Menulis puisi bukan aktivitas lazim yang ditekuni oleh banyak orang.
Selain harus mengerahkan kekuatan akal, menulis puisi juga memerlukan
kreatifitas dan penghayatan yang mendalam. Tiap peristiwa diamati,
dirasakan, kemudian diterjemahkan dalam baris-baris berderet kata
bermakna. Estetika dan kedalaman pesan berjalan selaras. Meski begitu,
kesederhanaan dalam memilih kata juga bukan perkara yang kuno, apalagi
jika dianggap mudah.
Nama Acep Zamzam Noor sudah tidak asing lagi di jagat perpuisian
nasional. Puisi-puisinya banyak ditemui di berbagai media. Beberapa
puisinya juga telah terbit dalam bentuk buku. Namun di bukunya “Menjadi
Sisifus” kali ini, kontennya bukan puisi-puisi. Melainkan catatannya di
pengantar buku, tulisannya yang dimuat di media, dan catatan di berbagai
acara ketika ia menjadi narasumber. Kesemua tulisan ini memiliki maksud
yang seragam, yakni menasehati para penyair yang sedang maupun sudah
mendalami jagat perpuisian.
Secara umum, buku ini memuat tiga puluh esai dari kurun waktu tahun
1990 sampai 2017. Hanya saja yang disayangkan esai-esainya diurutkan
sekenanya. Mungkin lebih baik jika diurutkan berdasarkan tahun esai itu
dibuat, sehingga pembaca bisa mudah melihat benang merah pemikirannya.
Ia mengawali nasihatnya dengan memberi tahu bahwa tiap
puisi tidak lahir di ruang hampa. Puisi-puisi selalu muncul dari
peristiwa tertentu. Namun acapkali peristiwa yang muncul dari lokalitas,
kejadian sekitar, dan rutinitas yang dilalui tiap waktu luput untuk
dipuisikan. Peristiwa yang sudah lumrah terjadi, sehingga tidak
memunculkan kesan mendalam.
Padahal peristiwa seperti itu bisa melahirkan puisi-puisi yang
memiliki kedalaman makna. Karena sering disapa, seharusnya
penghayatannya pun tidak sekadar ala kadarnya. Meski di satu sisi,
kejadian-kejadian seperti terorisme, korupsi, pelanggaran hak asasi
manusia, penjajahan dan penindasan juga menarik untuk direnungi dan
ditulis melalui baris-baris puisi.
Melalui salah satu esainya di buku itu, Acep Zamzam Noor bernostalgia
dengan mengatakan bahwa para penyair yang berkiprah di tahun 1945
maupun 1965 memiliki banyak keuntungan jika dibandingkan penyair yang
datang belakangan. Di tahun-tahun tersebut, banyak peristiwa dan
tragedi. Puisi di masa tersebut tidak hanya berada di ranah estetika,
tapi juga digunakan sebagai alat propaganda kepada masyarakat (hlm. 164)
agar bisa lepas dan bebas dari tekanan. Penyair dan puisi mulai punya
misi pemberontakan terhadap penguasa yang menindas
Namun ada peristiwa yang menarik saja belum cukup, kata Acep Zamzam
Noor. Penyair harus punya kepekaan dan kepedulian (hlm.253) pada
sekitar, sesama, dan semesta. Penyair tidak hanya duduk membaca setumpuk
buku babon kemudian menulisnya dalam kata indah bermakna, penyair juga
harus berkerumun dengan pedagang asongan, dengan bapak becak, dan dengan
siapa pun yang keberadaannya tidak digubris oleh banyak orang. Penyair
tidak melulu menyanjung yang indah, memberi apresiasi pada yang sudah
bagus, dan berpihak pada yang bersih-bersih.
Saya rasa penyair seperti Wiji Thukul dan W.S Rendra yang sampai hari
ini nama dan puisinya masih didengung-dengungkan telah mengantongi itu.
Ia peka terhadap situasi dan kondisi yang kian hari kian membuat
masyarakat kecil menjerit. Ia juga peduli pada nasib bangsa yang semakin
berjalannya waktu menuju pada ketidakadilan.
Nah, nasihat terakhir ini yang saya rasa agak sulit untuk ditunaikan.
Acep Zamzam Noor benar-benar mewanti-wanti para penyair yang datang
sesudahnya untuk terus ajeg, istiqomah, atau konsisten di jalan yang
telah dipilihnya. Sebab penyair yang membuahkan puisi berkualitas tidak
dilakukan dengan mengedipkan mata. Perlu upaya keras, menguras tenaga,
pikiran, dan waktu.
Selain itu, mengingat kepentingan yang sifatnya politis lebih dominan
dibanding idealisme untuk menyelamatkan yang lemah. Penyair dengan
puisinya berada di posisi sulit. Alih-alih mendapat pujian dan tepuk
tangan dari puisi yang dibacakan, justru pencekalan dan intimidasi
sampai menghilangkan nyawa akan dilakukan oleh penguasa ketika kritik
terlalu tajam dilontarkan. Memihak yang lemah akan disisihkan pelan dan
pasti, sedangkan memihak penguasa penghayatannya terhadap idealisme
perpuisian dipertaruhkan.
Begitu nasehat Acep Zamzam Noor kepada penyair, merenungi peristiwa
di sekitarnya dengan seksama, memiliki rasa peka dan peduli, dan
konsisten terhadap jalan yang telah dipilih. Ketiganya saling berkaitan
dan berjalan selaras. Saya rasa masa depan kepenyairan dan perpuisian di
negeri ini akan moncer jika menunaikan nasehat tersebut. Meski di sisi
lain setiap penyair juga memiliki ciri khas sebagai identitas
pembedanya.
Buku ini mengingatkan kepada pembaca bahwa penyair dan puisi tidak
melulu hiburan dan membual kata-kata semata. Penyair melalui puisinya
punya kontribusi untuk merubah dan menggugah realitas yang terjadi hari
ini. Terakhir mengutip kalimat dari Acep Zamzam Noor, “bagaimanapun sebuah bangsa tetap membutuhkan bahasa, membutuhkan karya sastra, membutuhkan puisi, cerpen, novel atau esai” (hlm. 118). Ya bangsa tetap butuh puisi. Namun bukan puisi yang melulu romantis. Demikian.
Dipublikasikan di iqra.id
pada 01 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar