Siang tadi menjelang masuk shalat dhuhur, teman saya Tumijo mengajak bertemu di indomaret belakang KFC UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebelumnya ia telefon sampai lima kali, dan kelima-limanya tidak memperoleh jawaban. Bukan saya tidak mau menjawab, melainkan saat itu saya sedang asyik baca buku. Sedangkan telefon mesti saya silent ketika melakukan aktivitas, apa pun itu. Bahkan malah jarang saya mengaktifkan nada dering sebagai tanda ada pesan atau telefon masuk.
“Enek opo?”, tanya saya melalui chat.
Ia pun kembali telefon, dan kali ini saya angkat. “Reneo nang Indomaret mburi KFC. Cepet ya!”, suaranya dari kejauhan. Terdengar suara riuh ramai orang berbincang dan desing mesin motor yang hendak dinyalakan.
“Iya”, jawab saya singkat. Awalnya saya ingin menundanya sampai rampung menunaikan shalat dhuhur. Tanggung banget. Sebab sepuluh menit lagi adzan sudah berkumandang.
Namun saya urungkan dan akhirnya saya bergegas mengambil jaket, masker, plus helm. Montor pun saya nyalakan dan beberapa saat kemudian saya hilang ditelan tembok-tembok megah menjulang ke atas.
Sepanjang perjalanan, prasangka saya berkelindan tidak karuan. Pertama, ia jarang sekali melakukan panggilan mendadak, kecuali dalam keadaan bermasalah. Kedua, batin saya menerka beberapa hal yang mungkin terjadi. Mulai dari kemungkinan ia lupa bawa dompet sehingga usai mengambil barang belum bisa langsung dibayar lantas telefon saya. Mungkin juga ia kecopetan, atau bensinnya habis dan lupa membawa dompet. Atau malah ia ketangkap polisi karena ketahuan melanggar protokol lalu lintas. Prasangka seperti ini terpelihara rapi sampai saya ke lokasi yang sudah ditentukan. Tapi kalau pun toh prasangka itu benar, saya sudah sedia membawa dompet.
Sesampainya di indomaret, saya melihat ia tidak lecet sedikit pun. Malahan menyambut saya dengan obrolan khasnya, “Suwe tenan”. Montornya juga aman terkendali, tidak tergores apalagi kehabisan bensin. Dompet juga masih terlihat jelas di saku celana belakang yag terlihat lebih tebal. Mungkin isinya banyak, hehehe.
Beberapa saat kemudian tangannya mengeluarkan bungkus roti bolu dari dalam tasnya. “Ini ono sesuatu, sitik. Untuk arek-arek di asrama”, ucapnya sembari memberikan bungkus itu.
“Lho, okeh tenan. Kepiye iki pembagiane? Terus dalam rangka apa iki?”, selidik saya yang digerayangi rasa penasaran.
Katanya, “Dua untuk asrama, satune untuk Om Yeyen. Ya syukuran kecil-kecilan”. Kami pun kemudian berbincang-bincang sebentar sebelum saling pamit dan kembali ke aktivitas yang lain.
Di sepanjang jalan pulang, bayangan saya melesat pada kesukaan manusia yang cenderung berprasangka tidak-tidak sebelum ada data dan bukti nyatanya.
Cek saja, ketika ada teman yang tidak pernah kontak, kemudian tiba-tiba menghubungi melalui chat whatsapp, lantas mengeluarkan pujian sudah punya mobil, panennya berlimpah, atau apalah. Yang terbesit dibayangan kita awal mula teman ini akan ngutang uang. Padahal belum tentu. Bisa jadi teman kita ini malah berdoa dan menyampaikan wejangan agar apa yang kita miliki bisa awet dan selamat. Begitu pun dengan kejadian-kejadian lainnya.
Apakah
ada di antara kita yang kerap berprasangka seperti itu? Semoga saja tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar