Perempuan dalam narasi Islam masih banyak menyisakan persoalan.
Teks-teks dari ayat suci yang seharusnya membawa pesan egaliter dengan
wajahnya yang ramah, justru kerap kali dimaknai dan dijadikan sebagai
alat legitimasi untuk memposisikan perempuan inferior dibanding
laki-laki. Apalagi jika mengingat kelompok Islam konservatif yang gemar
melakukan komersialisasi kesalehan personal melalui simbol-simbol agama
yang belakangan ini banyak ditemui, baik di media sosial maupun di
mimbar ceramah. Label halal-haram dan surga-neraka santer terdengar
sekaligus didakwakan pada banyak perempuan di luar kelompok mereka.
Perempuan sebagai manusia yang beragama, memiliki pergolakan imannya
sendiri yang disandarkan pada pengetahuan dan pengalaman ketubuhannya
masing-masing. Pada tataran ini, saya rasa tidak bisa menjustifikasi
kesalehan perempuan hanya dari tampilan di permukaannya saja. Alih-alih
menyadarkan, perbuatan itu justru menuding perempuan sebelum pendapat
dirinya sendiri didengarkan.
Kalis Mardiasih melalui bukunya ‘Muslimah yang Diperdebatkan’ ingin
bicara soal marginalisasi perempuan. Marginalisasi tersebut, menjadikan
perempuan direduksi hanya sebagai mesin biologis semata. Seringkali hal
itu justru merupakan tafsir agama tertentu, yang jika ditelisik lebih
dalam, itu sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Kalis
dalam bukunya mengkritik secara tajam definisi perempuan saleh. Definisi
tersebut bersifat distortif karena perempuan diharuskan menuruti apa
kata suaminya tanpa ada pertimbangan dan pendapat yang keluar dari
dirinya.
Berbicara tentang Hijab hingga Hijrah
Buku ini memuat sebanyak 26 esai yang berangkat dari dan untuk
perempuan. Pembahasan buku ini berkutat pada kesalehan perempuan yang
dikomersialkan, trend hijrah yang berujung pada fanatisme agama, dan
relasi yang timpang karena konstruksi patriarki. Ketiganya ini merupakan
permasalahan aktual yang dihadapi oleh perempuan muslim di Indonesia.
Hijab menjadi persoalan awal yang dikritik oleh Kalis Mardiasih.
Baginya, perempuan yang saleh tidak hanya bisa diukur dengan selembar
kain penutup di kepala (hlm. 9). Perempuan yang berhijab belum tentu
memiliki kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitar, begitupun belum
tentu juga perempuan yang melepas hijab tidak pernah menunaikan shalat
dan membayar zakat. Fenomena ini diperparah dengan adanya hijab yang
dinilai bisa membawa berkah, melipatgandakan pahala jika memakainya, dan
dilegitimasi halal oleh pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bagi
sejumlah pihak, hijab menjadi komoditas yang potensial untuk meraup
keuntungan berbasis label halal (hlm. 20).
Selain itu, hijab juga memiliki fungsi untuk mengontrol sikap
perempuan. Perempuan yang berhijab tutur katanya harus pelan, berlaku
anggun (hlm. 38), dan mencitrakan bidadari syurga yang membawa rasa
sejuk. Padahal hakikat hijab bagi perempuan muslim adalah kemerdekaan
bersikap melalui rasionalitas dan pertimbangan masak yang dibuatnya
sendiri, bukan atas dasar ketundukan.
Selanjutnya soal trend hijrah juga disorot oleh Kalis Mardiasih di
buku ini. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. yang sejatinya
untuk membenahi akhlak manusia, belakangan ini malah dipahami sebagai
pentungan yang siap digunakan untuk menghakimi siapa saja di luar
afiliasinya. Itu ciri pertama yang mudah dikenali. Di samping itu,
mereka juga selalu menempatkan muslim sebagai kaum yang tertindas.
Diksi-diksi liberal, komunis, asing, aseng, dan sebagainya diposisikan
sebagai pemenang sekaligus berlawanan dengan gagasan Agama Islam. Kalau
perlu, mereka siap untuk diajak berperang (hlm. 85) meski harus
kehilangan nyawanya sendiri. Ciri-ciri tersebut sebenarnya tidak
merepresentasikan wajah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., tapi
malah kembali ke masa sebelum kedatangan Islam.
Trend hijrah seperti ini juga berdampak kepada perempuan. Kasus
pengeboman yang terjadi di Surabaya, maraknya poligami, label syar’i dan
tidak syar’i dalam berbusana, serta adanya nikah siri menjadi prototipe
pada poin ini. Namun bagi kelompok mereka, hal-hal seperti itu justru
menjadi sebuah batu loncatan untuk memperoleh surga di kehidupan
selanjutnya.
Kedua poin di atas (hijab dan trend hijrah) membawa perempuan ke
posisi yang tidak menguntungkan, baik secara sosial, politik, dan
ekonomi. Perempuan yang ingin berkarir tapi enggan melaksanakan
pekerjaan domestik bisa dicap sebagai tidak taat suami. Perempuan tidak
berhijab karena pertimbangan personal bisa divonis masuk neraka. Apalagi
perempuan yang tidak mau dipoligami karena kurang bisa memuaskan di
ranjang, bisa-bisa ia dianiaya oleh suaminya tanpa memperoleh keadilan
yang semestinya.
Jika ditilik ke masa perjuangan Nabi Muhammad Saw., perempuan punya
andil yang cukup besar terhadap keberlangsungan dan kejayaan Agama
Islam. Simak keterangan yang ditulis oleh Kalis Mardiasih dalam buku
ini, “Manusia pertama yang mengimani kerasulan Muhammad Saw. adalah
Khadijah RA. Jika proses keberimanan adalah suatu transaksi spiritual
yang melibatkan intelektualitas, Khadijah adalah perempuan yang berilmu
tinggi. Aisyah RA, adalah perempuan perawi hadis terbaik dan cendekiawan
muslimah termasyhur” (hlm. 101).
Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa perempuan di masa itu sudah
menempati posisi yang setara dengan laki-laki. Perempuan memiliki daya
tawar melalui sumbangsih pemikiran dan tenaga, serta berkontribusi
positif terhadap perkembangan masyarakatnya. Hal itu bisa ditemukan pada
diri Siti Khadijah RA dan Siti Aisyah RA.
Kendati keduanya bisa dijadikan prototipe perempuan yang merdeka,
namun fakta yang dialami oleh perempuan hari ini lebih kompleks. Selain
yang telah disebutkan di atas, problem aktual yang dihadapi oleh
perempuan di desa, berbeda dengan perempuan yang berada di kota (hlm.
175). Belum lagi soal fiqih perempuan, kitab-kitab klasik yang
menyudutkan perempuan, dan undang-undang perlindungan perempuan mengenai
kekerasan seksual yang tidak rampung-rampung. Oleh karena itu, meski
memerlukan waktu yang lama dan pelan-pelan, perjuangan untuk
menyetarakan perempuan dengan pria dalam segala aspek kehidupan tetap
harus dilakukan.
Tapi perlu disadari bersama, bahwa buku ini tidak menyediakan jasa
untuk merubah perempuan Islam di kelompok konservatif yang gemar
menyerukan poligami dan hijab syar’i ke perempuan yang sadar dengan
kesetaraan gender. Buku ini hanya mengulas persoalan perempuan yang
dirasa perlu dikomentari sebagai alternatif wacana yang berseliweran
dengan orientasi menyudutkan perempuan. Kendati demikian, ulasan yang
ditampilkan juga kurang mendalam dan tentunya kurang komprehensif. Saya
rasa juga perlu ada ulasan tambahan dari perspektif Islam yang moderat
sebagai pembandingnya.
Terakhir ada pesan menarik yang ditulis oleh Kalis
Mardiasih di buku ini sebagai nasehat bersama: “Perempuan yang
berani berkata “tidak” saja tidak akan cukup jika peradaban laki-laki
masih melanggengkan kekerasan. Sebaliknya, laki-laki yang feminis saja
tidak pernah cukup jika pihak perempuan tidak membangun benteng dan
kapasitas untuk mengambil peran sebagai subjek untuk keputusan-keputusan
bagi dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat” (hlm.106). Sebab
peradaban yang berkualitas tidak hanya dibangun oleh laki-laki yang kuat
dan anggapan rasional, tapi juga perlu kontribusi aktif dari perempuan
dalam segala bidang, baik wacana maupun tindakan
Dipublikasikan di bukuprogresif.com
pada 24 Februari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar