Perbaikan
akhlak menjadi misi prioritas yang diemban Nabi Muhammad dalam
menjalankan dakwahnya. Masa lalu, sebelum Nabi Muhammad lahir, tanah
Arab dipenuhi laku yang tidak beretika. Bayi perempuan dibunuh,
perempuan disamakan dengan properti, perkelahian antar suku yang tidak
pernah usai, dan seabrek etika yang tidak berperikemanusiaan. Tapi tidak
menafikan juga, bahwa peradabannya pada masa itu sudah lumayan maju.
Perdagangan
lintas geografis, pengaruh Persia dan Romawi, sekaligus kompetisi
sastra menjadi bukti peradaban maju orang-orang Arab. Nabi
Muhammad lahir, suka cita menyelimuti tanah Arab. Nabi tumbuh menjadi
pribadi baik, kesucian dirinya dijaga oleh-Nya. Laku kesehariannya tidak
luput dari kebaikan-kebaikan. Sampai masuk usia dewasa, Nabi memperoleh
tugas mendakwahkan Agama Islam keseluruh umat manusia. Meski di awal
ada pertentangan, dianggap gila, didiskriminasi, bahkan sampai ada
ancaman dibunuh, itu semua tidak menyurutkan keteguhannya untuk
membumikan ajaran Agama Islam. Akhirnya ajaran Agama Islam bisa
diterima.
Begitulah,
kisah perjuangan Nabi Muhammad di masa itu. Kini Agama Islam sudah
menyebar sampai ke Indonesia. Sudah barang tentu, situasi dan kondisinya
sudah berbeda di tanah Arab. Secara pola saya rasa hampir sama, Agama
Islam berkolaborasi dengan budaya lokal yang sedang berkembang. Ya
argumennya mudah, Agama Islam jadi agama terakhir, panduan sampai akhir
zaman. Sudah barang tentu, Agama Islam mesti relevan dengan perkembangan
zaman, sesuai konteks dan kontekstualisasinya.
Dua Wajah Islam
Meski
begitu, Agama Islam di Indonesia selalu muncul dengan dua wajah. Wajah
kaku dan wajah akomodatif. Wajah kaku ya seluruhnya dipukul rata sesuai
pemahaman Agama Islam yang mereka anggap otentik. Sedang wajah
akomodatif tidak seperti itu, tiap unsur dilihat terlebih dahulu ada
tidak yang bersinggungan dengan ajaran Agama Islam. Jika ada ya
syakurlah, jika belum ada, ya dibenahi. Dilihat dulu, posisi mana yang
belum sesuai, tidak lantas sepenuhnya ditolak hanya karena ada unsur
kecil yang tidak sama dengan ajaran Agama Islam.
Nah, wajah kaku ini sering menjadi musabab konflik di Indonesia. Mereka ingin semuanya menganut Agama Islam versinya.
Padahal Indonesia berbhineka. Begitupun Islam diturunkan orientasinya
tidak lain untuk membenahi akhlak manusia. Islam ‘harusnya’ tidak kaku.
Hadirnya buku “Islam Yang Menyenangkan; Etika Kemanusiaan sebagai Puncak
Keimanan dan Keislaman” saya rasa menjadi kritik pembuka Islam wajah
kaku ini.
“Islam
yang mestinya selalu sejuk, teduh, dan murah senyum kepada siapa pun,
termasuk umat beda agama, dalam keadaan yang makin murung ini, jelas
sangat membutuhkan perhatian lebih dari semua kita, untuk mengembalikan
kepada khittah-nya”. Begitu tulis Edi AH Iyubenu di kata pengantar buku
ini.
Berawal
dari klaim kebenaran mutlak, Agama Islam menjadi tertutup. Buku ini
memberi istilah berhala wacana (hlm. 26). Wacana-wacana keislaman yang
dibuat oleh manusia yang datangnya jauh setelah Nabi wafat dianggap
paling otentik, paling benar dari sekian wacana terdahulu yang pernah
ada. Padahal wacana Islam selalu berbeda, saling melengkapi sekaligus
berkembang tiap waktu dan tiap tempatnya. Wacana Islam tidak stagnan,
juga tidak setertutup itu.
Dampak
dari ini cukup mengkhawatirkan. Kesannya ajaran Agama Islam dikenal
dengan kasar, kaku, keras, tanpa kompromi (hlm. 29). Label bid’ah,
sesat, kafir, musuh Islam, dan semacamnya sangat mudah disematkan pada
manusia yang tidak sepemahaman dengan mereka. Di Indonesia, pengamalan
ajaran Islam yang seperti ini bisa merusak persatuan kesatuan bangsa.
Bisa membuat anak bangsa berseteru, berkelahi baik perasaan, pikiran,
lisan, atau bahkan fisik.
Islam yang Luwes
Di
buku ini, si penulis memberi contoh panjang tentang kasus seteru ini.
Perayaan Natal tiap bulan Desember selalu dibarengi dengan fatwa haram
dan halal perihal mengucapkan selamat Natal (hlm. 80). Kalau ada umat
Islam yang mengucapkan selamat Natal, dicap haram, kafir, dan
semacamnya. Padahal keduanya punya dasarnya masing-masing. Lantas kenapa
harus berseteru? Ya itu tadi, ada satu pihak mengklaim wacana Islam
yang diperolehnya mengandung kebenaran mutlak.
Terus bagaimana agar wajah Islam tidak tampil dengan versi kakunya? Bagaimana Agama Islam agar terlihat
wajah sejuknya, menyapa tiap manusia dan semesta dengan keramahannya?
Bukankah rahmatan lil ‘alamin itu luwes. Lantas mengapa Agama Islam kita
belum bisa luwes?
Laku
pertama agar bisa luwes, ya harus sadar dulu bahwa tiap agama yang ada
di bumi ini, selalu memiliki orientasi kebaikan dan mencegah keburukan
(hlm. 140). Tidak hanya Islam yang memiliki nilai-nilai kebaikan, agama
lain pun juga sama. Kesadaran seperti ini, bisa dimulai dari pengertian
bahwa berbeda itu pasti. Saya rasa, pemahaman ini cocok untuk iklim
relasi umat beragama yang ada di Indonesia.
Penulis
mengingatkan pembaca, “dalam konteks kebangsaan kita yang majemuk,
sudah sepatutnya semua kita tidak menajamkan dikotomi kita dan mereka”.
Karena maju mundurnya bangsa tidak bergantung pada kelompok apalagi
individu, namun relasi kooperatif semua pihak yang memiliki komitmen
untuk memajukan bangsa. Klaim kebenaran mutlak, pelabelan sesat, cara
berfikir sempit dan menonjolkan kepentingan sendiri saya rasa harus
segera dilebur.
Nabi sendiri telah memberi contoh melalui Piagam Madinah sebagai
konsensus bersama. Agama Islam bisa bersanding dengan banyak suku tanpa
harus mengislamkan mereka semua, tanpa juga memberi label sesat, kafir,
dan semacamnya. Kita bisa meneladani itu semua melalui ejawantah untuk
menjaga marwah Pancasila sebagai konsensus bersama.
Buku ini banyak memberi contoh laku Agama Islam yang luwes. Perumpamaan-perumpaan yang digunakan pun memudahkan pembaca untuk paham
maksud pesan yang disampaikan. Namun jangan beranggapan bahwa setelah
membaca buku ini, kita merasa yang paling islami, Islamnya paling luwes.
Buku ini hanya secuil dari khazanah keilmuan Agama Islam diantara
buku-buku yang lain.
Dengan
begitu, penganut Agama Islam lebih terbuka dan bersahabat. Karena mau
belajar lebih jauh lagi. Ejawantahnya pun akhirnya bisa menjabat erat
siapapun, baik muslim maupun pemeluk agama lain. Terakhir, sebagai
penutup, saya mengutip nasehat Maulana Jalaludin Rumi yang ditulis juga
di dalam buku ini sebagai bahan renungan, “kemarin aku pintar, maka aku
berupaya mengubah dunia. Hari ini aku bijaksana, maka aku berupaya
mengubah diriku sendiri”. Demikian.
Dipublikasikan di harakatuna.com
pada 21 Desember 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar