Minggu, 23 Agustus 2020

Ragam Sudut Tatap 'Jangan Blendrang'

 

Sebagai salah satu menu andalan orang desa, ‘jangan blendrang’ masuk deretan teratas yang patut dirasakan. Perkara enak-tidak enak, suka-tidak suka, atau cocok-tidak cocok itu variatif. Namun yang pasti, hampir di setiap dapur rumah tangga orang desa, ‘jangan blendrang’ bisa ditemui walau hanya dalam tempo sepekan sekali.

Bagi yang belum mengerti, ‘jangan blendrang’ ini kerap dialih bahasakan ke Indonesia menjadi sayur kemarin yang layak dimakan dengan cara dipanasi di atas kompor. Sayurnya ada bermacam-macam, mulai dari terong, tahu, tempe, kangkung, kacang panjang, tewel (nangka muda), dan lain-lain.

Dulu sewaktu si mbok saya masih ada, ia pernah memberi penuturan, bahwa ‘jangan blendrang’ ini menjadi simbol dari hidup prihatin. Sebab di masa penjajahan dulu, katanya apa-apa serba sulit didapat. Bisa jadi hari ini makan, besok belum tentu ada yang bisa dimakan. Maka saking prihatinnya, ketika memasak sayur dan sisa, sisanya ini tidak dibuang. Malah dipanasi dan bisa dimakan untuk keesokan harinya.

Kita juga tidak bisa menuduh itu sebagai salah satu faktor ‘jangan blendrang’ masih lestari sampai hari ini. Sebab ada kemungkinan juga emak-emak di dapur mensiasati hidup hemat dengan tidak membuang-buang sayur ketika masih bisa dimakan esok harinya. Ya kira-kira, “daripada dibuang, kan sayang, ini masih enak dimakan”.

Meskipun oleh ahli kesehatan, ‘jangan blendrang’ ini tidak dianjurkan untuk dimakan, bahkan cenderung dilarang. Namun faktanya masih banyak ditemui ‘jangan blendrang’ di panci dan wajan kita yang menggoda untuk segera dilahab. Memang secara logika kesehatan sendiri, apapun sayurnya jika sudah melewati tempo sehari, gizinya sudah hilang. Justru malah memicu munculnya ragam penyakit. Kok sehari, kadang temperatur panas saat memasak jika takarannya melebihi beberapa derajat saja, gizinya akan berkurang.

Tapi ada juga yang tetap menyangkal dengan membatin tajam, “Lha wong ‘jangan blendrang’ ki biar bumbunya tambah meresap, kok malah dilarang. Kalau bumbunya sudah meresap, rasanya kan tambah jos.” Ini sepenuhnya tidak salah, dan saya kadang menjadi gerbong pendukung jenis ini. Hehehe.

Oh iya ini tadi ‘jangan blendrang’ ketika ada di desa. Kalau di kota apakah tidak ada? Ada dan malah bisa jadi banyak. Memang untuk restoran, hotel, atau rumah makan elite cenderung memasak masakan yang baru. Tapi kehidupan warganya tetap saja ada yang ketagihan dengan cita rasa ‘jangan blendrang’.

Terakhir, bahwa ‘jangan blendrang’ bisa membuat perut kita kenyang, itu iya. Tapi persoalan bagaimana cara anda melihat ‘jangan blendrang’ dari sudut mana, itu hak anda. Sebab ada orang yang suka sekali ‘jangan blendrang’, ada yang kadang-kadang seperti saya, dan ada yang emoh sama sekali. Demikian.

Tidak ada komentar: