Saya lahir dari keluarga yang memiliki kecintaan terhadap musik
dangdut. Sedari kecil, saya terbiasa mendengarkan musik dangdut: salah
satu genre musik yang hari ini digemari hampir di seluruh pelosok
negeri.
Dulu kakak saya bahkan rela merogoh kocek yang cukup banyak untuk
ukuran saat itu hanya untuk membeli radio, demi memenuhi hasrat
mendengarkan dangdut koplo. Radio diganti, kemudian DVD dibeli lengkap
dengan kaset dangdut koplonya. Setiap pagi secara rutin dangdut koplo
diputar, menemani keluarga kami sebelum berangkat beraktivitas.
Namun ketika tetangga saya merayakan sunatan anaknya dengan menggelar
musik dangdut koplo, saya justru dilarang untuk melihatnya langsung.
“Geng, tidak usah nonton dangdut di sana, di rumah saja. Nanti kamu
malah kenapa-kenapa,” larang ibu saya.
Larangan itu timbul bukan tanpa alasan. Ibu saya merasa khawatir karena setiap dangdut koplo digelar, setiap itu juga tawuran antar pemuda kampung hampir mesti terjadi. Tawuran itu ternyata dipicu
oleh dua hal, yakni kesadaran yang hilang karena didahului minum ciu
(sejenis minuman untuk mabuk yang harganya terjangkau) sebelum berjoget,
dan karena memang disengaja sebagai wahana untuk balas dendam. Poin
terakhir biasanya karena rebutan pacar.
Di desa saya juga ada grup orkes dangdut. Setiap akhir pekan mereka
berlatih. Namanya Putra Jaya. Grup orkes dangdut ini digawangi oleh
teman-teman pos soko limo. Bermula karena iseng, akhirnya grup orkes
dangdut ini kerap diundang untuk mengisi acara hajatan dan syukuran
warga setempat.
Namun ada persepsi berbeda kepada mereka. Yang menjadi pemain musik,
mulai dari penabuh gendang, seruling, gitar, bass, dan pemain icik-icik
tidak pernah dicap buruk. Hal ini berbeda dengan penyanyinya yang malah
dianggap sebagai perempuan murahan. Cap seperti ini lazim di masyarakat
saya, semacam tidak ada keadilan gender karena konstruksi patriarki yang
masih mengakar kuat.
Padahal pria dan perempuan, apa pun perannya dalam musik dangdut,
mereka sama-sama bekerja. Berangkat dan pulang di jam yang sama. Tapi
pria masih bisa didefinisikan baik, sedang perempuannya tidak. Perempuan
baik adalah perempuan yang tidak keluar sampai larut malam dan tidak
berpakaian minim.
Musik dangdut juga bisa dijadikan sebagai alat kampanye. Saya
mengatakan demikian karena di depan rumah saya persis ada lapangan yang
setiap lima tahun sekali selalu diadakan konser dangdut untuk mendulang
perolehan suara. Tapi tahun kemarin lapangan sepi, tidak ada dangdutan
sama sekali. Saya hanya menduga hal ini terjadi karena ada tren baru
dalam hal kampanye bahwa untuk menghimpun masa pemilih tidak hanya
dengan bersenang-senang lagi, seperti mengadakan acara dangdut. Akan
tetapi, juga perlu menjaga citra wibawa yang menunjukkan kepribadian
saleh-salehah.
Menginjak dewasa, saya pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi.
Setiap sebulan atau dua bulan sekali saya pulang ke rumah dengan naik
bus, kadang sepeda motor, kadang juga kereta api. Jarak tempuh naik bus
sekitar 8-10 jam, tergantung kepadatan lalu lintasnya.
Apesnya selama kurun waktu itu, saya kembali bertemu dengan dangdut di dalam bus. Bus Mira, Eka, Sumber Selamat, dan Sugeng Rahayu hampir semuanya memutar Nella Karisma. Penyanyi dangdut andalan asal
Kediri ini setia menemani perjalanan saya yang membuat jantung jadi
deg-deg serrrr.
Gus Dur pernah membuat guyonan, nanti di akhirat para sopir bus ini akan dimasukan surga duluan, ketimbang para kyai dan penceramah.
Alasannya sederhana, karena sopir bus selalu mengingatkan penumpangnya
untuk ingat pada yang Maha Kuasa. Dan itu memang dialami oleh siapapun
yang pernah naik bus, termasuk saya.
Setyaningsih mengafirmasi apa yang saya ceritakan di atas. Di dalam buku Goyang Aksara,
ia mengatakan bahwa para penumpang di dalam bus bisa mendoa sekaligus
berdangdut di saat-saat kecepatan bus menderu dengan kalap. Semacam
untuk menghibur di tengah kegetiran nyawa yang hendak dipertaruhkan.
Dangdut juga banyak diikuti oleh anak kecil. Beberapa anak bahkan
lebih hafal dengan deretan judul, penyanyi, dan lirik dangdut ketimbang
lagu-lagu nasional atau lagu daerah. Ini semacam ironi. Lagu nasional
dan lagu daerah sepertinya harus turut dinyanyikan oleh Via Valen atau
Nella Karisma, agar anak-anak tidak hanya kenal lagu dangdut koplo. Ini
sekadar usulan yang kemungkinan besar tidak didengar oleh pemangku
kebijakan. Pasalnya, lagu-lagu tersebut kaitannya dengan identitas dan
nasionalisme anak-anak.
Begitu persentuhan saya dengan musik dangdut. Musik yang tidak hanya
sebatas hiburan dan saweran (kalau ada). Tapi musik dangdut juga cerita
soal kenakalan remaja, kesetaraan gender, politik, berdoa, identitas,
bahkan soal edukasi kepada anak.
Sepertinya ke depan, musik dangdut punya tantangan yang lebih
kompleks lagi. Mengingat perang dunia ke III akan pecah, musik dangdut
punya peran besar untuk terlibat di dalamnya. Minimal melakukan
pencegahan dengan meredam amarah melalui goyangan dan sentakan gendang.
Ah, tapi semoga nggak usah ada perang-perangan lah~
Dipublikasikan di Terminal Mojok
pada 7 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar