Jumat, 04 September 2020

4 Unsur Kecakapan Menulis

 

Menulis menjadi salah satu keterampilan pada diri manusia. Sama halnya dengan memasak atau menjahit, menulis juga perlu dilatih agar bisa cakap menerjemahkan ide, kasus, atau apa pun yang dilihat menjadi tutur kata yang apik. Kalau memasak perlu bumbu agar masakan semakin sedap, menjahit perlu mesin, kain, dan benang agar menjadi bentuk yang bagus, menulis pun demikian.

Menulis perlu beberapa unsur. Pertama, membaca. Menulis tanpa membaca hampir bisa dipastikan hasilnya tidak akan apik, itu pun kalau berhasil menjadi satu tulisan. Syukur kalau mau membaca banyak buku dan mengkhatamkannya. Jika tidak mampu, ya sebisanya. Asalkan membaca, karena itu menjadi modal awal dalam aktivitas menulis.

Nah, apakah membaca ini harus selalu buku? Saya rasa tidak. Mengamati kejadian yang ada di sekitar kita, berdiskusi atau bergosip dengan teman, atau melihat berbagai status di media sosial juga menjadi bagian dari membaca. Meskipun kadarnya berbeda.

Kedua, piranti atau alat untuk menulis. Bagi saya alat ini menjadi unsur dominan dalam menulis. Misalnya saya yang hanya bisa menulis melalui laptop. Tanpa laptop, aktivitas menulis saya terhambat bahkan malah bisa berhenti menulis, meskipun laptop ini diganti dengan kertas, papan, gawai, atau piranti lainnya. Karena saya sudah terlanjur nyaman (ehm!) menulis melalui laptop. Tiap orang memiliki kecenderungan menggunakan piranti yang sesuai dengan kebiasaannya menulis.

Sedikit cerita. Kemarin siang saya kedatangan tamu. Ia mengutarakan maksud kedatangannya yang ingin menerbitkan tulisannya menjadi buku. Nah uniknya, tulisan-tulisannya ini tidak tersimpan dalam file word, melainkan ditulis tangan di buku yang besarnya seperti buku tamu di acara pernikahan. Tebalnya kira-kira 100-an halaman. Dan saat itu ia memperlihatkan hasil tulisannya sudah mencapai buku yang ke-8. Selain cerita itu, mungkin ada juga cerita dari orang lain yang lebih nyaman menulis melalui piranti gawai atau papan.

Selanjutnya ialah menyediakan waktu menulis. Menyediakan waktu untuk menulis ini juga penting. Membaca sudah, piranti juga punya, tapi enggan menyediakan waktu menulis, ya sama saja tidak jadi menulis. Tapi apakah waktu yang disediakan ini harus bisa menyelesaikan satu tulisan? Saya rasa tidak juga. Itu tergantung dari selera masing-masing penulis.

Saya sendiri selalu menyediakan waktu dua jam untuk membuat satu tulisan, di luar waktu untuk mengumpulkan bahan dan menyeduh segelas kopi. Ada juga yang tipenya kredit. Pagi hari menulis sedapatnya, siang ada waktu luang dilanjutkan, dan malam tinggal dipermak lalu diunggah. Nah, silahkan tentukan dan sediakan sendiri waktu luang untuk menulis, meski hanya lima belas menit dalam sehari.

Dan unsur terakhir yang menurut saya fleksibel tapi juga memiliki pengaruh pada daya menulis ialah pemilihan tempat untuk menulis. Memang ada juga yang tidak menghiraukan di mana ia menulis. Asal ketiga unsur di atas sudah terpenuhi, tempatnya bisa menyesuaikan. Bisa di kantor, di kantin, di teras rumah, di kamar tidur, atau di perempatan jalan sembari menunggu lampu hijau menyala. Bagi penulis tipe ini, tempat sangat tidak memiliki pengaruh.

Tapi ada juga yang tidak bisa menulis jika suasananya terlalu ramai. Atau ada juga yang terbiasa menulis di tempat khusus. Salah satu contohnya AS Laksana, penulis kondang yang tempat favorit menulisnya ada di teras rumah. Meski ia sendiri kadang juga sambat, nyamuk yang datang terlalu banyak.

Nah mungkin ada yang bertanya, “lha ide kok tidak dimasukkan menjadi salah satu unsur dalam menulis?

Begini, ide ini bisa muncul dengan cukup mudah dan murah. Bahkan kita hanya duduk pun, bisa menjadi sebuah tulisan yang apik. Misalnya duduk dideskripsikan melalui pertanyaan 5W+1H sudah menjadi tulisan. Atau duduk dianalisis melalui kacamata status sosial. Bisa juga duduk dijelaskan dalam konteks sejarah yang sumbernya dirunut dari penuturan si mbah, tidak harus buku. Mungkin juga duduk dari perspektif kesehatan atau bahasa. Dan seabrek tulisan yang bisa dirampungkan hanya dari topik sederhana, yaitu duduk.

Apakah jargon menulis mudah itu masih berlaku? Ya memang sih, menulis itu mudah. Tapi tidak mudah-mudah amat, hehehe.

6 komentar:

prianto mengatakan...

Yang paling menarik, kalimat yang paling terakhir itu.....

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Enggeh pak, kadang malah mboten mudah belassssss😆😆😆

Komsiyah611 mengatakan...

Matursuwun pak atas ilmunya... Membaca dan menulis ibarat ada pertanyaan mana yg lebih dulu antara telur dan ayam... He he....upaya mentrampilkan diri dlm menulis

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Enggeh bu, pengibaratannya cocok. Kedahe sareng2 tur dirutinkan...

Haryo Slamet mengatakan...

Lha yo to..
Mudah...
Tapi gak mudah-mugah amaat....

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Enggeh pak, leres banget😆