Selasa, 18 Agustus 2020

Rampogan Macan, Tradisi Tulungagung yang Hilang

 

Tiap daerah memiliki tradisi yang keberadaannya selalu diuri-uri. Karena tradisi itu dianggap sebagai ejawantah dari generasi yang datang lebih awal, dengan muatan nilai filosofis dan spiritual yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kendati kemajuan zaman sedikit banyak turut ambil bagian dalam mengubah tradisi, namun sesepuh dan pegiat kebudayaan sebisa mungkin mempertahankan semangat, makna, atau orientasi dari tradisi itu.

Nah, yang menjadi pertanyaan mendasar ialah, apakah ada tradisi yang keberadaannya hanya tinggal penuturan saja? Disampaikan dari satu lisan ke lisan yang lainnya, atau hanya dicatat sebagai arsip daerah untuk keperluan laporan dan data bagi peneliti-pengkaji yang membutuhkannya. Jawabannya tentu ada dan banyak. Salah satunya tradisi Rampogan Macan.

Tradisi Rampogan Macan ini pernah ada dan digelar di Alun-Alun Kabupaten Tulungagung. Menurut catatan di Babad Tulungagung (1971), tradisi ini berasal dari Kasultanan Yogyakarta. Sebab dulu, Tulungagung dan beberapa daerah sekitarnya termasuk Blitar dan Kediri juga menjadi bagian dari kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. Maka tak ayal, tradisi Rampogan Macan juga ada di daerah-daerah tersebut.

Pelaksanaan tradisi Rampogan Macan dimulai pagi hari. Para prajurit sudah siap dengan berbaris rapi tiga-empat baris (tidak disebutkan jumlah pastinya berapa). Masing-masing mereka membawa tombak, keris, parang, dan alat-alat perang lainnya. Setelah semuanya siap, macan dilepaskan di tengah alun-alun. Prajurit yang sudah siap dengan berbagai alat-alat perang tadi berupaya menghalau macan yang hendak kabur. Satu hal yang patut dicatat ialah hewan yang dipilih tidak selalu macan, kadangkala juga banteng.


Hanya saja hewan-hewan itu tidak selalu mau keluar dari kandang ketika sudah berada di tengah alun-alun. Maka untuk memancing agar keluar, salah seorang prajurit berdiri di depan kandang sembari menusuk-nusuk tombak (njarak) ke arah hewan itu. Atau terkadang hewan itu diguyur dengan air campuran cabe rawit agar badannya panas kemudian mengamuk.

Tradisi ini diselenggarakan untuk melatih ketangkasan prajurit dalam berperang atau ketika dihadapkan pada situasi terjebak di alam liar. Selain itu, mental dan keberanian prajurit juga diasah melalui tradisi ini. Rampogan Macan juga tergolong tradisi milik kaum ningrat atau bangsawan.

Menurut Agus Ali Imron Al Akhyar di bukunya Mengunjungi Simbol-Simbol Sejarah Lokal Tulungagung menuturkan bahwa dulu di barat rumah kabupaten ada bagian khusus untuk kandang macan. Namun kandang itu sekarang sudah dirombak dan dialihfungsikan.

Setelah tahun 1915, atau pada masa pemerintahan Bupati R.P.A Sosrodiningrat (Bupati Tulungagung ke XIII) Tradisi Rampogan Macan ini sudah tidak diselenggarakan lagi. Hal ini ditengarahi oleh kesadaran masyarakat untuk menjaga ekosistem alam agar tetap seimbang. Sebab tradisi itu semakin mengurangi jumlah macan-macan yang ada di alam liar.

Begitu cerita tradisi Rampogan Macan. Salah satu di antara sekian banyak tradisi yang sudah tidak digelar kembali. Bahkan bisa jadi banyak masyarakat yang malah luput tidak mengenali seperti apa dan bagaimana prosesi tradisi Rampogan Macan ini berlangsung. Demikian.

Tidak ada komentar: