Bung Karno, sapaan akrabnya. Saya lupa
kapan kali pertama mengenalnya, lewat apa dan dari siapa. Namun
keberadaannya sampai hari ini masih saya geluti. Beberapa buku-buku
karya Bung Karno masih saya cari untuk dibaca dan dikoleksi, khususnya
yang memuat tentang gagasan-gagasannya. Di samping itu, kiprah Bung
Karno dalam pembentukan Negara Indonesia yang merdeka tidak bisa
disangsikan lagi. Gebrakannya di masa itu membawa angin segar bagi
mereka yang semasa hidupnya hanya mendapati kepahitan dijajah.
Saya pernah mendengar cerita dari seorang
teman, ada dosen yang mengatakan bahwa setiap mahasiswa yang belajar
ilmu kewarganegaraan tidak layak untuk mendapatkan nilai sempurna. Nilai
A bagi mahasiswa itu sudah terlalu tinggi. Bahkan guru kewarganegaraan
atau dosen yang mengampu mata kuliah tersebut juga tidak layak untuk
diberi nilai A. “Ya yang patut diberi nilai sempurna, hanya Bung Karno”,
ucap teman saya mewakili ekspresi dosen yang diceritakan tersebut.
Cerita itu saya ingat kembali saat mobil
kami sekeluarga menuju ke makam Bung Karno. Dua hari sebelumnya, ketika
ada penawaran mau ke mana liburan awal tahun 2020, adik sepupu saya
langsung memilih makam Bung Karno. Ya, wis, akhirnya disepakati kami ziarah ke makam Bung Karno, selain mampir ke Negeri Dongeng. Keduanya terletak di Blitar.
Cuaca hari itu kebetulan cerah. Padahal
sehari sebelumnya hujan deras mengguyur di sekitar
Tulungagung-Blitar—walaupun tidak sampai berakibat banjir. Perjalanan
dari rumah menuju ke lokasi makam cukup lancar, meski di beberapa titik
didapati kendaraan padat merayap. Tapi hal itu tidak sampai menimbulkan
macet yang berkepanjangan.
Memasuki kawasan makam, ada beberapa
pemandangan baru bagi saya yang sudah sekitar lima tahun tidak
berkunjung ke sana. Dulu, ruko-ruko tempat berjualan cinderamata dan
makanan terlihat kurang sedap dipandang mata, sekarang sudah berjajar
rapi di kanan-kiri bahu jalan. Seakan memanggil siapa saja yang
kebetulan lewat di depannya untuk mampir. Level kebersihannya juga lebih
baik daripada beberapa tahun sebelumnya. Perbaikan-perbaikan seperti
itu kelihatannya terus dimaksimalkan oleh pengelola, mengingat makam
Bung Karno bisa juga dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan
daerah di sektor pariwisata.
Bagi yang sudah ke sana, objek menarik
yang hampir selalu dijadikan latar belakang berfoto adalah patung Bung
Karno yang sedang duduk. Posisi kaki kiri di atas kaki kanan, sedangkan
tangan kanan memegang buku. Patung itu bisa dimaknai sebagai pemimpin
bangsa yang peduli pada pengetahuan. Pada konteks di masa itu, memang
tidak banyak rakyat di negeri ini yang bisa mengakses ilmu pengetahuan.
Narasi sejarah kita menjelaskan bahwa yang bisa mengenyam pendidikan
layak ketika masa kolonial hanya golongan bangsawan, itu pun masih
sebagai kelas golongan ketiga dalam struktur kolonial.
Minke misalnya, tokoh yang diceritakan
oleh Pramodya Ananta Toer dalam karya Tetralogi Buru, bisa dijadikan
prototipe dari kasus ini. Minke yang merupakan anak bangsawan, sekolah
sampai ke jenjang yang tinggi untuk ukuran masanya, tapi tetap saja
hak-haknya dibedakan oleh kolonial. Pribumi haknya akan diberikan selama
memberi keuntungan kepada kolonial.
Saya memilih untuk masuk perpustakaan
terlebih dahulu. Terakhir kali datang, seingat saya perpustakaan masih
dalam tahap pembenahan. Perpustakaan itu diresmikan oleh Megawati
Soekarno Putri, mantan Presiden Republik Indonesia kelima sekaligus
putri kedua Bung Karno dengan Ibu Fatmawati. Perpustakaan itu terlihat
megah dari luar. Masuk ke dalam perpustakaan saya hanya bisa mengamati
buku-buku yang berjajar rapi di rak. Selain karena ada buku baru yang
datang dan petugas perpustakaan sedang sibuk menata ulang, pengunjung
yang lain malah berswafoto. Sepintas koleksi buku yang dominan di
perpustakaan adalah buku-buku sejarah. Mungkin perpustakaan itu memang
diabdikan untuk meluruskan sejarah di negeri ini yang telah rancu, atau
malah punya orientasi agar siapa saja yang berkunjung ke sana bisa
membaca sejarah Indonesia lewat nama besar Bung Karno.
Usai berkeliling dari ujung ke ujung, saya
beralih ke gedung sebelah yang berisi foto dan benda peninggalan Bung
Karno di masa lalu. Jas, keris, dan foto yang bercerita terpampang di
gedung itu. Sebelum jalan keluar, terdapat prototipe Burung Garuda dan
salinan teks proklamasi dengan bahasa dan tulisan asli. Warisan yang
harus dijaga mati-matian sejak dulu bahkan sampai nanti generasi yang
lahir paling akhir di negeri ini.
Keluar dari dua gedung itu, kami berjalan
menuju ke tempat peristirahatan terakhir Bung Karno. Antara gedung dan
makam dihubungkan dengan kolam dan tangga. Masuk ke makam dikenakan
tarif tiga ribu rupiah per orang. Di kompleks makam itu disediakan
tempat untuk istirahat, musholla, dan toilet yang bisa diakses oleh
pengunjung.
Saat itu tidak banyak orang yang berziarah
di lokasi makam Bung Karno. Di sekeliling makam hanya terlihat satu
kelompok yang berzikir dan berdoa dengan dipimpin oleh seorang
bapak-bapak berpakaian surjan lengkap dengan blangkon. Beberapanya lagi
ada yang berdoa sendiri. Dan yang lebih banyak lagi hanya sekedar
berfoto kemudian badannya lenyap ditelan pasar untuk menuju ke pintu
keluar. Anak-anak terlihat asyik berlarian.
Menziarahi makam Bung Karno bisa dijadikan
sebagai ajang refleksi di akhir dan di awal tahun. Jangan-jangan apa
yang sudah kita lakukan di tahun kemarin bertolak belakang dengan
gagasan dan tindakan yang diproduksi oleh Bung Karno. Alih-alih
meneruskan perjuangan dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang
positif, justru sebaliknya, ragam laku buruk malah kita tunaikan tanpa
ada rasa ingin insyaf. Laku-laku seperti berkata rasis, bersengketa
dengan sesama anak bangsa atas dasar kekuasaan, korupsi, kesejahteraan
yang semakin timpang, eksploitasi alam dengan hanya mempertimbangkan
keuntungan, dan seabrek laku-laku yang mencederai gagasan dan tindakan
Bung Karno di masa lalu kita lakukan dengan sengaja.
Oleh karena itu, mengutip apa yang disampaikan pengampu Ngaji Filasafat,
yang menyarankan agar pada siapa saja yang di tahun 2020 belum memiliki
resolusi untuk berbuat baik, bisa memegang prinsip Soekarno yang
terdapat di buku Di Bawah Bendera Revolusi. Minimal kita tidak terjebak pada situasi yang sama dengan tahun kemarin. Berikut kutipannya:
Nasib kita ada di dalam genggaman kita sendiri… dengan lebih teguh kita harus pertjaja akan kepandaian dan tenaga kita sendiri… dengan
menolak tiap-tiap politik opportunisme dan politik possibilisme, jakni
tiap-tiap politik jang menghitung-hitung: ini tidak bisa dan itu tidak
bisa. Maka kita bersama Mahatma Gandhi berkata: Siapa mau mentjari mutiara, haruslah berani selam ke dalam laut jang sedalam–dalamnja;
siapa jang dengan ketjil hati berdiri di pinggir sahadja dan takut akan
terdjun ke dalam air, ia tak akan dapat sesuatu apa!
“’Nasib kita ada di tangan kita sendiri,
bukan bersandar kepada orang lain’, begitu kurang lebih maunya
Soekarno”, kata Pak Faiz. “Jangan bersikap oppoturnisme dan possibilisme. Sikap oppoturnisme itu sikap yang mencari aman, sederhananya mengikuti arus. Kalau mayoritas ke kanan, ya, ngikut ke kanan, begitu sebaliknya. Sedangkan possibilisme
itu sikap yang ragu-ragu. Mau mengambil keputusan banyak sekali
pertimbangan dan ragu-ragu, akhirnya didahului oleh orang lain”,
lanjutnya lagi.
Kami pulang dengan membeli beberapa kaos
dan buah sebagai oleh-oleh. Mobil pun melaju meninggalkan lokasi makam
yang sudah mulai mendung.
Dipublikasian di mjscolombo.com
pada 12 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar