Senin, 17 Agustus 2020

Dua Bapak Bangsa Gandrung Buku


Menggandrungi buku menjadi laku yang jarang dimiliki oleh setiap orang. Pasalnya, buku belum masuk kebutuhan primer layaknya sandang, pangan, dan papan. Padahal membeli, mengoleksi, membaca, kemudian memberi catatan pada tiap-tiap buku yang berhasil dikhatamkan sedikit banyak dapat memberi pengetahuan baru. Pengetahuan yang tidak harus duduk satu semester di bangku kuliah atau mendengar ceramah. Cukup duduk santai, sembari minum kopi atau menemani anak bermain, satu dua pengetahuan baru bisa didapat melalui membaca buku.

Ada banyak orang yang bisa saya sebut sebagai penggandrung buku. Ratusan kalau tidak malah puluhan ribu judul buku telah berhasil dikhatamkan semasa hidupnya. Lebih dari itu, mereka juga mengikatnya melalui menulis dan menerbitkannya kembali menjadi sebuah buku sebagai hasil buah pikirnya dari akumulasi banyaknya buku yang telah rampung dibaca.

Salah satunya Soekarno (selanjutnya disebut Bung Karno). Bapak Proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia ini menjadi penggandrung buku. Maka tidak heran jika pidato yang ia sampaikan muatannya bermutu dan membuat gemetar siapa pun yang mendengarnya. Gagasannya juga terbilang orisinil. Kendati riwayat akademisnya berasal dari Institut Teknologi Bandung, namun ia cakap berbicara sekian topik mulai dari sosial, kebudayaan, ekonomi, agama, dan politik.

Satu cerita menarik disampaikan oleh putrinya, Megawati Soekarno Putri, Putri Bung Karno, soal gandrungnya Bung Karno terhadap buku. Katanya, “Di kamar mandi beliau (Bung Karno), di toiletnya harus ada meja. Meja itu digunakan untuk buku-buku yang harus dibaca Bung Karno.”

Meja yang ada di toilet Bung Karno ini terdiri dari empat tingkat laci. Laci pertama menjadi alamat bagi buku-buku yang sudah rampung ia baca. Sedangkan laci kedua, ketiga, dan keempat menjadi wadah bagi buku yang akan ia lahab tuntas.

Selain Bung Karno, ada nama Mohammad Hatta (selanjutnya disebut Bung Hatta) yang keberadaannya juga tidak bisa lepas dengan buku. Di mana ada buku, di situ ada Bung Hatta, atau sebaliknya. Bahkan ada anekdot terkenal untuk Bung Hatta, istri pertamanya buku, istri keduanya buku, istri ketiganya Rahmi Rahim.

Bapak Proklamator yang merangkap sebagai wakil presiden pertama Republik Indonesia ini juga akrab dikenal dengan pernyataannya di masa kolonial, “Saya tidak apa-apa di penjara, asal bersama buku. Karena dengan buku aku bebas.” Memang pada saat pengasingan bersama Bung Karno, Bung Hatta membawa 16 peti yang berisi buku-buku koleksinya untuk dibaca sampai khatam.

Salah satu cerita menarik yang datang dari Bung Hatta ialah saat momen pernikahannya dengan Rahmi Rahim. Lazimnya, maskawin pernikahan berupa emas, rumah, seperangkat alat shalat, atau uang. Berbeda dengan Bung Hatta yang malah memilih buku sebagai maskawinnya.

Buku Alam Pikiran Yunani, buku yang bergenre filsafat ini menjadi maskawinnya. Kendati ibunya sempat tidak setuju dengan keputusan ini, namun Bung Hatta tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Ia menegaskan bahwa buku yang ia tulis sendiri itu lebih berharga ketimbang emas, uang, maupun hadiah pernikahan lainnya.

Dua bapak bangsa yang memproklamirkan kemerdekaan ini saya rasa sudah cukup untuk menjadi legitimasi bahwa buku itu penting untuk dibaca. Saya menduga, mungkin saja diksi “mencerdaskan kehidupan anak bangsa” yang tertera pada UUD 1945 sebagai orientasi negeri ini, merupakan prediksi dari Bung Karno, Bung Hatta, dan tim perumus di masa silam bahwa generasi yang datang belakangan akan emoh bergulat dengan buku. Padahal, orientasi diksi itu bisa dicapai salah satunya dengan membaca buku. Begitu.

4 komentar:

prianto mengatakan...

Cinta buku cinta ilmu

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Enggeh pak, leres

Komsiyah611 mengatakan...

Yang patut kita contoh, trimakasih p. Sugeng ilmunya.

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

enggeh bu, sami-sami