Narasi Islam hari ini banyak didominasi oleh perilaku keras dan
kasar. Mimbar-mimbar ceramah dan tulisan banyak memuat diksi-diksi yang
tidak ramah dengan keragaman dan perbedaan. Sebut saja diksi kafir,
halal-haram dan surga-neraka jamak kita temui di mana-mana. Belum lagi
tindak teroris yang banyak memakan korban jiwa dan merusak sejumlah
fasilitas publik. Saya rasa pada titik ini, ucapan Gus Dur beberapa
tahun lalu perlu dirumuskan ulang sebagai laku alternatif berislam,
bahwa kita membutuhkan Islam yang ramah, bukan Islam marah.
Dalam sejarah Islam, nama Abu Nawas dan Nasrudin Hoja bisa menjadi
prototipe Islam yang ramah. Ide-ide cerdasnya dalam menyikapi sebuah
masalah kerap membuat geleng-geleng kepala dan mengundang tawa
terbahak-bahak. Sehingga tidak ada pihak yang merasa dihakimi dan
disalahkan. MY Arafat melalui bukunya “Islam Jenaka Mbah Nyut;
Kisah-Kisah Sesat Sang Wali Khutuk” ingin merekonstruksi ulang
apa yang telah dilakukan oleh Abu Nawas dan Nasrudin Hoja di masa silam.
Bahwa tertawa dalam menyikapi masalah itu tidak salah. Tidak juga harus
menghakimi dan mengutuk benar-salah dengan dasar dalil yang tafsirannya
sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Buku ini memuat lima puluh cerita dengan ragam topik yang
dibicarakan, mulai dari kehidupan sehari-hari, persoalan agama, politik,
kebudayaan, sampai merespon problem-problem aktual dengan sudut
tawanya. Mbah Nyut didapuk sebagai tokoh sentral dalam setiap cerita.
Merujuk pengantar yang ditulis oleh MY Arafat sendiri, Mbah Nyut
merupakan penulis novel dan buku sufi berjudul Akulah Debu di Jalan
al-Musthafa. Kehidupan Mbah Nyut di laman facebook yang kerap mengundang tawa itu, berbanding terbalik dengan kehidupan nyata yang senyumnya saja bisa dihitung jari (hlm. xvi).
Sejak tajuk ceritanya saja kita sudah dibuat tertawa. Sebut saja
kentut, revolusi berak, suntik tetanus, sambel, dan seabrek tajuk-tajuk
lainnya yang tidak lazim ditemui di buku-buku lain bisa ditemukan di
buku ini. Saya menuduh pemilihan tajuk bukan karena ngawur, tapi lebih
kepada daya kreatif si penulisnya sehingga siapa pun yang hendak membaca
sudah penasaran dari membaca tajuknya.
Meskipun seperti itu, buku ini tetap memiliki benang merah yang
menghubungkan satu cerita ke cerita lainnya. Pertama, cerita-cerita yang
diproduksi memuat ideologi Islam ramah. Seperti yang saya katakan di
awal, bahwa wajah Islam hari ini didominasi oleh wajah marahnya. Pada
titik itu, saya rasa memang perlu untuk memberi alternatif laku
keberislaman yang tidak melulu menyalahkan orang lain di luar
afiliasinya. Sebab Islam datang untuk mengakomodir seluruh kehidupan
manusia sampai akhir zaman, yang baik terus diperbaiki dan yang kurang
baik diupayakan untuk baik.
Prototipe kasus ini bisa dilihat sejak cerita pertama. Mbah Nyut yang
sedang melaksanakan salat berjamaah di masjid sebagai makmum dengan
tidak sengaja kentut. Anak kecil yang berada di kanan-kirinya terus
menuding dan mengatakan salat Mbah Nyut batal, tidak boleh diteruskan.
Bahkan beberapa jamaah yang mengetahui dan belum memulai salatnya juga
melakukan hal serupa. Karena tidak betah, Mbah Nyut pun menjawab tuduhan
itu, “batal salat itu kan untuk orang yang wudhu. Lha saya tadi tidak
wudhu kok, ya tidak batal” (hlm. 3).
Kedua, cerita-cerita yang dimuat di buku ini lazim ditemui di
kehidupan sehari-hari. Tidak ada konten dan teori yang berat, apalagi
sampai mengerutkan kening saat membacanya. Bahkan pada tataran tertentu,
ceritanya mewakili suara orang awam yang baru atau sedang belajar Agama
Islam. Bahwa Agama Islam memudahkan umatnya dalam segala hal di
tunjukkan di setiap cerita-cerita di buku ini.
Kasus ini bisa didapati di antaranya di tajuk ‘Menjadi Manusia’.
Ceritanya, salah satu santri Mbah Nyut ada yang mengadu soal salat subuh
yang jarang tepat waktu. Bahkan ketika menginap di rumahnya, santri
tersebut tidak dibangunkan oleh Mbah Nyut saat adzan subuh berkumandang.
Mendengar aduan tersebut, Mbah Nyut meresponnya dengan santai. “Tidak
mungkin ada manusia yang mengerjakan dua pekerjaan dalam satu waktu.
Sama halnya belum pernah ada manusia yang tidur tapi di waktu bersamaan
melakukan salat” (hlm. 42).
Dan terakhir, cerita-ceritanya sarat dengan hikmah, meski di satu
sisi diksi-diksi berbau porno dan ngawur yang diproduksi penulisnya
sendiri bersliweran di setiap cerita. Kalau tidak jeli, cerita di buku
ini hanya ditemui hikmah ketidakseriusan. Padahal saya rasa ada pesan
tersirat yang bisa membuat orang memiliki pengetahuan alternatif
terhadap persoalan yang sedang dihadapinya.
Simak salah satu cerita berikut, suatu ketika Mbah Nyut protes soal
cuti. Perempuan diperbolehkan mengambil cuti hamil, mulai mengandung
sampai melahirkan yang durasi waktunya sampai dua bulan. Mbah Nyut
protes kepada atasanya, bahwa pria juga selayaknya mendapatkan cuti
menghamili (hlm. 127). Cerita ini bukan beralamat pada persoalan gender
atau yang lain, tapi Mbah Nyut ingin menyindir realitas yang lazim
ditemui hari ini bahwa manusia cenderung memiliki sifat iri, bahkan soal
cuti yang didapati oleh perempuan hamil.
Cerita-cerita lainnya juga bisa diidentifikasi melalui tiga ciri
tersebut. Hanya saja kadar tawa dari setiap cerita berbeda. Ada yang
keterlaluan sampai membuat cekikian, bahkan ada cerita membuat yang heran tak berkesudahan sambil berguman, “ada-ada saja”.
Tapi buku ini hadir bukan dengan salah dan khilaf. Buku ini juga
tidak menjamin pembacanya tertawa usai khatam membacanya, tidak pula
melembutkan hati dan pikiran yang sudah sedari awal berkiblat kepada
afiliasi Islam yang kaku dan mahal untuk tersenyum. Buku ini tepat jika
menjadi pelampiasan dari rasa jenuh untuk menyikapi problem yang selalu
berdasar pada “mana dalilnya?”.
Dengan begitu, menjadi manusia memang tidak melulu harus berfikir dan
berorientasi untuk mengubah dunia agar menjadi lebih baik. Kadang juga
perlu tertawa dan menertawai diri sendiri(hlm. xv). Dengan begitu,
menjalani hidup sebagai muslim bisa menebarkan energi positif melalui
tawa yang ramah. Demikian.
Dipublikasikan di Balai Litbang Agama Jakarta
04 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar