Sebagai umat Islam, petuah seorang alim, ulama, atau kyai kerap diperlukan untuk melakoni hidup yang kadang kalap melewati batas. Petuah itu menjadi semacam rem yang kadang mengendalikan hati dan pikiran manusia. Ya kadang-kadang agak di rem biar tidak terlalu keterlaluan, kadang kala rem dilepas agar bisa memacu kecepatan, atau malah rem ditarik kuat-kuat untuk menghindari marabahaya. Semua itu bisa diperoleh salah satunya melalui petuah alim, ulama, atau kyai.
Dan petuah-petuah itu sekarang terbilang meruah. Kita tidak perlu repot-repot harus datang ke kediamannya atau ke pondoknya untuk mengikuti ngaji, meskipun ini yang diutamakan, tapi kita hanya perlu memiliki kuota internet. Tinggal klik di media sosial dan menulis keyword yang diinginkan, dalam waktu seper-sekian detik, apa yang kita cari bisa muncul dengan banyak pilihan.
Misalnya hari ini saya ingin mendengar petuah yang disampaikan oleh Gus Baha melalui google. Hanya dalam tempo 0,48 detik, google sudah mampu menyediakan 2 juta lebih laman pilihan yang terdiri dari video ceramah, gambar, tulisan, riset, dan berita tentang Gus Baha. Saya hanya perlu persiapan kopi dan buku catatan. Belum mandi pun tidak jadi persoalan.
Berbicara tentang Gus Baha, hari ini ceramahnya populer didengar banyak orang. Penyampaiannya yang mudah dipahami dengan perumpaan dan selingan guyon, membuat pendengarnya tidak melulu dihantui keruwetan belajar agama Islam. Ia mampu menyederhanakan bahasa yang rumit-melangit ke bahasa yang sederhana-(meng)Indonesia dengan tidak mengalpakan mutu ceramahnya.
Saya sendiri kerap meluangkan waktu untuk mendengar ceramahnya. Meskipun hanya sepekan sekali dengan durasi yang tidak lebih dari setengah jam. Durasi yang terbilang sangat pendek untuk disebut belajar agama Islam. Itu pun saya mendengarnya melalui youtube dan potongan video yang tersebar di instagram dan facebook.
Dari waktu ngaji yang pendek itu, saya kerap menemukan penuturan Gus Baha yang membuat saya menggut-manggut dan berkata, “Oh, tibakke ngunu ya” atau tertawa cekikian sendiri.
Tapi begini, ada satu hal yang saya rasa menjadi daya tarik Gus Baha, terlepas dari penyampaiannya yang mudah dipahami seperti yang saya sebut di atas. Kalau jeli, penuturan Gus Baha kerap memberikan perspektif lain dalam meneropong sebuah masalah.
Salah satunya saat ia mendedah persoalan jujur. Menurut lazimnya di masyarakat kita, orang baik itu harus berlaku jujur, tidak boleh berbohong kepada siapa pun, kapan pun, dan dimana pun. Tapi Gus Baha memberi perpektif lain bahwa jujur itu kadang malah haram.
Misalnya ketika ada perempuan yang masuk ke rumah kita untuk mencari perlindungan, karena akan diperkosa oleh pria fasik. Kalau menurut perspektif jujur di atas, maka kita harus memberitahu bahwa perempuan itu ada di dalam rumah. Jika kita bilang tidak ada, maka kita malah berdosa. Namun dalam situasi seperti itu, berbohong justru dianjurkan dan menjadi pilihan yang tepat, karena untuk melindungi perempuan itu.
Nah, perspektif lain seperti yang disampaikan Gus Baha di atas jarang didapati di penceramah-penceramah lain. Padahal dalam dunia sosial-bermasyarakat, saya dan kita semua kerap berpolemik dengan problem seperti itu, tentunya dengan kadar dan kondisi yang berbeda. Dan masih ada banyak lagi perspektif lain yang disampaikan oleh Gus Baha di ceramahnya yang tersebar di berbagai media sosial, yang bisa menambah pengetahuan laku keberagamaan kita agar tidak kaku-kaku amat. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar