Senin, 24 Agustus 2020

Cara Saya Menulis ‘Jangan Blendrang’

 

Beberapa orang mungkin akan senang jika tulisannya berbobot, penuh diksi ilmiah, dan membuat pembacanya mengernyitkan dahi. Alih-alih bisa dipahami dengan mudah, pembaca malah harus berjibaku membolak-balik kamus ilmiah atau membuka buku lain sebagai penjelasan tambahan.

Saya pernah memergoki teman saya menulis dengan tipe seperti ini. Di tulisannya bertaburan diksi -sis, -isme, dan -if. Saat saya tanya apakah ia paham dengan yang ia tulis? Ia menjawabnya dengan tidak terlalu yakin. Katanya, “Ya biar ada nuansa intelektualnya gitu.” Bbbeeehhhh, berat saudara-saudara.

Tapi ada juga tipe penulis yang memilih topik ringan dengan diksi sederhana. Pembaca tidak perlu bersusah payah kenal dan memahami diksi ilmiah. Membacanya juga tidak harus menuntut konsentrasi penuh. Cukup duduk santai, tanpa disadari, tulisan itu sudah rampung dibaca. Dan saya lebih suka berada pada posisi penulis dan pembaca jenis ini.

Salah satunya ketika saya menulis di blog pribadi dengan tajuk Ragam Sudut Tatap ‘Jangan Blendrang’. Tulisan itu saya share di grup Maarif Menulis. Awalnya saya mengira tulisan itu hanya akan dianggap angin lalu. Alih-alih dibuka dan dibaca sampai rampung kemudian ditanggapi dan dibukukan, saya malah minder dengan topik yang diangkat teman-teman satu grup perguruan dengan ragam topik yang menggugah inspirasi.

Saya akan berbagi resep kepada pembaca cara menulis topik ‘jangan blendrang’ itu. Resep ini boleh dicoba saat bertemu topik yang kelihatannya sederhana dan menarik, tapi kesulitan untuk digurat dan buntu mengembangkan tulisan menjadi banyak paragraf.

Tulisan itu berangkat dari foto yang dikirim Pak Supriadi di grup Maarif Menulis, soal menu sarapannya nasi goreng kemarin yang dipanasi kemudian dimakan lagi.

Melihat foto itu, saya berpikiran dua hal. Pertama, sangat jarang ditemui tulisan yang mengulas ‘jangan blendrang’. Maka akan cukup menarik jika saya berhasil menyuguhkan sebuah tulisan, tidak perlu panjang kali lebar, tapi cukup layak untuk dibaca.

Hanya saja, yang kedua, saya tidak memiliki referensi yang cukup untuk menulisnya. Satu-satunya referensi yang saya punya hanya riwayat penuturan dari si mbok saya, bahwa ‘jangan blendrang’ ini sebagai laku prihatin masyarakat kita yang hidup di masa penjajahan. Sudah itu saja.

Eits, referensi yang saya maksud di sini tidak harus buku babon yang tebalnya 500 halaman atau jurnal dari institusi ternama. Referensi bisa datang dari mana saja. Misalnya seperti di atas penuturan si mbok, obrolan dengan teman, curhatan tetangga, berita dari internet (tapi ini harus punya keterampilan mengolah bahasa atau parafrase), atau kalau memang ada buku, jurnal, dan koran yang relevan malah lebih bagus. Ingat, tulisan di blog itu esai, yang sifatnya cukup lentur, luwes, dan fleksibel.

Nah, karena saya hanya memiliki satu referensi penuturan dari si mbok saja, saya harus mencari tambahan beberapa bahan lagi agar topik ‘jangan blendrang’ bisa menjadi sebuah tulisan yang layak baca. Langkah saya yang paling awal mencari berita di internet terkait ‘jangan blendrang’. Dan kebanyakan yang muncul beritanya datang dari perspektif kesehatan. Maka kesimpulannya sudah bisa ditebak, “tidak boleh”.

Kalau saya hanya memasukkan perspektif ini, tulisan akan terkesan kaku. Makan menjadi semacam kaidah fikih kedokteran, boleh dan tidak boleh. Maka saya posisikan ‘jangan blendrang’ ini dalam konteks desa dan kota. Kedua tempat ini mesti ditemui titik beda dalam memandang ‘jangan blendrang’, meski hanya sedikit.

Kemudian untuk menggenapinya, saya memiliki pandangan subjektif bahwa ‘jangan blendrang’ itu merupakan laku hemat dan kebutuhan selera lidah. Saya menyusun dua perspektif itu melalui argumen-argumen yang saya rasa bisa diterima oleh khalayak luas.

Setelah semua bahan diperoleh, saya tinggal menyusun mana yang ditempatkan di awal, tengah dan akhir. Jangan lupa bubuhi paragraf pembuka dan penutup, tidak perlu mengutip buku atau menurut professor, yang penting jelas maksudnya.

Oh iya, terakhir yang tidak kalah penting mencari judul yang agak unik. Saya bisa saja memilih judul “Beragam Sudut Pandang Jangan Blendrang”. Tapi judul itu saya rasa kurang greget dan sangat biasa. Maka saya ubah sedikit menjadi “Ragam Sudut Tatap Jangan Blendrang” agar ada nuansa gimana gitu, hehehe.

Ternyata masih ada yang paling akhir sebelum saya pungkasi, yakni selamat mencoba dan sesegera mungkin dipraktekkan. Begitu.

Tidak ada komentar: