Baru-baru ini, Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Bapak
Muhadjir Effendy menyarankan kepada Kementerian Agama untuk mengeluarkan
fatwa orang kaya menikah dengan orang miskin. Dalih yang digunakan
adalah agar orang miskin populasinya bisa semakin berkurang. Lebih
lanjut, pernikahan ini diberi istilah pernikahan ekonomi. Secara kasar,
ini bisa dimaknai dengan pergeseran pernikahan yang dulu dianggap
sebagai momen sakral menjadi momen transaksional.
Saya membayangkan jika saran ini benar-benar diterapkan, dampak yang
ditimbulkan bisa lumayan besar. Orang kaya yang hartanya triliunan
menikah dengan orang miskin yang hartanya hanya sepetak rumah. Di situ
jelas bahwa kedaulatan pangan, kecukupan pakaian, terpenuhinya
pendidikan didapatkan oleh orang miskin. Dampak lebih luasnya lagi,
angka kemiskinan bisa semakin berkurang atau malah tidak ada yang miskin
sama sekali. Tapi bagaimana dengan pihak orang kayanya?
Maka dari itu, sebagai bagian dari kaum menengah ke bawah, saya harus
memberi catatan atas saran tersebut. Sebab pernikahan merupakan momen
sakral yang patut disyukuri, seperti yang saya sebut di atas. Meski
dalam menikah ada visi misi dari pemerintah yang dititipkan kepada
pasangan suami-istri, tapi tetap saja pemerintah tidak berani menjamin
kehidupan yang layak, apalagi sejahtera usai pernikahan dilaksanakan.
Catatan pertama, Bapak Muhadjir Effendy
mengatakan bahwa ini hanya sebatas saran kepada Kementerian Agama untuk
mengeluarkan fatwa pernikahan. Dan fatwa pun sebenarnya bukan suatu hal
yang wajib untuk dilaksanakan, meski sudah dikeluarkan pernyataannya.
Saya sepakat dengan ini.
Namun menilik catatan dari kasus-kasus yang pernah terjadi, fatwa ini
bisa dengan mudah berubah menjadi wajib dan layak untuk direalisasikan.
Fatwa tidak lagi dipahami sebagai doktrin atau pendapat, tapi sebagai
dogma. Kasus yang masih segar dalam ingatan kita adalah kasus yang
menimpa Bapak Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menistakan agama Islam. Fatwa tersebut berubah menjadi sebuah gerakan untuk memenjarakan Ahok.
Hal serupa bisa saja terjadi jika fatwa orang kaya menikah dengan
orang miskin ini dikeluarkan. Padahal saran dari Bapak Muhadjir Effendy
itu hanya menjadi salah satu upaya, bukan satu-satunya upaya dari
pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan.
Catatan kedua, pernikahan dengan ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan, cepat atau lambat akan memunculkan problem.
Sebut saja perbudakan, penindasan, dan bukan tidak mungkin angka
perceraian akan semakin lebih tinggi. Di satu sisi pihak si miskin
merasa tidak enak dan tidak memiliki kekuasaan atas dirinya sendiri. Di
sisi lain si kaya memandang sebelah mata kepada si miskin.
Meskipun kasus di atas tidak bisa dipukul rata kepada seluruh
pasangan orang kaya dan miskin, tapi setidaknya bisa menjadi realitas
yang jamak ditemui di mana-mana. Bahwa ada orang kaya yang menikah orang
miskin kemudian bahagia, itu ada. Tapi saya rasa jumlahnya masih
relatif sedikit, mungkin satu banding satu juta.
Parahnya lagi, ini bisa menjadi celah untuk melakukan poligami. Pria
yang kaya, mobilnya banyak, rumahnya belasan, proyeknya miliaran bisa
menikahi empat perempuan sekaligus dengan dalih mengentaskannya dari
kemiskinan. Dan ini sangat tidak adil dalam perspektif perempuan.
Terlebih jika budaya patriarkinya masih mengakar kuat, ditambah
legitimasi agama yang tidak relevan dengan semangat zaman. Ya sudah,
perempuan kembali ke abad sebelum Islam datang, perempuan hanya sebagai
mesin biologis.
Catatan ketiga, menikah itu idealnya
dilandasi dengan cinta. Keduanya saling mencintai, tidak peduli apa pun
statusnya. Asal sudah sama-sama cinta, maka pernikahan menjadi lebih
bermakna. Saya sepakat dengan respons yang dilontarkan oleh Wamenag
Bapak Zainut Tauhid bahwa menikah itu adalah urusan siapa cinta siapa.
Kementerian Agama tidak perlu membuat fatwa yang mengurus urusan privat
seseorang.
Kalau keduanya saling mencintai, maka tanpa diminta dan dipaksa,
keduanya akan saling berkorban untuk membahagiakan satu sama lain. Suami
melaksanakan tugasnya, istri juga sama. Keduanya bersinergi untuk
membangun rumah tangga yang baik, utuh, dan cenderung menghindari
konflik.
Jika ditarik dalam konteks kasus ini, mudah saja. Pernikahan yang
dilandasi dengan cinta, rumah tangga yang bahagia, rezekinya cenderung
lebih lancar. Beda halnya dengan pasangan suami istri yang hari-harinya
dihiasi dengan marah-marah, konflik, bentak-bentak. Rumah tangganya saja
tidak harmonis, apalagi rezekinya.
Jadi begitu Bapak Muhadjir Effendy, pernikahan orang kaya dan orang
miskin tidak hanya semata-mata untuk mengentaskan kemiskinan. Pernikahan
itu melibatkan banyak sekali variabel, keluarga dari kedua belah pihak,
perasaan keduanya, omongan tetangga, doa yang tak kunjung ada habisnya,
dan perlu berkat dari semesta. Mungkin sebelum fatwa itu disahkan,
anak-anak atau cucu bapak nanti bisa disarankan untuk menikah dengan
orang-orang yang statusnya menengah ke bawah atau yang paling bawah.
Dipublikasikan di Terminal Mojok
pada 22 Februari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar