Selasa, 25 Agustus 2020

Warung Makan Yang Mengeluh

 

Hari ini saya mengira memiliki jadwal yang padat. Bayangan saya sebelum berangkat ke kampus, mulai pagi sampai jam tiga sore akan terus berkelindan di pekarangan kampus. Ke bank membayar biaya pendidikan, kemudian ke fakultas untuk melengkapi berkas yang kurang, dan cek kesehatan guna syarat mutlak mengikuti perkuliahan. Lebih-lebih di masa pandemi seperti ini, poin terakhir tidak bisa ditawar sama sekali.

Hanya saja saya kurang beruntung. Semangat yang sudah terkumpul, pelan-pelan pudar. Alih-alih sibuk ke sana-ke mari, saya malah digerogoti oleh nganggur yang bingung mau ngapain. Sebab semua bayangan sibuk saya yang melahirkan peluh, tindak dikabulkan. Ya wis, akhirnya saya memutuskan untuk makan di warung langganan.

Sembari berjalan, pikiran saya melesat kemudian menggugat, “Tibak e nganggur ki yo luwe? Tak kiro meneng ae energine bakal kesimpen kayak unto?” Gugatan itu saya akhiri dengan mesem-mesem sendiri.

Setiba di warung, saya dilayani seperti biasa. Emak penjualnya masih hafal dengan saya, kendati sudah empat bulan lebih tidak mampir. “Iki pelanggan tetapku”, ucapnya sembari menepuk bahu saya dan melengos ke arah kerumunan emak-emak yang berada di teras. Ada kemungkinan emak-emak itu sedang mengejawantahkan peran Bu Tejo, Yu Sam, Bu Tri, dan Yu Ning, tapi sayangnya tidak ditemukan sosok Gotrek di situ. Hehehe.

Sehabis makan dan minum es teh, saya tidak keburu membayar kemudian pamit undur diri. Saya perlu beberapa waktu lagi untuk mengatur angin di perut. Sebab saya menduga kuat, sepertiga angin yang dilegitimasi oleh hadits Nabi yang seharusnya tetap dijaga ketersediaannya telah saya gunakan semuanya untuk menampung makanan.

Sembari duduk leyeh-leyeh, emak penjual tadi nyeletuk, “Sepi tenan mas. Egak enek bocah kampus, ya wis cuma ngene iki.” Celetukan itu diiringi dengan wajah yang pasrah.

Memang pada hari-hari normal, warung makan ini selalu ramai. Apalagi kalau jam makan siang. Sudah antri, tempatnya sempit, dan makannya tidak bisa dengan cara santuy. Makan menjadi semacam ajang lomba balapan. Persis seperti MotoGP. Hanya bedanya ini memakai piranti piring dan sendok atau tangan, sedangkan MotoGP memakai roda, mesin, dan bahan bakar.

Saya menanggapinya dengan senyum sekadarnya agar tidak terkesan menertawakan. “Tempat kos di belakang juga sepi berati ya buk?”, tanya saya menyambung obrolan.

“Iya mas. Semua kamar kosong, yang tinggal cuma barang-barangnya doang. Ya untung kalau mereka ada yang peka, misal sudah jatuh tempo mau tetap membayar. Tapi ada juga yang sulit ditagih. Ya gimana ya mas, kalau mata pencahariannya hanya mengandalkan kos-kosan kemudian pandemi seperti ini, terus tidak mau membayar, kan pada repot juga mas. Soalnya barang-barangnya ada di sini”, jawabnya panjang kali lebar kali tinggi.

Ia juga menyadari jika di masa pandemi seperti ini sama-sama sulitnya. Maka yang kos di tempatnya diberi potongan harga 50%. Itu pun jika diakumulasikan dengan pendapatannya membuka warung makan, sudah tidak punya sisa untuk ditabung jika ada keperluan yang mendesak.

“Kalau dianggap kami orang kota, memang iya mas. Kami hidup dari kecil sampai anak keturunan di sini (Kota Yogyakarta). Tapi secara materi, bisa jadi malah sejahtera yang di desa. Harta benda mereka lebih banyak ketimbang kami. Masa pandemi ini mereka juga punya persediaan beras, sayur, atau cabai yang ditanam di pekarangan rumahnya. Lha kami? Ya harus beli mas”, tambahnya lagi.

Saya hanya diam mendengar penuturan mereka sampai saya anggap khatam.

Sekitar setengah jam berlalu, saya undur diri dengan membayar makanan yang telah masuk ke perut. Montor pun saya nyalakan dan bergegas menuju jalan arah pulang. Di sepanjang perjalanan saya kembali merasakan lapar. Mungkin makanan tadi telah menguap dan emoh membersamai saya. Makanan itu memilih kembali bersama pemiliknya, menemani emak penjualnya dengan segala keluh kesahnya setiap menit, jam, dan hari. Begitu.

Tidak ada komentar: