com
pada 02 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar