Sebagai ruang publik, warung kopi bisa menampung banyak orang. Orang
datang, pesan makanan atau minuman tidak harus kopi, duduk, kemudian
dilanjutkan dengan mengobrol atau main game. Termasuk juga kedatangan orang-orang dengan pemikiran yang berbeda. Warung kopi terlalu berbaik hati untuk soal terakhir ini.
Malam itu saya ngopi bersama teman, di belakang kampus IAIN
Tulungagung. Kampus yang sebentar lagi akan berubah dari institut
menjadi universitas. Masyarakat Tulungagung wajib berbangga menyambut
kabar gembira ini.
Kami berdua sedari habis magrib sudah nongkrong di warung kopi itu.
Ngobrol beragam topik, mulai dari ilmu, guru, kyai dan habib, teknologi,
sampai pada persoalan perempuan yang menjadi istri. Belakangan saya
baru membuktikan bahwa teori konstruksi gender yang dijelaskan panjang
lebar dalam perkuliahan, baru saya temukan malam itu. Tidak lain
pelakunya adalah teman saya sendiri. Sebut saja namanya Maden.
“Perempuan itu harus nurut laki-laki, karena laki-laki itu sebagai
imam. Jangan ngasih kebebasan yang banyak pada perempuan. Soalnya kalau
dikasih kebebasan yang banyak, mereka itu ibarat udah dikasih ati ngrogoh rempela,” ucapnya dengan nada menasehati.
Saya pun awalnya hanya membalikkan ucapan Maden dengan pertanyaan.
Terus bagaimana dengan laki-laki yang dikasih kebebasan? Maden justru
mengamini itu. Kebebasan bagi laki-laki adalah keharusan. Sebab
laki-laki bekerja dan bekerja itu harus dikasih kebebasan.
Gugatan saya beralih pada persoalan kedua soal imam di keluarga itu
harus laki-laki. Saya tanya kenapa harus demikian? Maden menjawab bahwa
kehidupan di keluarga merupakan prototipe manusia yang menjalankan salat
berjamaah. Imamnya laki-laki dan makmumnya boleh laki-laki atau
perempuan. Setiap gerakan imam harus diikuti makmum. Maka istri di
keluarga harus nurut, sendiko dhawuh pada apa yang dikatakan
oleh suaminya. Membantah berati masuk neraka. Padahal imam dalam konteks
ibadah dengan sosial tidak mesti sama.
Jelas pemikiran seperti ini mendurhakai mata kuliah gender yang
selama satu semester saya ikuti (meski tidak paham seratus persen)
sekaligus membodohi dua buku yang saya baca tentang persoalan gender.
Pertama buku Ibu Inayah Rohmaniyah tentang Gender dan Konstruksi Partiaki dalam Tafsir Agama, serta kedua buku Mbak Kalis Mardiasih tentang Muslimah yang Diperdebatkan.
Kedua buku itu sederhananya menegaskan bahwa perempuan adalah manusia
yang memiliki hak untuk diperlakuan sama dengan laki-laki dalam konteks
kehidupan bermasyarakat.
Saya sudah gemes. Rasanya ingin menempeleng sekuat tenaga. Tapi ini saatnya diskusi, bukan tinju di atas ring.
Saya pun menyodorkan sebuah persoalan. Berandai-andai jika kelak ia
mendapatkan istri seorang wanita karier. Pekerjaannya berpenghasilan
tinggi dan tuntutan kerjanya berat. Sementara ia sendiri di rumah, tidak
kerja. Kebetulan juga sudah punya momongan, balita. “Lantas bagaimana
kamu menyikapi persoalan seperti ini?” tanya saya.
Dengan santai Maden menjawab bahwa kewajiban itu harus tetap
dilakukan. Mencari nafkah bagi istri tidak wajib, yang wajib adalah
menyapu, bersih-bersih rumah, mencuci pakaian, menyediakan makanan
suaminya, memberi pelayanan jasmani dan batin suaminya. Kalaupun istri
memiliki karier yang mentereng di publik, pekerjaan domestik juga tetap
menjadi kewajibannya.
Maden memberi contoh dengan kilas balik kehidupan masyarakat Jawa
masa lampau. Menurutnya, suami harus dihormati dan dimulyakan oleh
istrinya. Meski suaminya berbuat buruk sekalipun, istri harus tetap
menghormatinya.
Konstruksi pemikiran seperti ini saya rasa sangat berbahaya bagi
keberlangsungan kehidupan yang harmonis sebuah keluarga. Seorang istri
tidak ubahnya dianggap seperti mesin biologis. Keberadaannya dibutuhkan
bukan untuk membangun relasi yang komplementer, tapi relasi kekuasaan
yang vertikal. Sebab, suami seolah berhak atas segala jasmani dan batin
istri. Sementara istri hanya punya kewajiban, tanpa ada hak yang harus
dipenuhi.
Beruntung Maden tidak bertemu dengan teman-teman dari paham sebelah yang mengamini poligami dengan berbagai bujuk rayunya. Bermodal pemikirannya yang seperti itu,
bisa-bisa ia menjadi aktivis yang getol menyuarakan bahwa poligami itu
syar’i. Lebih syar’i dari jilbab dan gamis.
Untuk menyerang balik, pelan-pelan saya cerita soal kisah sebelum dan
sesudah adanya Nabi Muhammad Saw. Sebab hanya beliau yang saya rasa
patut untuk dijadikan prototipe dalam membantah konstruksi pemikiran
patriarki si Maden ini. Seperti diceritakan dalam banyak buku sejarah,
kehadiran Nabi Muhammad Saw., memberi kehidupan yang sepatutnya untuk
perempuan. Perempuan diberi hak sebagai manusia, meski perjalanannya
pelan dan amat panjang.
Sebelum Nabi Muhammad Saw. datang, anak-anak perempuan mengalami
kenyataan yang pahit. Mereka tanpa ada rasa salah, tanpa tahu apa
sebabnya, tiba-tiba dikubur hidup-hidup di tengah padang pasir.
Persoalannya hanya karena anak perempuan menjadi beban jika terjadi
perang, karena mereka tidak bisa membantu. Apesnya kalau kalah,
perempuan disamakan dengan barang rampasan perang. Maden bergidik
mendengar cerita ini.
Nah, karena perempuan sama dengan barang, maka dulu pria bisa menikah
tanpa ada batasan jumlahnya. Berapa pun perempuan boleh dinikahi.
Bahkan belum menikah pun kadang sudah main duluan.
Baru setelah Nabi Muhammad Saw. datang dengan membawa ajaran Islam,
perempuan diangkat dengan cara perlahan-lahan ke posisi yang semestinya.
Istri dibatasi empat dengan syarat adil. Kalau kata Gus Dur dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita,
manusia itu tidak bisa berbuat seadil-adilnya, yang bisa hanya Allah.
Maka sejatinya pembatasan itu adalah bentuk larangan dengan cara yang
sangat halus.
Kemudian cerita saya alihkan pada momen romantis Nabi Muhammad Saw.
dengan istrinya Siti Aisyah. Ketika Nabi Muhammad Saw. pulang larut dan
tidak berani mengetuk pintu rumah untuk masuk, nabi memilih tidur di
luar rumah di depan pintu. Padahal di sisi pintu yang lain, Siti Aisyah
menunggu kedatangan Nabi Muhammad Saw.
Momen ini merupakan simbol yang dicontohkan langsung oleh Nabi
Muhammad Saw. kepada para umatnya agar menghargai istrinya. Makna
tersuratnya nabi tidak mengganggu istrinya yang sedang tidur. Sedang
makna tersiratnya bahwa perempuan punya hak yang harus dihargai sebagai
manusia. Padahal kalau Nabi Muhammad Saw. mengatakan kepada Siti Aisyah
untuk tidak tidur sebelum dirinya pulang, dugaan kuat saya Siti Aisyah
tidak membantah dan pasti menunggu kepulangan nabi, meski dengan mata
yang mengantuk.
“Terus, apa kamu masih tetap pada pendapatmu? Kalau masih ya tidak
apa-apa, itu pilihanmu. Tapi saya sama sekali tidak sepakat dengan
pendapatmu,” kalimat penutup saya kepada si Maden. Ia tidak membantah
lagi. Kepalanya terlihat mengernyit, tanda berfikir, mungkin juga
menerka-nerka ucapan saya yang tidak mengamininya. Saya pun menyeruput
kopi susu yang sudah mulai dingin.
Dipublikasikan di Terminal Mojok
pada 5 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar